05 Februari 2011

KONSEP SPIRITUAL QUOTIENT (SQ)

(Irfan Cahyadi S)

A. Pengertian Spiritual Quotient
Sebelum menelaah tentang pengertian Spiritual Quotient atau kecerdasan spiritual menurut beberapa ahli, penulis terlebih dahulu memaparkan makna spirit secara bahasa.
Dalam kamus bahasa yang berjudul Salim's Ninth Collegiate English-Indonesian Dictionary, kata spirit dicari arti etimologisnya. Ada sepuluh arti bila spirit diperlakukan sebagai kata benda (noun). Lalu bila spirit diperlakukan sebagai kata kerja (verb) atau kata sifat (adjective) ada beberapa arti pula mengenainya.
Dari kesepuluh arti itu, dipersempit menjadi tiga macam arti saja, yaitu yang berkaitan dengan “moral”, “semangat”, dan “sukma”. Apa yang akan terjadi setelah dipilih arti spirit seperti ini? Banyak sekali tindakan yang dapat diperbuat bila mendengar kata spirit atau, kata bentukannya, spiritual. Kata “spiritual” sendiri dapat dimaknai sebagai “hal-hal yang bersifat spirit atau berkenaan dengan spirit”. Dari sini, dapat diartikan "spiritual" sebagai suatu hal yang berkaitan dengan kemampuan dalam membangkitkan “semangat”, misalnya. Atau bagaimana seseorang benar-benar memperhatikan “jiwa” atau “sukma” dalam menyelenggarakan kehidupan di bumi. Atau, yang lain, apakah perilakunya merujuk ke sebuah tatanan “moral” yang benar-benar luhur dan agung?.
Dalam buku terbarunya, SC, Spiritual Capital, Zohar dan Marshall mengatakan bahwa spiritual berasal dari bahasa latin spiritus yang berarti prinsip yang memfasilitasi suatu organisme, bisa juga dari bahasa latin sapientia (sophia dalam bahasa yunani) yang berarti 'kearifan'—kecerdasan kearifan (wisdom intelligence) .
Untuk lebih memfokuskan pembahasan tentang kecerdasan spiritual (SQ), penulis akan memaparkan beberapa definisi Spiritual Quotient (SQ) menurut para ahli.
Menurut Zohar dan Marshall, kecerdasan spiritual (SQ) adalah "kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain".
Marsha Sinetar, yang terkenal luas sebagai pendidik, penasihat, pengusaha, dan penulis buku-buku best seller, menafsirkan kecerdasan spiritual sebagai pemikiran yang terilhami. "Kecerdasan yang diilhami oleh dorongan dan efektivitas, keberadaan atau hidup keilahian yang mempersatukan kita sebagai bagian-bagiannya." Kata Sinetar, kecerdasan spiritual adalah cahaya, ciuman kehidupan yang membangunkan keindahan tidur kita. Kecerdasan spiritual membangunkan orang-orang dari segala usia, dalam segala situasi.
Kecerdasan spiritual melibatkan kemampuan menghidupkan kebenaran yang paling dalam. Itu berarti mewujudkan hal yang terbaik, utuh, dan paling manusiawi dalam batin. Gagasan, energi, nilai, visi, dorongan, dan arah panggilan hidup, mengalir dari dalam, dari suatu keadaan kesadaran yang hidup bersama cinta.
Sementara Agus Nggermanto mengutip pendapat Khalil Khavari:

Kecerdasan Spiritual adalah fakultas dari dimensi nonmaterial kita¬—ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita semua memilikinya. Kita harus mengenalinya seperti apa adanya, menggosoknya sehingga mengkilap dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan lainnya, Kecerdasan Spiritual dapat ditingkatkan dan diturunkan. Akan tetapi, kemampuannya untuk ditingkatkan tampaknya tidak terbatas.

Toto Tasmara, dalam bukunya Kecerdasan Ruhaniah (Trancendental Intelligence) mengatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah "kemampuan seseorang untuk mendengarkan hati nuraninya, baik buruk dan rasa moral dalam caranya menempatkan diri dalam pergaulan."
Menurut Ary Ginanjar Agustian dalam buku best sellernya ESQ, menyebutkan, bahwa SQ adalah "kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif), dan memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik), serta berprinsip "hanya karena Allah".
Dari berbagai definisi Spiritual Quotient diatas, dapat diambil benang merah bahwa Spiritual Quotient atau kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang sudah ada dalam setiap manusia sejak lahir yang membuat manusia menjalani hidup ini dengan penuh makna, selalu mendengarkan suara hati nuraninya, tak pernah merasa sia-sia, semua yang dijalaninya selalu bernilai. Jadi, SQ dapat membantu seseorang untuk membangun dirinya secara utuh. Semua yang dijalaninya tidak hanya berdasarkan proses berfikir rasio saja tapi juga menggunakan hati nurani. Karena hati nurani adalah pusat kecerdasan spiritual. Dalam konteks itulah, hati menjadi elemen penting dalam kecerdasan spiritual. Bahkan, pekik kecerdasan spiritual justru terletak pada suara hati nurani. Inilah suara yang relatif jernih dalam hiruk-pikuk kehidupan kita, yang tak bisa ditipu oleh siapapun, termasuk diri kita sendiri. Kebenaran sejati, sebenarnya lebih terletak pada pada suara hati nurani, yang menjadi pekik sejati kecerdasan spiritual (SQ). karenanya, kecerdasan spiritual (SQ) menyingkap kebenaran sejati yang lebih sering tersembunyi di tengah adegan-adegan hidup yang serba palsu dan menipu.



B. Bukti Ilmiah Spiritual Quotient
Banyak bukti ilmiah mengenai SQ sebenarnya ada dalam telaah-telaah neurology diantaranya oleh neurolog Vilyanur Ramachadran, psikologi oleh neuropsikolog Michael Persinger, dan antropologi oleh antropolog dari Harvard Terrance Deacon tentang kecerdasan manusia, pemikirannya, dan proses-proses linguistik. Para ilmuan telah melakukan penelitian dasar yang mengungkapkan adanya pondasi-pondasi saraf bagi SQ di dalam otak. Para ahli otak menemukan bahwa kecerdasan spiritual itu berakar kuat dalam otak manusia. Itu artinya, otak bukan saja berpotensi pada kekuatan rasional dan emosional sebagaimana dikonsepkan oleh William Stern, seorang ahli yang mengungkapkan tentang IQ dan Daniel Goleman, yang mengungkapkan tentang EQ, melainkan juga termaktub potensi spiritual dalam dirinya, tepatnya, di dalam otaknya.
Setidaknya ada empat bukti penelitian yang memperkuat dugaan adanya potensi spiritual dalam otak manusia yang dikemukakan oleh Zohar dan Marshal :
Pertama, penelitian oleh neuropsikolog Michael Persinger di awal tahun 1990-an, dan adalah penelitian yang lebih baru pada 1997 oleh neurolog V.S. Ramachandran bersama timnya di Universitas California mengenai adanya “titik Tuhan” (God Spot) dalam otak manusia. Pusat spiritual yang terpasang ini terletak di antara hubungan saraf dalam cuping-cuping temporal otak. Melalui pengamatan terhadap otak dengan topografi emisi positron, area-area saraf tersebut akan bersinar manakala subjek penelitian diarahkan untuk mendiskusikan topik spiritual atau agama. Reaksinya berbeda-beda sesuai dengan budaya masing-masing, yaitu orang-orang Barat menanggapi penyebutan “Tuhan”, orang Buddha dan masyarakat lainnya menanggapi apa yang bermakna bagi mereka. Aktivitas cuping temporal tersebut selama beberapa tahun telah dikaitkan dengan penampakan-penampakan mistis para penderita epilepsi dan pengguna obat LSD. Penelitian Ramachandran adalah penelitian yang pertama kali menunjukkan bahwa cuping itu juga aktif pada orang normal. “titik Tuhan” tidak membuktikan adanya Tuhan, tetapi menunjukkan bahwa otak telah berkembang untuk menanyakan “pertanyaan-pertanyaan pokok”, untuk memiliki dan menggunakan kepekaan terhadap makna dan nilai yang lebih luas.
Berikut ini adalah gambar dari "titik Tuhan" yang ada dalam otak tersebut

Gambar 1. Otak Spiritual.
Salah satu bagian otak, yang terletak di daerah pelipis (lobus temporal), yang bertanggung jawab untuk hal-hal spiritual. Bagian yang diblok hitam adalah bagian yang tampak aktif ketika diberi rangsangan listrik. Ketika rangsangan itu diberikan, pemiliknya merasakan adanya perasaan-perasaan spiritual dan mistis. Gambar pemindaian (scanning) ini diambil dari manusia hidup.

Kedua, penelitian neurology di Austria oleh Wolf Singer pada tahun 1990-an tentang “problem ikatan” membuktikan adanya proses saraf dalam otak yang dicurahkan untuk menyatukan dan memberikan makna pada pengalaman—semacam proses saraf yang benar-benar “mengikat” pengalaman. Sebelum adanya penelitian Singer tentang penyatuan dan keharmonisan osilasi saraf di seluruh otak, para neurolog dan ilmuan kognitif hanya mengakui dua bentuk organisasi saraf otak.
Salah satu bentuk tersebut, yaitu hubungan saraf serial, adalah dasar IQ. Dalam bentuk kedua, yaitu organisasi jaringan saraf, ikatan-ikatan sekitar seratus ribu neuron dihubungkan dalam bentuk yang tidak beraturan dengan ikatan-ikatan lain yang sangat banyak. Jaringan-jaringan saraf tersebut adalah dasar bagi EQ. Penelitian Singer tentang osilasi saraf penyatu menawarkan isyarat pertama mengenai pemikiran jenis ketiga, yaitu pemikiran yang menyatu dan model kecerdasan ketiga, SQ, yang dapat menjawab pertanyaan mengenai makna.
Ketiga, sebagai pengembangan dari penelitian Singer, penelitian Rodolfo Llinas pada pertengahan tahun 1990-an tentang kesadaran saat terjaga dan saat tidur serta ikatan peristiwa-peristiwa kognitif dalam otak telah dapat ditingkatkan dengan teknologi MEG (magneto-encephalographic) baru yang memungkinkan diadakannya penelitian menyeluruh atas bidang-bidang elektris otak yang berosilasi dan bidang-bidang magnetik yang dikaitkan dengannya.
Gelombang atau osilasi 40 Hz terjadi ketika otak—tanpa pengaruh rangsangan indriawi sama sekali—bereaksi secara seragam. Reaksi itu dapat terjadi karena ada hubungan langsung antara talamus dan kulit otak yang tidak dipicu oleh rangsangan indra. Artinya, hubungan talamus dan kulit otak berlangsung secara intrinsik di antara mereka sendiri. Rangkaian itu dapat terjadi tanpa informasi-informasi empiris. Hubungan intrinsik ini, menurut Zohar, adalah basis dari kesadaran manusia.
Keempat, neurolog dan antropolog biologi Harvard, Terrance Deacon, baru-baru ini menerbitkan penelitian baru tentang asal-usul bahasa manusia (The Symbolic Species, 1997). Deacon membuktikan bahwa bahasa adalah sesuatu yang unik pada manusia, suatu aktivitas yang pada dasarnya bersifat simbolik dan berpusat pada makna, yang berkembang bersama dengan perkembngan yang cepat dalam cuping-cuping depan otak. Komputer atau bahkan monyet yang lebih unggul pun (dengan sedikit pengecualian yang terbatas) tidak ada yang dapat menggunakan bahasa karena mereka tidak memiliki fasilitas cuping depan otak untuk menghadapi persoalan makna. Seluruh program penelitian Deacon mengenai evolusi imajinasi simbolis dan peranannya dalam evolusi sosial dan otak mendukung kemampuan kecerdasan yang disebut SQ.
Alasan bahasa atau proses linguistik dapat dijadikan bukti SQ selain dari alasan diatas, juga karena bahasa adalah "produk" mekanisme saraf dalam otak, terutama kulit otak manusia. Bahasa memungkinkan manusia keluar dari tahap insting ke tahap refleksi dan makna. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga alat berpikir. Sampai disini, jelaslah kemampuan manusia untuk berbahasa menjadi bukti adanya SQ dalam otak manusia.

C. Manfaat Spiritual Quotient
Dukungan ilmu pengetahuan kepada SQ semakin hari semakin kuat. Hal ini dibuktikan dengan psikologi, sains, teknologi, seni, manajemen, dan kedokteran yang kini tampaknya mengarah kepada fenomena spiritual atau SQ. Buku-buku yang populer yang kini banyak diterima masyarakat mengarah kepada pusat spiritual. Sekedar contoh, The 7 Habits of Highly-effective People, The 7 Habits of Highly-effective Teens, Tao of Physic, Tao of Leadership, dan Reformasi Sufistik.
Penulis merangkum beberapa manfaat yang didapatkan dengan menerapkan SQ adalah sebagai berikut:
1. SQ telah "menyalakan" manusia untuk menjadi manusia seperti adanya sekarang dan memberi potensi untuk "menyala lagi"—untuk tumbuh dan berubah, serta menjalani lebih lanjut evolusi potensi manusiawi.
2. Untuk menjadi kreatif, luwes, berwawasan luas, atau spontan secara kreatif.
3. Untuk berhadapan dengan masalah eksistensial—yaitu saat merasa terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran, dan masalah masa lalu akibat penyakit dan kesedihan. SQ menjadikan sadar bahwa memiliki masalah setidak-tidaknya bisa berdamai dengan masalah tersebut. SQ memberi semua rasa yang "dalam" menyangkut perjuangan hidup.
4. Pedoman saat berada pada masalah yang paling menantang. Masalah-masalah eksistensial yang paling menantang dalam hidup berada di luar yang diharapkan dan dikenal, di luar aturan-aturan yang telah diberikan, melampaui masa lalu, dan melampaui sesuatu yang dihadapi. SQ adalah hati nurani kita.
5. Untuk menjadi lebih cerdas secara spiritual dalam beragama. SQ membawa ke jantung segala sesuatu, ke kesatuan di balik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. SQ mampu menghubungkan dengan makna dan ruh esensial di belakang semua agama besar. Seseorang yang memiliki SQ tinggi mungkin menjalankan agama tertentu, namun tidak secara picik, ekslusif, fanatik, atau prasangka.
6. Untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain. Daniel Goleman telah menulis tentang emosi-emosi intrapersonal atau di dalam diri, dan emosi-emosi interpersonal—yaitu yang sama-sama digunakan untuk berhubungan dengan orang lain. Namun, EQ semata-mata tidak dapat membantu untuk menjembatani kesenjangan itu. SQ membuat seseorang mempunyai pemahaman tentang siapa dirinya dan apa makna segala sesuatu baginya, bagaimana semua itu memberikan suatu tempat di dalam dirinya kepada orang lain dan makna-makna mereka.
7. Untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh karena setiap orang memiliki potensi untuk itu. Masing-masing membentuk suatu karakter melalui gabungan antara pengalaman dan visi, kategangan antara apa yang benar-benar dilakukan dan hal-hal yang lebih besar dan lebih baik yang mungkin dilakukan. Pada tingkatan ego murni adalah egois, ambisius terhadap materi, serba-aku, dan sebagainya. Akan tetapi, setiap orang memiliki gambaran-gambaran transpersonal terhadap kebaikan, keindahan, kesempurnaan, kedermawanan, pengorbanan, dan lain-lain. SQ membantu tumbuh melebihi ego terdekat diri dan mencapai lapisan yang lebih dalam yang tersembunyi di dalam diri. Ia membantu seseorang menjalani hidup pada tingkatan makna yang lebih dalam.
8. Untuk berhadapan dengan masalah baik dan jahat, hidup dan mati, dan asal-usul sejati dari penderitaan dan keputusasaan manusia. Seseorang terlalu sering merasionalkan begitu saja masalah semacam ini, atau terhanyut secara emosional atau hancur karenanya. Agar memiliki spiritual secara utuh, terkadang harus melihat wajah neraka, mengetahui kemungkinan untuk putus asa, menderita, sakit, kehilangan, dan tetap tabah menghadapinya. Naskah Cina kuno Tao Te Ching mengatakan : "Jika Anda menyatu dengan rasa kehilangan, kehilangan itu itu telah dirasakan dengan ikhlas."
9. M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Dia Ada di Mana-mana mengatakan bahwa kecerdasan spiritual melahirkan iman yang kukuh dan rasa kepekaan yang mendalam. Kecerdasan semacam inilah yang menegaskan wujud Allah yang dapat ditemukan di mana-mana. Kecerdasan yang melahirkan kemampuan untuk menemukan makna hidup, memperhalus budi pekerti, dan dia juga yang melahirkan indra keenam bagi manusia.
Dan yang paling terpenting dari manfaat SQ adalah untuk dapat memahami bahwa setiap saat, detik dan setiap desah nafas selalu diperhatikan Allah dan tak pernah luput dari pengawasan Allah. Pada saat inilah timbul fenomena ihsan, yaitu ketika manusia bekerja merasa melihat Allah atau merasa dilihat Allah. Ketika merasa melihat Allah, maka seseorang akan melihat Allah Yang Maha Paripurna, tanpa sedikitpun kealpaan mengawasi setiap jenis ciptaan-Nya. Dan ketika seseorang merasa dilihat Allah Yang Maha Besar itu, maka dia akan merasa kecil, sehingga kekuatan emosi dan intelektualnya akan saling mengisi dan ini kemudian diwujudkan dengan munculnya kekuatan dahsyat berupa tindakan yang positif dengan seketika. Sehingga pada puncaknya, dengan kecerdasan spiritual seseorang akan mengenal diri nya, mengenal Allah dan selalu mendapatkan ridha-Nya. Tak ada yang melebihi keridhaan Allah.

D. Hal-hal yang Membelenggu Spiritual Quotient
Menurut Al-Qur'an, sebelum bumi dan manusia diciptakan, ruh manusia telah mengadakan perjanjian dengan Allah, Allah bertanya kepada jiwa manusia:"…Bukankah aku Tuhanmu?" lalu ruh manusia menjawab:"Ya, kami bersaksi…!" (Surat Al A'raf ayat 172). Namun, karena adanya belenggu-belenggu spiritual banyak manusia yang kemudian lalai dari fitrah tersebut.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ ( الأعراف 172)
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan). (Q.S. Al-A'raaf/7: 172)
Bukti adanya perjanjian ini menurut Muhammad Abduh ialah adanya fitrah iman di dalam jiwa manusia. Dan menurut N. Dryarkara, S.J. ialah adanya suara hati manusia. Suara hati itu adalah suara Tuhan yang terekam di dalam jiwa manusia.
Karena itu bila manusia hendak berbuat tidak baik, pasti akan dilarang oleh suara hati nuraninya. Sebab Tuhan tidak mau kalau manusia berbuat tidak baik. Kalau manusia tetap mengerjakan perbuatan yang tidak baik itu maka suara hatinya akan bernasehat. Dan kalau sudah selesai pasti akan menyesal. Mac Scheler mengatakan penyesalan adalah 'tanda kembali' kepada Tuhan.
Namun ada kalanya suara hati itu tertutup, buta. Inilah yang dikatakan tidak cerdas secara spiritual yang disebabkan terbelenggunya kecerdasan spiritual sehingga mengakibatkan kegagalan atau tidak efektif serta tidak maksimalnya suatu usaha.
Dari berbagai buku atau literatur yang mengarah pada kecerdasan spiritual baik yang memang berjudul kecerdasan spiritual atau sekedar buku-buku motivasi, ternyata ada hal yang dapat menutupi potensi seseorang sehingga membuat seseorang menjadi tidak kreatif dan inovatif. Dan hal itu jugalah yang dapat menutupi atau meng-cover suara hati spiritual, sehingga God Spot menjadi tidak berfungsi dengan baik. Hal itu adalah Paradigma.
Paradigma atau persepsi adalah lapisan belenggu yang menutupi God Spot. Persepsi tercipta karena pengaruh-pengaruh luar yang membentuk paradigma dan pikiran. Sedangkan dalam God Spot terdapat suara-suara hati yang bersumber dari percikan sifat-sifat ilahi. God Spot yang berisi bayangan sifat Tuhan itu telah built in dalam diri manusia. Ia merupakan kesadaran dasar manusia, yang disebut dengan proto kesadaran.
Sean Covey dalam buku Best Seller-nya The 7 Habits of Higly Effective Teens mengatakan sebagai berikut :
Paradigma adalah cara kamu memandang sesuatu, pandanganmu, kerangka acuanmu, atau keyakinanmu. Mungkin sudah kamu perhatikan, bahwa paradigma kita sering kali keliru, sehingga menciptakan keterbatasan-keterbatasan. Umpamanya, mungkin kamu yakin bahwa kamu tidak memenuhi syarat untuk kuliah. Tetapi ingatlah, bahwa Ptolemy pun sama yakinnya bahwa bumi adalah pusat dari alam semesta.

Paradigma seperti kacamata. Kalau seseorang memiliki paradigma yang tidak lengkap tentang diri sendiri atau kehidupan pada umumnya, itu sama saja mengenakan kacamata yang keliru ukurannya. Lensanya akan mempengaruhi bagaimana dia melihat segalanya. Sebagai contoh, kisah yang yang diceriterakan Ary Ginanjar berikut :
Ada seorang direktur sebuah perusahaan yang sedang berkeliling pabrik mengawasi dan mengontrol karyawannya yang sedang bekerja. Tiba-tiba dilihatnya seorang karyawannya yang sedang duduk sambil mengangkat kedua kakinya ke atas meja kecil. Direktur itu berdehem, berusaha memperingatkannya secara halus, bahwa tingkah lakunya itu tidak sopan. Namun nampaknya, karyawan tersebut tidak mengindahkannya. Ia mengulangi dehemnya lebih keras,"ehem…ehem!" Lagi-lagi ia tak kunjung menurukan kakinya dari meja kecil itu. Sang direktur menjadi naik pitam. Dihampirinya sang karyawan yang dianggapnya tak sopan itu dan langsung ia tendang meja kecil yang menumpu kaki si karyawan tadi hingga terbalik. Sambil menangis menahan rasa sakit, karyawan itu berkata, "Aduh, pak…mengapa Bapak tendang meja ini? Saya sedang menunggu ambulan. Saya baru mengalami kecelakaan dan kaki saya patah…"

Peristiwa itu terjadi karena suara hati spiritual untuk mengasihi dan menolong pada God Spot, telah terbelenggu oleh prasangka bahwa "si karyawan telah berperilaku kurang ajar". Yang disebut "belenggu" persepsi adalah ketika sang direktur melihat si karyawan yang patah kaki tadi menaikkan kaki ke meja.
Secara umum belenggu yang terbentuk oleh persepsi atau paradigma terbagi menjadi tujuh jenis, hal ini dikemukakan Ginanjar dalam ESQ-nya:
1. Prasangka
2. Prinsip-Prinsip Hidup
3. Pengalaman
4. Kepentingan dan Prioritas
5. Sudut Pandang
6. Pembanding
7. Literatur

1. Prasangka
Tindakan seseorang sangat bergantung dengan alam pikirannya masing-masing. Setiap orang diberikan kebebasan untuk memilih responnya sendiri-sendiri. Ia bertanggung jawab penuh atas sikap yang ditimbulkan dari pikirannya sendiri. Lingkungan ikut serta berperan dalam mempengaruhi cara berpikir seseorang. Apabila lingkungannya pahit maka ia pun menjadi pahit, selalu curiga, dan seringkali berprasangka negatif kepada orang lain. Allah melarang hambanya untuk berprasangka negatif kepada orang lain lewat firmannya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ ( الحجرات: 12)
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al Hujuraat/49: 12)

Sebaliknya, orang yang memiliki "prinsip", akan lebih mampu melindungi pikirannya. Ia mampu memilih respon positif di tengah lingkungan paling buruk sekalipun. Ia akan tetap berpikir positif dan selalu berprasangka baik pada orang lain. Ia mendorong dan menciptakan kondisi lingkungannya untuk saling percaya, saling mendukung, bersikap terbuka dan kooperatif. Jadi, hindari selalu berparasangka buruk, upayakan berprasangka baik kepada orang lain.
2. Prinsip-Prinsip Hidup
Beberapa dekade ini banyak prinsip hidup yang menghasilkan berbagai tindakan manusia yang begitu beragam. Prinsip hidup yang dianut dan diyakini itu telah menciptakan berbagai tipe pemikiran dengan tujuannya masing-masing. Setiap orang terbentuk sesuai dengan prinsip yang dianutnya. Hasilnya bisa dianggap hebat, mengerikan, bahkan menyedihkan.
Sebagai contoh, Hitler (1889-1945) dengan prinsip rasialisnya menutupi suara hati spiritual kebersamaan dan persamaan hak. "Yang penting penampilan," merupakan prinsip yang telah berhasil membelokkan pemikiran bangsa ini menjadi bangsa yang konsumtif dan mendewakan penampilan luar, tanpa memperhatikan sisi terdalam manusia yaitu hati nurani. Generasi muda sekarang begitu bangga akan pakaian dengan merek-merek mahal dan ternama. Dan lebih parah lagi, selalu menilai seseorang dari merk yang dipakainya. Dengan kata lain, hanya menilai dari simbol dan statusnya.
Prinsip-prinsip yang tidak fitrah umumnya akan berakhir dengan kegagalan, baik kegagalan lahiriah ataupun batiniah. Dunia telah membuktikan bahwa prinsip yang tidak sesuai dengan suara hati atau mengabaikan hati nurani, hanya mengakibatkan kesengsaraan atau bahkan kehancuran. Hanya berprinsip pada sesuatu yang abadilah yang akan mampu membawa manusia ke arah kebahagiaan yang hakiki. Berprinsip dan berpegang pada sesuatu yang lebih labil niscaya akan menghasilkan sesuatu yang labil pula. Jadi, berprinsiplah selalu kepada Allah Yang Maha Abadi.
3. Pengalaman
Pengalaman-pengalaman hidup, kejadian-kejadian yang dialami juga sangat berperan dalam menciptakan pemikiran seseorang, sehingga membentuk suatu "paradigma" yang melekat di dalam pikirannya. Seringkali paradigma itu dijadikan sebagai suatu "kaca mata" dan sebuah tolak ukur bagi dirinya sendiri, atau untuk menilai lingkungannya. Hal ini jelas akan sangat merugikan dirinya sendiri atau bahkan orang lain. Ini akan sangat membatasi cakrawala berpikir, akibatnya ia akan melihat segala sesuatu secara sangat subyektif, ia akan menilai segalanya berdasarkan "frame" berpikirnya sendiri, atau melihat berdasarkan bayangan ciptaannya sendiri, bukan melihat sesuatu secara riil dan obyektif. Ia akan menjadi produk dari pikirannya. Ia akan terkungkung oleh dirinya sendiri. Kadang ia tidak menyadari sama sekali bahwa alam pikirannya itu sudah begitu terbelenggu.
Bebaskan diri dari pengalaman-pengalaman yang membelenggu pikiran, berfikirlah merdeka.
4. Kepentingan dan Prioritas
Kepentingan tidak sama dengan prioritas. Kepentingan cenderung bersifat mikro (diri sendiri), sedangkan prioritas bersifat makro (universe) yaitu mengarahkan untuk melaksanakan hal secara tepat. Prioritas juga lebih spesifik daripada efisiensi, yaitu mengarahkan untuk melaksanakan sesuatu secara benar. Dengan demikian, prioritas menjadi sebuah hal yang esensial sekaligus menjawab permasalahan sumber-sumber yang tidak mencukupi, manusia serta materi yang sangat terbatas. Prioritas bermuara dari prinsip, suara hati, kepentingan dan kebijaksanaan.
Sebuah prinsip akan melahirkan kepentingan, dan kepentingan akan menentukan prioritas apa yang akan didahulukan. Mereka yang berprinsip pada perkawanan, akan memprioritaskan sesuatu yang bisa melanggengkan persahabatan. Pada intinya, prinsip akan melahirkan prioritas. Dan orang yang bijaksana akan mengambil suatu keputusan yang mempertimbangkan semua aspek sebagai satu kesatuan tauhid atau prinsip keesaan.
Seringkali suara hati turut berbicara memberikan informasi yang maha penting dalam menentukan sebuah prioritas. Tetapi seringkali suara hati itu diabaikan oleh kepentingan dan nafsu sesaat atau kepentingan untuk memperoleh keuntungan jangka pendek, yang justru akan mengakibatkan kerugian jangka panjang.
Dengarlah suara hati, peganglah prinsip "karena Allah", berpikirlah sebelum menentukan kepentingan dan prioritas.
5. Sudut Pandang
Melihat sesuatu dari satu sudut saja dan kemudian dengan mudah mengambil suatu kesimpulan. Contohnya, adalah seorang buta yang memegang belalai gajah dan berkata dengan yakinnya, bahwa bentuk gajah adalah seperti ular. Seharusnya, untuk mengambil kesimpulan harus melihat semua sudut pandang secara bijaksana dan mendengarkan suara hati nurani.
6. Pembanding
Yaitu membanding-bandingkan segala sesuatu dengan persepsi pribadi. Biasanya seseorang sering menilai segala sesuatu berdasarkan perbandingan pengalaman yang telah dialami sebelumnya dan bayangan yang diciptakan sendiri di alam pikirannya. Paradigma penilaian di dalam pikiran begitu mudah berubah, hanya dalam hitungan sepersekian detik saja. Bisa dibayangkan, betapa lingkungan dengan cepatnya menciptakan dan mengubah pikiran setiap saat. Akhirnya menjadi korban hasil bentukan lingkungan. Inilah yang harus dijaga, keteguhan pikiran dan prinsip sebagai tolak ukur, bukan lingkungan.
Jadi, seharusnya memeriksa pikiran terlebih dahulu sebelum menilai segala sesuatu, jangan melihat sesuatu karena pikiran sendiri, tetapi lihatlah sesuatu karena apa adanya
7. Literatur
Dewasa ini, banyak berbagai literatur yang dapat mempengaruhi pemikiran manusia yang membacanya. Seperti kini berbagai literatur banyak menekankan pentingnya skill pembentuk kepribadian sebagai penuntun kesuksesan, Contohnya The Seven Habbits of Highly Effective People oleh Steven R. Covey, The Magic of Thinking Big karya David J. Schwart, dan yang lainnya. Bahwa keberhasilan seseorang banyak ditentukan oleh teknik luar, seperti teknik membuat orang lain senang dengan cara memberi senyuman; orientasi pada minat orang lain; pura-pura mendengar pada saat orang lain berbicara; sering menyebut dan mengingat nama orang lain, dan masih banyak lagi. Pada prinsipnya, semuanya sebatas teori yang menyentuh permukaan yang tidak menerobos ke akarnya. Dalam arti, hanya sebatas kulit dan cenderung basa-basi. Akibatnya, menghasilkan orang yang berprinsip pada penghargaan semata. Namun pada saat dia kehilangan penghargaan itu, dia menjadi rapuh.
E. Meningkatkan Spiritual Quotient
Para ahli dan penulis-penulis buku kecerdasan spiritual banyak menawarkan langkah-langkah untuk meningkatkan kecerdasan spiritual. Meskipun secara sepintas terlihat berbeda, pada dasarnya semua mengarah pada hal yang sama, yakni menjadikan hidup ini lebih bermakna, sukses dan bahagia.
Zohar dan Marshall mengemukakan tujuh langkah untuk meningkatkan kecerdasan spiritual, yakni sebagai berikut :
Langkah 1: Seseorang harus menyadari di mana dirinya sekarang.
Langkah 2: Merasakan dengan kuat bahwa dia ingin berubah
Langkah 3: Merenungkan apakah pusatnya sendiri dan apakah motivasinya yang paling dalam
Langkah 4: Menemukan dan mengatasi rintangan
Langkah 5: Menggali banyak kemungkinan untuk melangkah maju
Langkah 6: Menetapkan hati pada sebuah jalan
Langkah 7: Dan akhirnya, sementara melangkah di jalan yang dipilih sendiri, harus tetap sadar bahwa masih ada jalan-jalan yang lain.
Untuk langkah pertama, seseorang harus menyadari dimana dirinya sekarang. Misalnya, bagaimana situasinya saat ini? Apakah konsekuensi dan reaksi yang ditimbulkannya? Apakah dirinya membahayakan dirinya sendiri atau orang lain? Langkah ini menuntut seseorang untuk menggali kesadaran diri, yang pada gilirannya menuntut menggali kebiasaan merenungkan pengalaman. Banyak orang yang tidak pernah merenung, hanya hidup dari hari ke hari, dari aktivitas ke aktivitas, dan seterusnya. SQ yang lebih tinggi berarti sampai pada kedalaman dari segala hal, memikirkan segala hal, menilai diri sendiri dan perilaku dari waktu ke waktu. Paling baik dilakukan setiap hari. Ini dapat dilakukan dengan menyisihkan beberapa saat untuk berdiam diri, berzikir setiap hari, shalat tahajud di keheningan malam tiap malam, berkumpul dengan ulam adan orang shalih, atau sekedar mengevaluasi setiap hari sebelum jatuh tertidur di malam hari.
Sedangkan langkah kedua, setelah renungan mendorong untuk merasa bahwa perilaku, hubungan, kehidupan, atau hasil kerja dapat lebih baik, maka harus ingin berubah. Ini akan menuntut memikirkan secara jujur apa yang harus ditanggung demi perubahan itu dalam bentuk energi dan pengorbanan. Apakah siap berhenti untuk bermalas-malasan, ngobrol yang tidak perlu, nongkrong di jalanan? Memberikan perhatian lebih besar untuk mendengarkan diri sendiri atau orang lain? Menjalankan disiplin sehari-hari, seperti membaca buku, menelaah Al-Quran, atau sekedar membantu ibu di dapur.
Langkah ketiga, yakni merenung lebih dalam lagi. Seseorang harus mengenali diri sendiri, letak pusat, dan motivasi paling dalam. Jika akan mati minggu depan, apa yang ingin bisa dikatakan mengenai apa yang telah dicapai atau disumbangkan dalam kehidupan? Jika diberi waktu setahun lagi, apa yang akan dilakukan dengan waktu tersebut.
Sedangkan langkah keempat, seseorang harus menemukan rintangan dan berusaha untuk mengatasi rintangan itu. Apakah kemarahan, rasa bersalah, sekadar kemalasan, kebodohan atau pemanjaan diri? Kini seseorang harus membuat daftar hal yang menghambat, dan mengembangkan pemahaman tentang bagaimana dirinya dapat menyingkirkan penghalang-penghalang ini. Mungkin itu berupa tindakan sederhana, seperti kesadaran atau ketetapan hati. Akan tetapi, mungkin itu juga suatu proses yang panjang dan lambat, dan akan membutuhkan "pembimbing"—ahli terapi, sahabat, atau penasehat spiritual misalnya seorang ustadz atau buku-buku penyejuk hati. Langkah ini sering diabaikan, namun sangat penting, dan membutuhkan perhatian terus menerus.
Selanjutnya, langkah kelima, seseorang harus mencurahkan usaha mental dan spiritual untuk menggali potensinya, membiarkan bermain dalam imajinasi, menemukan tuntunan praktis yang dibutuhkan dan memutuskan kelayakan setiap tuntutan tersebut. Dia harus bertanya pada dirinya sendiri, praktek atau disiplin apa yang seharusnya diambil? Jalan apa yang seharusnya diikuti? Komitmen apa yang bermanfaat? Pada tahap ini, perlu menyadari berbagai kemungkinan untuk bergerak maju.
Dan langkah keenam, seseorang harus menetapkan hati pada satu jalan dalam kehidupan dan berusaha menuju pusat sementara dirinya melangkah di jalan itu. Sekali lagi, merenungkan setiap hari apakah sudah berusaha sebaik-baiknya demi diri sendiri dan orang lain, apakah telah mengambil manfaat sebanyak mungkin dari setiap situasi, apakah merasa damai dan puas dengan keadaan hidup di jalan menuju pusat berarti mengubah pikiran dan aktivitas sehari-hari menjadi ibadah terus menerus, memunculkan kesucian alamiah yang ada dalam setiap situasi yang bermakna.
Akhirnya, setelah seseorang memilih dan melangkah di jalan yang dipilih, dia tetap harus sadar bahwa masih ada jalan-jalan lain dan harus tetap menghormati orang lain yang melangkah pada jalan-jalan tersebut.
Sukidi, memberikan langkah-langkah untuk mengasah SQ menjadi lebih cerdas dalam bukunya Kecerdasan Spiritual: Mengapa SQ Lebih Penting daripada IQ dan EQ sebagai berikut :
• Kenalilah diri Anda, karena orang yang sudah tidak bisa mengenal dirinya sendiri akan mengalami krisis makna hidup maupun krisis spiritual. Karenanya, mengenali diri sendiri adalah syarat pertama untuk meningkatkan SQ.
• Lakukan introspeksi diri, atau yang dalam istilah keagamaan dikenal sebagai upaya 'pertobatan'. Ajukan pertanyaan pada diri sendiri, "Sudahkah perjalanan hidup dan karier saya berjalan atau berada di rel yang benar?" Barangkali saat kita melakukan introspeksi, kita menemukan bahwa selama ini kita telah melakukan kesalahan, kecurangan, atau kemunafikan terhadap orang lain.
• Aktifkan hati secara rutin, yang dalam konteks orang beragama adalah mengingat Tuhan. Karena, Dia adalah sumber kebenaran tertinggi dan kepada Dia-lah kita kembali. Dengan mengingat Tuhan, maka hati kita menjadi damai. Hal ini membuktikan kenapa banyak orang yang mencoba mengingat Tuhan melalui cara berzikir, bertafakur, shalat tahajud di tengah malam, kontempelasi di tempat sunyi, mengikuti tasawuf, bermeditasi, dan lain sebagainya. Aktivitas-aktivitas tersebut adalah dalam rangka manusia mengobati hatinya.
• Setelah mengingat Sang Khalik, kita akan menemukan keharmonisan dan ketenangan hidup. Kita tidak lagi menjadi manusia yang rakus akan materi, tapi dapat merasakan kepuasan tertinggi berupa kedamaian dalam hati dan jiwa, hingga kita mencapai keseimbangan dalam hidup dan merasakan kebahagiaan spiritual.

Yang lebih menarik menurut penulis adalah langkah-langkah yang diberikan oleh Ary Ginanjar Agustian dalam buku-buku best seller-nya yang kesemuanya membicarakan tentang ESQ (Emosional Spiritual Quotient) diungkapkan secara ilmiah dan islami namun juga sangat menarik untuk disimak, apalagi dalam buku edisi terbarunya tentang ESQ, disebutkan untuk meningkatkan ESQ, seseorang harus melakukan 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, beliau menyebutnya "THE ESQ WAY 165". Bahwasanya ihsan, Rukun Iman dan Rukun Islam bukan hanya sebuah ritual semata, tetapi memiliki makna maha penting dalam pembangunan kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) sebuah bangsa. Disamping itu, beliau memperkenalkan suara-suara hati manusia lewat Asmaul Husna. Menurut beliau Asmaul Husna yang merupakan sumber dari suara hati manusia adalah dasar pengenalan dan alat untuk memahami bagian terdalam dari suara hati kita sendiri, juga perasaan dan suara hati orang lain. Asmaul Husna adalah kunci dari "Emosional and Spiritual Intelligence" dalam membangun "Ketangguhan Pribadi", sekaligus membangun "ketangguhan Sosial". Nama-nama Allah-lah, kunci dasar dari ihsan, Rukun Iman dan Rukun Islam itu.







Agustian dalam edisi terbarunya ESQ Emosional Spiritual Quotient THE ESQ WAY 165 1 Ihsan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam meringkas keseluruhan The ESQ WAY 165 sebagai berikut:





1

6





5





Gambar 2. Ringkasan cara untuk meningkatkan Kecerdasan Emosi dan Spiritual dengan menggunakan langkah The ESQ WAY 165 1 Ihsan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam

Keterangan:

ZERO MIND PROSES = 1 Ihsan
MENTAL BUILDING = 6 Rukun Iman
MISSION STATEMENT = Syahadat
CHARACTER BUILDING = Shalat
SELF CONTROLLING = Puasa Ramadhan
STRATEGIC COLLABORATION = Zakat
TOTAL ACTION = Haji





































BAB III
KONSEP KEBERHASILAN REMAJA



A. Keberhasilan
1. Pengertian Keberhasilan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata hasil memiliki lima arti. 1. Sesuatu yang diadakan (dibuat, dijadikan, dsb) oleh usaha; 2. Pendapatan; perolehan; buah; 3. Akibat; kesudahan (dari pertandingan, ujian, dsb); 4. Pajak; sewa tanah; 5. cak (cakapan) berhasil; mendapatkan hasil; tidak gagal.
Sedangkan berhasil diartikan: 1. mendatangkan hasil; ada hasilnya; 2. beroleh (mendapat) hasil; berbuah; tercapai maksudnya, dan keberhasilan diartikan perihal (keadaan berhasil).
Mengenai pengertian keberhasilan, jika ditanyakan pada 10 orang berbeda apa artinya menjadi seorang yang berhasil, mungkin akan memperoleh 10 jawaban berbeda. Di lain pihak, jika ditanyakan pada mereka apakah mereka ingin menjadi orang yang berhasil maka kemungkinan hanya akan memperoleh satu jawaban. Semuanya ingin berhasil. Jika ditanyakan lagi bagaimana caranya untuk menjadi berhasil, mungkin akan akan menemukan kesulitan menghitung jumlah jawabannya.
Sebagian orang mungkin mengatakan bahwa menjadi orang yang berhasil berarti mempunyai rumah mewah lengkap dengan kolam renang dan halaman yang luas, atau yang mengendarai mobil built-in yang harganya setara dengan gaji seumur hidup rata-rata manusia Indonesia. Singkatnya, orang yang berhasil adalah orang kaya. Sebagian yang lain mungkin akan menjawab bahwa orang yang berhasil adalah orang yang mempunyai kekuasaan yang besar. Mereka yang berkuasa atas 5 orang akan dianggap lebih berhasil daripada mereka yang hanya berkuasa atas 2 orang. Seorang presiden yang berkuasa atas 200 juta penduduk akan dianggap lebih berhasil daripada seorang ketua RT yang memimpin 100 penduduk di lingkungannya. Menurut logika ini, semakin besar kekuasaan seseorang atas orang lain maka dia dianggap semakin berhasil.
Orang-orang yang lebih bijaksana mungkin akan menjawab bahwa orang yang berhasil adalah mereka yang hidup dengan damai, mereka yang melewati hari-hari mereka dengan hidup sederhana, dan mereka yang puas dengan apa yang telah dimilikinya. Mereka yang banyak berbuat kebaikan. Mereka yang berhasil adalah mereka yang hidup dekat dengan Penciptanya.
Hendri, dalam artikelnya di internet mengutip pendapat Bessie Anderson Stanley yang memberikan definisi yang cukup bagus tentang keberhasilan yang beliau tulis dalam bukunya Brown Book Magazine :
Orang yang mencapai keberhasilan adalah orang yang hidup dengan baik, sering tertawa dan banyak mencintai;…yang mengisi tempatnya dan menyelesaikan tugasnya; yang meninggalkan dunia lebih baik dari ketika ia menemukannya…; yang tak pernah kekurangan penghargaan atas keindahan alam atau gagal mengekspresikannya; yang selalu mencari yang terbaik dari diri orang lain dan memberikan mereka yang terbaik yang dia miliki; yang hidupnya merupakan suatu inspirasi; yang kenangannya merupakan suatu rasa syukur. Identitas kita yang sebenarnya, yang memberi makna dan rasa keberhasilan sejati dalam hidup kita tidak terletak pada tugas-tugas, deadline, gaji, komisi, bonus atau proyek-proyek namun terletak pada hubungan kita dari hari ke hari, dalam hubungan kita dengan orang-orang di sekeliling kita. Orang berhasil adalah orang yang hidup dengan baik, yang menyelesaikan tugasnya, yang selalu mencari yang terbaik dari orang lain, dan memberikan yang terbaik yang ia miliki.

Faiez H. Seyal—seorang pembicara dan pelatih motivasi diri yang profesional di Pakistan—mengatakan bahwa keberhasilan atau kesuksesan adalah suatu perjuangan yang terus menerus. Ia adalah suatu perjalanan. Ia adalah suatu cara hidup. Betapapun baiknya sifat-sifat alami, kemampuan, dan keterampilan, namun apa gunanya seandainya dia tidak menyadari semua itu. Sebaliknya, seandainya dia tidak menyadari semua itu namun tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya dalam kehidupan ini, maka semua sifat, kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya akan menjadi sia-sia.
'Aidh al-Qarni—seorang penulis paling produktif di Saudi Arabia sekarang dan juga pengarang karya Fenomenal La Tahzan, buku terlaris di Timur Tengah—mengatakan bahwa "orang sukses adalah orang yang diridhai Allah karena keimanannya, disayangi keluarganya karena kelembutannya, dicintai manusia karena akhlaknya, dihormati masyarakatnya karena manfaat yang diberikannya."
David J. Schwartz dalam bukunya yang berjudul Berpikir dan Berjiwa Besar mengatakan bahwa:
Keberhasilan berarti banyak hal yang mengagumkan dan positif. Keberhasilan berarti berarti kesejahteraan pribadi: rumah yang bagus, liburan, perjalanan, pengalaman baru, jaminan keuangan untuk anak dan istri. Keberhasilan berarti memperoleh kehormatan, kepemimpinan, disegani oleh rekan bisnis, dan populer di kalangan teman. Keberhasilan terutama berarti kebebasan: kebebasan dari kekhawatiran, ketakutan, frustasi, dan kegagalan. Keberhasilan berarti rasa hormat kepada diri sendiri, terus menerus mendapatkan kebahagiaan yang lebih riil dan kepuasan dari hidup ini, mampu mengerjakan lebih banyak bagi mereka yang bergantung kepada Anda, dan yang kasih sayangnya begitu Anda hargai.


Dari beberapa definisi keberhasilan yang diungkapkan para ahli diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa orang yang berhasil adalah orang yang memiliki IQ yang dimanfaatkan secara efektif, meski tidak harus tinggi, dapat mengelola emosinya dengan baik, dan selalu memberi makna dalam setiap aktivitas hidupnya. Dia tidak merasa diperbudak oleh hidupnya karena dia sangat mencintai hidupnya dan selalu berusaha menjadi yang terbaik. Atau dengan kata lain keberhasilan adalah kemampuan seseorang untuk memiliki IQ, EQ dan SQ yang bersinergi dengan baik, sehingga dapat menghasilkan banyak hal positif yang bermanfaat untuk dirinya dan orang lain. Hatinya tenang dan selalu bahagia, tidak tertekan dan merasa semuanya bernilai.

2. Mencapai Keberhasilan
Dari berbagai pengertian keberhasilan, penulis akan mencoba menguraikan kalimat terakhir dari definisi keberhasilan yang ditulis oleh Bessie Anderson Stanley yaitu "orang yang berhasil adalah orang yang hidup dengan baik, yang menyelesaikan tugasnya, yang selalu mencari yang terbaik dari orang lain, dan memberikan yang terbaik yang ia miliki" .
Berdasarkan definisi tersebut diatas, cara untuk mencapai keberhasilan diantaranya adalah :
1. Hidup dengan baik
Semua orang ingin hidup dengan baik tapi tidak semua orang tahu cara untuk hidup dengan baik. Beberapa cara untuk hidup dengan baik antara lain : menemukan alasan untuk tertawa dan mempergunakan waktu dengan baik. Salah satu cara sederhana untuk hidup dengan baik adalah dengan selalu tersenyum. Begitu banyak orang pada masa kini yang tidak ingat lagi untuk tersenyum atau tertawa karena kesibukan atau masalahnya. Dunia akan selalu tampak lebih cerah bila dilihat sambil tersenyum.
Sebenarnya dibutuhkan lebih banyak otot untuk merengut daripada untuk tersenyum. Selain itu tertawa juga memilki sifat mengobati yang sangat praktis, tertawa mengirim endofrin ke otak, yang menimbulkan suatu perasaan yang nyaman dan tenang. Dari segi fisik, tertawa membuat tubuh bertenaga. Secara mental, tertawa membebaskan seseorang dari depresi dan mengubahnya menjadi sasaran-sasaran, impian-impian, dan kemenangan-kemenangan. Tertawa membuat waktu berjalan lebih cepat dan tugas-tugas berat lebih dapat dinikmati.
Al-Qarni mengatakan dalam buku La Tahzan-nya "Tertawa yang wajar itu laksana 'balsem' bagi kegalauan dan 'salep' bagi kesedihan. Pengaruhnya sangat kuat sekali untuk membuat jiwa bergembira dan hati berbahagia". Abu Darda' berkata: "Sesungguhnya aku akan tertawa untuk membahagiakan hatiku. Dan Rasulullah SAW. sendiri sesekali tertawa hingga tampak gerahamnya. Begitulah tertawanya orang-orang yang berakal dan mengerti tentang penyakit jiwa serta pengobatannya."
Yang kedua, untuk hidup lebih baik, yakni mempergunakan waktu dengan baik. Ketika hari ini tidak dimanfaatkan dengan baik, ia akan segera berlalu dan akan menjadi bagian dari sejarah. Jadi, jika mencintai hidup, jangan menghambur-hamburkan waktu karena, seperti kata Edward Young, waktu adalah bahan dasar kehidupan – "time is the ingredient of life" . Bahkan, Allah SWT bersumpah dengan waktu dalam Al-qur'an :
وَالْعَصْر.إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْر.إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (العصر:1-3)
Artinya : "Demi masa.Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran." (Q.S. Al-'Ashr/103: 1-3)
Quraish Shihab mengaitkan antara ayat pertama dan kedua bahwasanya waktu harus dimanfaatkan, apabila tidak diisi maka kita merugi, bahkan kalau pun diisi tetapi dengan hal-hal yang negatif, maka manusia pun diliputi oleh kerugian.
Salah satu cara agar dapat menggunakan waktu dengan efektif adalah dengan membagi suatu pekerjaan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. John erskine, seorang penulis dan profesor terkenal, pernah menulis bahwa dia mempelajari pelajaran paling berharga dalam kehidupannya dari guru pianonya ketika ia berusia 14 tahun. Berikut ini pengalaman hidup yang dia ceriterakan
Gurunya berkata "Berapa kali seminggu kamu berlatih, dan berapa lama kamu berlatih setiap kalinya?" tanya si guru. John menjawab bahwa ia biasanya mencoba berlatih satu kali sehari, biasanya selama satu jam atau lebih. Gurunya memperingatkan, "Jangan begitu, kalau kamu sudah dewasa, waktu tidak datang dalam porsi yang panjang-panjang. Berlatihlah dalam hitungan menit, kapan saja kamu sempat – lima atau sepuluh menit sebelum berangkat sekolah, setelah makan siang, di sela-sela tugas-tugas. Sebar waktu latihanmu sepanjang hari dan musik akan menjadi bagian dari hidupmu".

Melihat ke belakang, John menganggap nasehat itu sebagai formula yang bagus untuk mencegah "padam"-nya gairah. Ia juga menganggapnya sebagai suatu cara untuk menjalani kehidupan sebagai penulis kreatif, terlepas dari tugas mengajarnya. Ia menulis sebagian besar karyanya yang paling terkenal, Helen of Troy, dalam perjalanan pulang pergi antara rumahnya dan universitas.
Agar setiap hari berarti, seseorang harus menjadikan setiap menit berarti. Karena memang tidak ada sesuatu di dunia ini yang Tuhan ciptakan sia-sia, maka mengapa membiarkan waktu yang Tuhan karuniakan sia-sia?
2. Menyelesaikan Tugas dengan Baik
Winston Churchill pernah berkata, "Pekerjaan yang baik adalah pekerjaan yang diselesaikan dengan baik." Jadi, apapun yang sudah mulai hari ini, semuanya harus diselesaikan. Mungkin akan banyak rintangan tapi akan belajar banyak dari semuanya itu. Suatu pekerjaan yang diselesaikan lebih berarti dibandingkan banyak pekerjaan yang terhenti di tengah jalan. Apabila sebuah tugas sudah dimulai, jangan pernah meninggalkannya sampai selesai. Tidak peduli pekerjaan besar atau kecil, harus diselesaikan dengan baik atau tidak usah sama sekali.
3. Memberikan yang Terbaik
Seorang yang berhasil tidak hanya mereka yang menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Mereka adalah juga orang-orang yang senantiasa memberikan semua yang terbaik yang mereka miliki dikala mereka mengerjakan suatu pekerjaan. Apapun yang dilakukan, dan dalam percakapan di manapun terlibat, harus memberikan segenap hati, perhatian, dan tenaga maksimum. Memberikan seluruh diri pada setiap tugas yang dipilih untuk dilakukan, memberikan kreativitas terbaik pada setiap gagasan yang direnungkan. Bagaimanapun juga, terdapat kebanggaan dan kepuasan ketika mengetahui bahwa telah memberikan yang terbaik yang dimiliki. Mungkin tidak akan menjadi orang paling sukses di dunia, namun akan menjadi orang yang sukses dalam dunia sendiri.
Ronal Brown menulis "Tak peduli apa yang Anda lakukan, lakukanlah dengan sebaik-baiknya. Jika Anda hendak menjadi gelandangan, jadilah gelandangan terbaik yang ada." Jadi, selalu memberikan yang terbaik yang dimiliki untuk setiap pekerjaan, aktivitas, dan gagasan-gagasan adalah kunci untuk berhasil.

3. Kebiasaan Orang Berhasil
Kebiasaan adalah hal-hal yang dilakukan berulang-ulang. Tetapi kebanyakan orang tidak sadar akan kebiasaannya. Mereka seperti berjalan sendiri. Tergantung kebiasaan apa, seseorang bisa sukses atau hancur gara-gara kebiasaannya. Dia menjadi apa yang berulang-ulang dilakukan. Seperti yang dikatakan oleh penulis Samuel Smiles:
"Taburkanlah suatu pikiran, maka kamu akan menuai perbuatan;
Taburkanlah suatu perbuatan, maka kamu akan menuai kebiasaan;
Taburkanlah suatu kebiasaan, maka kamu akan menuai karakter;
Taburkanlah suatu karakter, maka kamu akan menuai takdir."
Terutama bagi para remaja, jika sudah dibiasakan melakukan hal yang baik sejak muda maka pada masa dewasanya dia akan mudah melakukan kebiasaan baik itu. Seperti dikatakan Muhammad Athiyah Al-Abrasyi yang dikutip Salihun A. Nasir:

"Siapa yang membiasakan sesuatu diwaktu mudanya, waktu tua akan menjadi kebiasaannya juga"
Dalam pembahasan mengenai keberhasilan ini, penulis akan mengemukakan sepuluh kebiasaan orang-orang berhasil yang penulis rangkum dari berbagai buku dan literatur tentang keberhasilan, yaitu:
1. Menerima Tanggung Jawab Hidup
Ciri-ciri umum semua orang berhasil adalah bahwa mereka membenci "status quo" dan menerima tanggung jawab hidup mereka. Dari pada menyalahkan orang lain, lingkungan dan keadaan sekitar, orang-orang sukses selalu melihat ke dalam diri mereka sendiri.
Tanggung jawab terdiri dari dua kata, yaitu "tanggung" dan "jawab", yang berarti "kemampuan untuk menjawab/merespon". Bagaimana merespon lingkungan di sekitar? Bagaimana mengatasi segala sesuatu dan kehidupan? Bagaimana cara merespon berbagai situasi, seperti itulah cara dalam menentukan keberhasilan dan kegagalan yang akan didapatkan.


2. Menemukan Jati Diri
Berdasarkan satu penelitian, 93 % orang-orang yang menyesal atas berbagai keputusan pribadi utama dalam hidup mereka, tidak yakin dengan prioritas yang mereka tentukan. Atau dengan kata lain, mereka tidak yakin dengan apa yang mereka inginkan dalam hidup. Mereka mengakui bahwa keputusan mereka didasarkan pada trend sosial, tekanan kawan, atau persepsi mereka terhadap apa yang mereka inginkan. Setelah itu, baru mereka sadar bahwa keputusan-keputusan itu yang berdasarkan prioritas hidup mereka sendiri mengarahkan mereka pada frustasi, ketidakbahagiaan dan penyesalan.
Dunia akan mengendalikan dengan caranya sendiri dan akan memeras, jika tidak pernah mengetahui apa yang diinginkan di dalam ataupun di luar hidup. Ia adalah hidup dan sepenuhnya adalah tanggung jawab diri sendiri untuk menemukan siapa diri yang sesungguhnya dan apa tujuan hidup yang dimiliki.
3. Membangun Visi
Visi berasal dari kata vision 'cara pandang ke masa depan'. Yaitu cara seseorang melihat gambar diri dihari esok. Tiap orang memang harus memiliki visi, karena pada umumnya semua orang yang sukses pasti memiliki visi, mereka semua punya mimpi. Selain itu juga harus menemukan sesuatu yang dicintai sehingga tidak akan pernah merasa dipaksa untuk bekerja karena seseorang tidak akan pernah merasa lelah dengan sesuatu yang dicintainya. Orang-orang yang meraih keberhasilan yang luar biasa tidak pernah mengatakan bahwa mereka akan bekerja. Mereka terbiasa pergi untuk cinta, bukan untuk kerja. Setiap hari mereka hidup untuk meraih satu atau sepasang langkah yang lebih banyak menuju mimpi mereka.
4. Mengembangkan Pikiran Positif dan Keyakinan Suportif
"Apa yang pikiran manusia dapat yakini dan percayai, maka dia dapat meraihnya"(Napoleon Hill) . Jika tidak belajar untuk berpikir positif dan mengembangkan kepercayaan yang mendukung visi hidup, maka tidak akan pernah sukses.
Jika berfikir atau memandang diri sebagai sosok yang gagal, misalnya sebagai seseorang yang tidak cocok dalam segala hal, maka akan menjadi seperti yang dipikirkan. Maka sebelum melangkah menuju perjalanan sukses, yakinkan dulu bahwa untuk selalu memandang tinggi diri sendiri, bukan rendah. Maksudnya bukan untuk sombong, tetapi harus percaya diri dan menghindari perasaan minder.
5. Mengambil Keputusan
Sekarang adalah waktunya untuk memilah visi yang dimiliki menjadi bagian yang lebih sempit sehingga mudah dicerna. Visi pastinya penuh dengan inspirasi, namun dapatkah menjadi kenyataan jika tetap duduk? Pasti, tidak. Visi tersebut harus diubah menjadi kenyataan dan menerjemahkan visi tersebut menjadi suatu realita.
Tidak ada yang mungkin terjadi tanpa adanya sebuah keputusan. Mengapa harus menunggu hari-hari khusus untuk mengambil keputusan-keputusan utama dalam hidup. Jadikan setiap hari sebagai hari spesial dari hidup dengan mengambil keputusan-keputusan positif setiap hari.
6. Menerima Kegagalan Sebagai Peluang
Kegagalan mengajarkan untuk tidak menghalangi perkembangan. Kegagalan menyediakan peluang-peluang pembelajaran. Sebagaimana ada orang yang menyatakan bahwa kita tidak dapat mengubah arah angin, namun kita selalu dapat menyesuaikan arah perahu kita. Kegagalan adalah anugerah, jika mengambil hikmahnya. Selalu ada pelajaran dari setiap kegagalan.
Penting dikembangkan sebuah kebiasaan, yaitu tidak pernah kehilangan pandangan akan setiap kegagalan atau kemunduran tanpa belajar sesuatu darinya. Hanya itulah satu-satunya cara untuk mengubah kegagalan menjadi suatu investasi, sebaliknya jika tidak belajar maka kemungkinan akan mengulangi kesalahan yang sama terus menerus.
7. Petunjuk Jalan
Dalam hidup ini selalu ada sejumlah tantangan, dan untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, dibutuhkan beberapa perangkat atau kekuatan. Tanpa kekuatan ini, maka mengatasi berbagai tantangan tersebut akan benar-benar sulit. Menurut Seyal, kekuatan itu adalah:
• Kekuatan fokus
• Kekuatan ketetapan hati
• Kekuatan kesabaran dan kegigihan
• Kekuatan mencintai manusia
• Kekuatan belajar melalui observasi dan bertanya
8. Hidup dengan Karakter
Karakterlah yang membantu kita hingga sampai di puncak kesuksesan dan kemudian memeliharanya agar kita tetap berada di puncak. Ada definisi yang sangat menarik yang ditulis Seyal bahwa karakter adalah "Apa adanya diri Anda dalam kegelapan". Di tengah malam, ketika tidak ada seorang pun di jalanan, maukah seseorang berhenti saat lampu merah menyala? Itulah karakter. Ketika tidak dibayar akibat tidak mematuhi rambu lalu lintas terlalu mahal, biasanya orang-orang pasti berhenti. Namun, seseorang yang berhenti pada lampu merah ketika tidak ada seorang pun yang memaksanya adalah berbeda. Sesuatu yang ada dalam dirinya itulah yang membuatnya berbeda dari mereka yang tidak berhenti, perbedaan itu adalah karakter.
9. Hidup dengan Sikap Melayani
Salah satu karakter baik yang dimiliki orang-orang berhasil adalah mereka semua memiliki sikap melayani. Keyakinan mereka adalah bahwa hidup mereka akan bertambah kaya dengan berbagi. Keyakinan mereka adalah memberi yang mereka dapatkan.
Satu hukum alam yang amat penting , dimana hukum tersebut menyatakan bahwa semakin banyak menginginkan sesuatu, maka harus semakin banyak memberi, artinya; Semakin banyak pengetahuan yang diinginkan, satu-satunya cara untuk memilikinya lebih banyak adalah dengan cara memberikan lebih banyak kepada orang lain.
10. Hidup Bersama Allah
Salah satu karakteristik dari mereka orang-orang sukses adalah bahwa mereka hidup bersama Allah dalam segala kondisi, apapun agama yang mereka anut. Bukankah masalah apa pada diri sendiri, sering kali, tidak mempunyai semua informasi yang diharapkan untuk mengambil sebuah keputusan yang bijaksana. Untuk itu, harus dimiliki seorang sahabat, pelatih dan pendamping yang mengetahui itu semua, yang mengetahui semua informasi, yang tidak menyelewengkan, dan yang mencintai. Sesuatu yang harus dipercaya dan diyakini bahwa apapun yang dikatakan-Nya, adalah batas benar. Apabila tidak memiliki satu sosok seperti ini, maka hidup akan menjadi sangat sulit, karena itulah hal tersebut akan menjadi sulit. Siapa lagi yang dapat menjalankan peran ini kecuali Allah? Setiap orang harus percaya kepada-Nya, apapun yang akan dipilihkan-Nya atau yang diminta-Nya untuk dilakukan, pastilah benar, bahkan jika hal tersebut sebenarnya bukan yang diinginkan.

B. Remaja
1. Pengertian Remaja
Masa remaja atau dalam Kamus Lengkap Psikologi disebut adolesence diartikan periode antara pubertas dan kedewasaan. Usia yang diperkirakan : 12 sampai 21 tahun untuk anak gadis, yang lebih cepat menjadi matang daripada anak laki-laki, dan antara 13 hingga 22 tahun bagi anak laki-laki.
Pada periode ini terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah, terutama fungsi seksual. Yang sangat menonjol pada periode ini ialah : kesadaran yang mendalam mengenai diri sendiri, dengan mana anak muda mulai meyakini kemauan, potensi dan cita-cita sendiri. Dengan kesadaran tersebut dia berusaha menemukan jalan hidupnya; dan mulai mencari nilai-nilai tertentu, seperti kebaikan, keluhuran, kebijaksanaan, keindahan, dan sebagainya.
Pada periode ini terdapat kematangan fungsi jasmaniah yang biologis, berupa: kematangan kelenjar kelamin; yaitu testes (buah zakar, kelepir) untuk anak laki-laki; dan ovarium atau indung telur pada anak gadis. Kedua-duanya merupakan tanda-tanda kelamin primer. Sebelumnya, peristiwa ini didahului oleh tanda-tanda kelamin sekunder, yang secara kronologis mendahului ciri-ciri primer.
Tanda kelamin sekunder antara lain berupa: gangguan peredaran darah, sering berdebar-debar, menggigil; pertumbuhan rambut pada alat kelamin, ketiak, kumis, cambang, dan perubahan suara. Disamping ini ada gejala-gejala khusus pada anak-anak gadis, yaitu meluasnya dada dan tumbuhnya payudara; juga menebalnya lapisan lemak sekitar pinggul, paha dan perut.

2. Pembagian Masa Remaja
Masa remaja atau masa pubertas terbagi dalam empat fase, yaitu:
1). Masa awal pubertas, disebut pula sebagai masa pueral atau pra-pubertas.
2). Masa menentang kedua, fase negatif, Trotzalter kedua, periode Vemeinung.
3). Masa pubertas sebenarnya; mulai kurang lebih 14 tahun. Masa pubertas anak wanita pada umumnya berlangsung lebih awal daripada pubertas anak laki-laki.
4). Fase Adolesensi, mulai usia kurang lebih 17 tahun sampai sekitar 19-21 tahun.

3. Ciri-ciri Masa Remaja
Berdasarkan pembagian masa remaja diatas, penulis akan menguraikan ciri-ciri masa remaja sesuai dengan masa pembagiannya.
1. Ciri-ciri khas masa awal pubertas atau pueral (12-14 tahun).
Anak puer disebut pula sebagai Anak Besar, yang tidak mau dianggap "kanak-kanak dan kecil" lagi ; namun belum bisa meninggalkan pola kekanak-kanakannya. Sikap hidup anak puer itu realistis dan sadar "nuchter". Ia belum memperdalam isi kejiwaan sendiri, tapi lebih aktif menengok ke dunia luar.
Ciri yang paling menonjol pada usia ini ialah: rasa harga-diri yang makin menguat. Tidak ada periode kehidupan manusia yang secara psikis begitu positif kuat daripada periode pueral ini. Aktivitas anak hampir seluruhnya diarahkan keluar, dan ditampilkan dalam macam-macam prestasi. Anak puer ini mempunyai keinginan yang menggebu-gebu untuk menarik perhatian orang lain pada dirinya, dan didorong oleh tuntutan pengakuan ego-nya.
Disamping itu, pada fase pra-pubertas/pueral itu terdapat pula gejala melemahnya ikatan afektif dengan orang tua, (gejala afektif tersebut sangat kuat pada masa kanak-kanak, 1-10 tahun). Maka pada anak puer ini timbul peningkatan dari:
1. Rasa tanggung jawab
2. Rasa kebebasan/independensi
3. Rasa "aku/ego"-nya.
Semua kejadian tadi menumbuhkan rasa-diri atau "zelfgevoel" yang kuat. Anak mulai menyadari kekuatan sendiri, dan harga dirinya sebagai seorang individu atau sebagai "aku" yang mandiri.
Pada usia pueral ini juga timbul kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang hebat-hebat. Namun perasaan hidup yang positif kuat ini juga sering membawa anak muda pada aktivitas mengasingkan diri. Yaitu, mengasingkan diri dalam artian menjauhkan diri dari kekuasaan orang tua, lalu menggerombol dengan kawan-kawan "senasib" dan seumur, dalam usahanya mendapatkan pengakuan terhadap "aku"-nya. Dengan sadar anak mulai melepaskan relasi dengan lingkungan dan kekuasaan orang tua, atau orang yang dianggap memiliki kewibawaan terhadap dirinya. Namun tampaknya yang ditemukan oleh anak-anak pra-puber ini adalah perasaan-perasaan: belum mengerti, kesunyian, tidak mantap, tidak stabil, tidak puas, tidak sesuai, dan kekecewaan-kekecewaan belaka.
Anak sering merasa lemah dan bingung menghadapi konflik batin sendiri. Ada rasa-rasa yang antagonis/bertentangan antara rasa-rasa hidup yang positif kuat, melawan rasa "masih kanak-kanak kecil" yang lemah dan tidak tahu. Di samping itu juga timbul kebutuhan yang sangat kuat untuk dianggap "sudah dewasa". Namun, untuk mendapatkan pengakuan kedewasaan, anak mengemukakan banyak tentangan serta kesulitan. Di satu pihak ada perasaan sudah besar, kuat, pandai, dan jadi dewasa. Namun di pihak lain masih ada macam-macam perasaan ketidakpastian dan kecemasan, sehingga anak merasa membutuhkan perlindungan.
2. Ciri-ciri Khas Masa Menentang Kedua (fase negatif), Trotzalter kedua, periode Verneinung.
Pada akhir periode pueral timbul kecenderungan-kecenderungan untuk menentang dan memberontak, yang didorong oleh perasaan hidup positif, kuat, dan kesadaran "aku" anak. Karena itu periode ini disebut sebagai Masa menentang atau Trotzalter kedua; dan dicirikan dengan ekspresi-ekspresi khas, seperti: suka mogok, tidak patuh, keras kepala, suka memprotes, melancarkan banyak kritis, sombong, merasa sudah dewasa, acuh tak acuh, sembrono, suka berlagak, agresif, cepat marah, dan besar mulut.
Dorongan paling kuat pada usia ini adalah : tuntutan pengakuan terhadap "ego/aku"-nya. Emosi-emosi yang positif kuat (rasa-diri super) sering meluap-luap, bercampur-baur dengan sentimen-sentimen negatif yang intens kuat, sehingga sering timbul banyak ketegangan batin, konflik, intern, dan kecemasan.
Anak suka melanggar dan menentang peraturan-peratuaran pedagogis, disiplin dan ketertiban di rumah maupun di sekolah, karena dia merasa sudah "dewasa" dan benar sendiri. Masa menentang ini disebut pula sebagai fase negatif , karena tindakan anak seakan-akan menjurus pada hal-hal yang negatif, yaitu dengan sengaja melanggar aturan dan menentang kewibawaan. Juga disebut sebagai periode Verneinung (nein = tidak, emoh; verneinung = ketidakmauan, keemohan). Lama fase menentang ini berlangsung kira-kira selama 2-10 bulan.
3. Ciri-ciri Masa Pubertas (14-17 tahun)
Kepribadian anak pra-pubertas pada intinya masih bersifat kekanak-kanakan. Bahkan juga pada masa pubertas sebenarnya, masih banyak terdapat unsur kekanak-kanakan. Namun pada usia puber ini muncul unsur baru, yaitu: kesadaran akan kepribadian dan kehidupan batiniah sendiri; sekaligus perkuatan dari rasa-"aku".
Masa pubertas awal atau disingkat saja dengan masa pubertas merupakan periode tergugahnya kepribadian anak. Muncullah minat subyektif ke dalam diri sendiri yang sangat besar. Untuk anak puber tersebut masalah "aku"/diriku merupakan tema yang penting; dan kehidupan batiniah sendiri kini dijadikan pemikiran dan perenungannya.
Masa pubertas ini merupakan periode strum und drang (masa penuh badai-topan dan gelora nafsu). Merupakan waktu untuk terus menerus mencari dan menemukan; dipenuhi unsur keputusasaan dan puncak kebahagiaan. Juga merupakan periode perjuangan untuk mandiri (menjadi aku yang berdiri sendiri). Anak sering dicekam kepedihan hati, karena ia tidak memahami keadaan diri sendiri maupun situasi lingkungannya. Hatinya dicekam oleh pesimisme, diselingi dengan romantika kegembiraan hidup.
Ringkasnya, anak muda pada usia ini tengah mengalami pertentangan-pertentangan batin yang paling memuncak dalam kehidupannya, karena itu masa pubertas ini benar-benar merupakan periode penuh kontras, badai permasahan, dan gelora jiwa yang sering berlawanan, yang mengakibatkan timbulnya banyak kecemasan dan kebingungan pada anak muda.
4. Ciri-ciri Masa Adolesensi (17-21 tahun)
Pada adolesensi ini terjadi proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisik, yang berlangsung secara berangsur-angsur dan teratur. Masa tersebut merupakan kunci-penutup dari perkembangan anak. Pada periode ini anak muda banyak melakukan introspeksi (mawas diri) dan merenungi dir sendiri. Akhirnya anak bisa menemukan "aku"-nya. Dalam pengertian, dia mampu menemukan keseimbangan dan harmoni/keselarasan baru di antara sikap ke dalam diri sendiri dengan sikap keluar, ke dunia obyektif.
Menurut banyak ahli ilmu jiwa, batas waktu adolesensi itu ialah 17-19 tahun, atau 17-21 tahun. Pada masa ini, anak muda mulai merasa mantap, stabil. Dia mulai mengenal "aku"-nya, dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri, dengan itikad baik dan keberanian. Dia mulai memahami arah hidupnya, dan mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola hidup yang jelas dan baru ditemukannya.
Selama periode adolesensi ini masih terdapat benturan-benturan di antar dua "dunia", yaitu dunia masa mendatang menuju pada kebebasan dan kedewasaan yang merupakan unsur progresif, melawan dunia masa lampau yang mengandung unsur depedensi (ketergantungan), egosentrisme dan infantilisme, yang sifatnya regresif (surut kembali, mundur). Selanjutnya, apakah perkembangan adolesensi itu akan membaik atau justru semakin memburuk, sangat bergantung pada kemenangan salah satu unsur tadi. Yaitu unsur yang sangat progresif atau regresif yang akan muncul sebagai pemenangnya.
Sehubungan dengan peristiwa ini, kepribadian dan nasib orang dewasa banyak dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa dan pengalaman-pengalaman pada masa adolesensi, yang diberi latar belakang oleh pengalaman-pengalaman pada masa pra-pubertas dan pubertas. Maka masa adolesensi itu merupakan perjuangan terakhir bagi anak remaja, dan definitif menentukan corak serta bentuk kedewasaannya.



BAB IV
SPIRITUAL QUOTIENT DAN KEBERHASILAN REMAJA



A. Menerapkan Spiritual Quotient dalam Kehidupan Remaja
Menerapkan Spiritual Quotient dalam kehidupan remaja adalah agar seorang remaja dalam melakukan aktivitasnya baik beribadah, bermain, bekerja, belajar, semuanya memiliki makna, tidak pernah lepas dari nilai sehingga dia tidak merasa diperbudak oleh kegiatan-kegiatannya, tidak lagi merasa gelisah, dapat mandiri dan siap untuk menjalani kehidupan dengan segala resiko dan cobaan-cobaannya. Untuk menerapkannya maka SQ remaja harus dikembangkan terlebih dahulu.
Oleh karena itu, berdasarkan hasil analisis dari berbagai referensi, penulis merangkum beberapa cara untuk menerapkan dan mengembangkan kecerdasan spiritual dalam kehidupan remaja, yakni sebagai berikut:
1. Menjadi Teladan Spiritual yang Baik
Orang tua atau guru yang bermaksud mengembangkan SQ remaja haruslah seseorang yang sudah mengalami kesadaran spiritual juga. Ia sudah 'mengakses' sumber-sumber spiritual untuk mengembangkan dirinya. Karakter orang yang cerdas secara spiritual adalah orang yang dapat merasakan kehadiran dan peranan Tuhan, seperti diungkapkan Khalil Khavari dalam bukunya Spiritual Intelligence, Practical Guide to Personal Happines yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat "Spiritual intelligence is the faculty of our non material dimension the human suol". Ia harus sudah menemukan makna hidupnya dan mengalami hidup yang bermakna. Ia tampak pada orang-orang disekitarnya sebagai "orang yang berjalan dengan membawa cahaya." Ia tahu kemana ia harus mengarahkan bahteranya. Ia pun menunjukkan tetap bahagia di tengah topan dan badai yang melandanya.
2. Membantu Merumuskan Misi Hidupnya
Nyatakan kepada remaja bahwa ada berbagai tingkatan tujuan, mulai tujuan paling dekat sampai tujuan paling jauh yakni tujuan akhir. Jika dia akan memilih sebuah langkah, tanyakan kepadanya apa maksudnya, manfaatnya, lalu apa tujuannya dan seterusnya sampai dia mengetahui tujuan akhirnya.
Dengan menggunakan teknik "what then" dalam anekdot Danah Zohar, cara ini dapat membantu seorang remaja untuk menemukan misinya. Jika kamu sudah sekolah, kamu mau apa? Aku mau jadi orang pintar. Jika sudah pintar, mau apa, what then? Dengan kepintaranku, aku akan memperoleh pekerjaan yang bagus. Jika sudah dapat pekerjaan, mau apa? Aku akan punya duit banyak. Jika sudah punya duit banyak, mau apa? Aku ingin bantu orang miskin, yang di negeri kita sudah tidak terhitung jumlahnya. Sampai disini, seorang remaja telah dibantu untuk menemukan tujuan hidupnya.


3. Menumbuhkan Kebiasaan Spiritual Sehari-hari
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam kehidupan remaja adalah membiasakan menerapkan kebiasaan spiritual dalam kehidupannya sehari-hari. Kebiasaan ini sebaiknya dijadikan praktek rutin yang secara otomatis menghubungkan remaja dengan Allah. Misalnya baca doa sebelum tidur. Misalnya ketika remaja belajar dapat bersyukur kepada Allah untuk akal sehat yang telah Allah berikan. Atau mungkin setiap kali mereka memulai sebuah pertandingan atau kompetisi mereka dapat membisikkan doa syukur atas kesempatan berkompetisi. Juga berdoa dalam hati ketika mereka turun dari bis, ketika mendapatkan ketakutan, kecemasan, mereka dapat berkata "Allah selalu menyertai saya dengan perlindungan-Nya", ketika bersin mengucapkan hamdalah dan mendoakan yang bersin serta mengajari mereka melakukan hal yang sama bagi orang lain.
Menumbuhkan bahwa semua yang terjadi disetiap nafas, gerakan dan kejadian bermakna dan bernilai. Ketika berwudlu, air wudlu akan mengalirkan dosa-dosa, membawa pergi semua sakit hati atau kemarahan hari itu ke dalam pembuangan, membuat mereka melepaskan kebencian dan ketegangan yang dirasakan.
Menjadikan kebiasaan berdo'a dan mendo'akan orang lain, tak peduli siapapun dia, ketika melihat pengemis di jalanan, mendengar bunyi sirine, melewati kuburan. Mengirimkan doa kepada setiap orang yang terlibat dalam kecelakaan atau keadaan darurat.


4. Menceriterakan Kisah-kisah Agung
Remaja, bahkan orang dewasa, sangat terpengaruh dengan cerita. Jalaludin Rahmat menulis pendapat Gerbner dalam artikelnya. "Manusia adalah satu-satunya makhluk yang suka bercerita dan hidup berdasarkan cerita yang dipercayainya." Para Nabi mengajar umatnya dengan parabel atau kisah perumpamaan. Para kaum sufi seperti Al-'Attar, Rumi, Sa'di mengajarkan kearifan perenial dengan cerita. Sekarang Jack Canfield memberikan inspirasi pada jutaan orang melalui Chicken Soupnya.
Saat menerangkan sebuah materi kepada anak-anak SMA saat PPLK, para siswa terlihat biasa saja. Ada yang mendengarkan, ngobrol bahkan ngantuk. Tetapi ketika menceriterakan sebuah hikayat, apalagi diperkuat bahwa sumber hikayat ini terpecaya, dari sebuah kitab ulama terkemuka, mereka akan mendengarkan dengan seksama bahkan mereka selalu mengingatnya dan mengambil intisarinya dengan mudah. Bahkan, ketika penulis menceriterakan sebuah kisah dari kitab Tankih Al-Qoul kepada para santri yang masih remaja tentang kisah Khalifah Umar Al-Faruq ketika memberikan hukuman zina kepada anaknya sendiri hingga meninggal dunia, banyak santri yang menangis karena mereka amat menghayati cerita itu.
5. Mendiskusikan Berbagai Persoalan dengan Perspektif Ruhaniah
Melihat dari perspektif ruhaniah artinya memberikan makna dengan merujuk pada Rencana Agung Allah (divine grand design). Mengapa hidup kita menderita? Kita sedang diuji Allah, Allah ingin kita bertambah pahala, hilang dosa dan derajat kita dinaikkan oleh-Nya. Allah tahu bahwa kita mampu mengatasi masalah yang sulit itu, makanya Allah memberikan masalah itu pada kita, Allah percaya kita mampu sabar dan mengatasi masalah itu dengan baik. Rahmat mengutip Rumi mengatakan bahwa bisa dikatakan pada seorang anak atau remaja bahwa bunga mawar di taman bunga hanya merekah setelah langit menangis. Anak kecil tahu bahwa ia hanya akan memperoleh air susu dari ibunya setelah menangis. Penderitaan adalah cara Allah untuk membuat orang menangis. Menangislah supaya Sang Perawat Agung memberikan susu keabadian. Mengapa kita bahagia? Memperhatikan bagaimana Allah selalu mengasihi hambanya, berkhidmat melayani keperluan hambanya, bahkan jauh sebelum hambanya menyebut asma-Nya. Semua masalah yang terjadi adalah bentuk kasih sayang Allah pada hambanya. Karena jika Allah ingin memberikan kebahagiaan, Allah akan mengirimnya lewat sesuatu yang harus dijalani dengan penuh kesabaran dan tetap istiqomah pada jalan-Nya.
6. Memberikan Keyakinan Bahwa Allah Selalu Memperhatikan
Perhatian Allah kepada makhluknya adalah karunia ganda. Sang Pencipta "memperhatikan" dengan "mencintai" dan "memelihara". Jika remaja tahu bahwa mereka dicintai dan diperhatikan, mereka dapat menjalani hidup dengan gembira dan damai—mereka memiliki segala rasa aman yang mereka butuhkan dan mereka tidak pernah sendiri. Mereka dapat dengan lebih baik mengatasi banyak situasi hidup yang tidak dapat dijelaskan. Memberikan remaja keyakinan bahwa Allah menghendaki yang terbaik, membantu mereka memahami bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi kesulitan. Setelah mereka dewasa, mereka akan memahami bahwa kebetulan itu tidak ada dan semua terjadi karena suatu alasan.
Mengajak mereka memahami pasti ada hikmah yang dapat dipelajari dari pengalaman baik dan buruk serta tidak berfokus pada "mengapa", mungkin mereka tidak akan tahu alasan itu dalam hidup ini, tetapi tidak diragukan lagi bahwa alam semesta berkembang sebagaimana mestinya dan Allah mengatur segalanya. Mereka dapat diyakinkan bahwa semua orang telah dikaruniai kebebasan memilih dan Allah memberi kelapangan dada dan keberanian untuk menerima hasil dari setiap pilihan.
7. Membawa Remaja untuk Menikmati Keindahan Alam dan ke tempat Orang Menderita.
Teknologi modern dan kehidupan urban membuat remaja teralienasi dari alam. Mereka tidak akrab lagi dengan alam. Setiap hari mereka berhungan dengan alam yang sudah dicemari, dimanipulasi dan dirusak. Alam tampak di depan mereka sebagai musuh setelah mereka memusuhinya. Membawa remaja kepada alam yang yang relatif belum tercemari, ke puncak gunung, merasakan udara yang segar dan sejuk, mendengarkan burung-burung yang berkicau dengan bebas, menghirup wewangian alami, atau mengajak mereka ke pantai, merasakan angin yang menerpa tubuh, mencelupkan kaki ke pinggir laut dan membiarkan ombak-ombak kecil mengelus-elus jemari mereka. Harus ada waktu khusus orang tua dengan anak-anaknya untuk menikmati bersama ciptaan Allah, setelah setiap hari mereka dipengapkan oleh semua tentang kehidupan.
Nabi Musa pernah bermunajat dengan Allah di Bukit Sinai. Setelah ia kembali ke kaumnya, ia merindukan pertemuan dengan Dia. Ia bermunajat, "Tuhanku, dimana bisa kutemui Engkau?" Tuhan berfirman, "Temuilah aku di tengah-tengah orang-orang yang hancur hatinya." Di sekolah Muthahari—sebuah yayasan milik Jalaludin Rahmat di Bandung—ada program yang disebut "Spiritual Camping". Dalam program itu, para guru mengajak murid-muridnya ke pedesaan, di mana alam relatif belum terjamah oleh teknologi. Malam hari, mereka mengisi waktunya dengan beribadah dan bertafakkur. Siang hari mereka melakukan action research, untuk mencari dan meneliti kehidupan orang yang paling miskin di sekitar itu. Seringkali, ketika mereka melaporkan hasil penelitian itu, mereka menangis. Secara serentak, mereka menyisihkan uang mereka untuk memberikan bantuan. Dengan begitu, mereka dilatih untuk melakukan kegiatan sosial juga.
Penulis pernah membaca cerita nyata dari Jack Canfield dalam Chicken Soup for the Teens yang dikutip dalam sebuah artikel di internet . Ia bercerita tentang seorang anak yang "catatan kejahatannya lebih panjang dari tangannya." Anak itu pemberang, pemberontak, dan ditakuti baik oleh guru maupun kawan-kawannya. Dalam sebuah acara perkemahan, pelatih memberikan tugas kepadanya untuk mengumpulkan makanan untuk disumbangkan bagi penduduk termiskin. Ia berhasil memimpin kawan-kawannya untuk mengumpulkan dan membagikan makanan dalam jumlah yang memecahkan rekor kegiatan sosial selama ini. Setelah makanan, mereka mengumpulkan selimut dan alat-alat rumah tangga. Dalam beberapa minggu saja, anak yang pemberang itu berubah menjadi anak yang lembut dan penuh kasih. Seperti dilahirkan kembali, ia menjadi anak yang baik, rajin, penyayang dan penuh tanggung jawab.
Sebenarnya masih banyak cara lain untuk mengembangkan SQ remaja, namun dengan beberapa cara diatas Insya Allah dapat mengembangkan SQ remaja dan menjadikannya bersinar serta memiliki motivasi tinggi dan kemandirian untuk mencapai keberhasilan remaja dan cita-cita yang diharapkan dengan penuh kebahagiaan jiwa dan raga.

B. Analisis Konsep Keberhasilan Remaja
Setiap orang pasti ingin berhasil dalam kehidupannya. Tidak ada seorangpun yang ingin hidupnya gagal. Berhasil dan gagal menjadi dua kondisi yang saling berlawanan. Sukses menjadi idaman setiap orang, sedang gagal menjadi momok yang dijauhi setiap orang. Keberhasilan terkait erat dengan pencapaian hasil atau keberuntungan karena mendapatkan sesuatu. Sebaliknya tidak berhasil adalah kegagalan untuk mencapai hasil yang diharapkan atau ketidak beruntungan karena tidak mendapatkan sesuatu.
Menurut John Maxwell yang dikutip oleh Satria Hadi Lubis dalam buku Unstoppable Success, "sukses adalah mengetahui apa tujuan hidup Anda; bertumbuh untuk mencapai kemampuan maksimal Anda; dan menabur benih untuk memberikan manfaat kepada yang lainnya". Henry Wadsworth L. menyebutkan sukses sebagai "melakukan apa yang dapat Anda kerjakan dengan baik dan melakukan sebaik-baiknya apa yang Anda kerjakan." Sedangkan Napoleon Hill mengatakan sukses adalah "mereka yang selalu memberi, membentuk dan mengontrol egonya sendiri, tidak menyisakan tempat untuk mengharapkan adanya keberuntungan atas tiap pekerjaan atau kesempatan, atau segala perubahan nasib."
Apapun makna sukses atau berhasil yang diketahui, namun orang lebih mudah mengucapkan kata 'berhasil' daripada mengalami keberhasilan itu sendiri. Keberhasilan menjadi kata 'sakral' yang sulit diraih. Karena kebanyakan orang mengartikan berhasil sebagai tujuan yang diraih, bukan proses yang sedang dialami. Inilah yang membuat berhasil menjadi sekedar impian bagi bagi banyak orang.
Bayangan orang tentang berhasil biasanya adalah bayangan tentang banyaknya halangan yang harus dilalui untuk memperoleh keberhasilan. Halangan yang sulit dan membutuhkan banyak pengorbanan, sehingga akhirnya banyak orang menganggap berhasil sebagai ilusi yang tak mungkin terwujud.
Hal ini jugalah yang para remaja alami. Dengan kondisi emosinya yang belum stabil, kepribadian yang belum matang, dan perasaan yang sangat peka. Mereka menganggap keberhasilan sulit mereka raih. Berhasil di bidang ynag mereka geluti memang menjadi impian mereka, tetapi mereka merasa itu sangat sulit dan merasa hidup mereka kurang berarti.
Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya yang membahas ciri-ciri remaja. Pada umumnya remaja memiliki banyak problem dalam hidupnya, dia lebih sering bingung dan belum dapat menghadapi masalah-masalah dengan baik.
Remaja yang berhasil adalah remaja yang dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya dengan baik, maka hal itu merupakan modal dasar dalam menghadapi masalah-masalah selanjutnya sampai ia dewasa. Apalagi remaja itu seorang yang kuat, yang dapat memecahkan berbagai problema yang dihadapinya. Remaja yang kuat jasnmani dan rohaninya dalam menghadapi persoalan hidup, akan menjadi orang yang selalu berguna bagi agama, nusa dan bangsanya.
Itulah remaja harapan agama, harapan bangsa dan negara. Remaja yang demikian ini telah dilukiskan dalam Al-Qur'an sebagai berikut :
إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى (الكهف :13)
Artinya: "Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk" (Q.S. Al-Kahfi/18 : 13)
Sayyid Quthub menafsirkan ayat tersebut, antara lain sebagai berikut :
اِنَّهُمْ فِتْيَةٌ اَشِدَّآءٌ فِىْ اَجْسَاِمهِمْ اَشِدَّآءُ فِىْ اِيْمَانِهِمْ اَشِدَّآءُ فِىْ اِسْتِنْكَارِهِمْ مَا عَلَيْهِمْ.

"Mereka adalah remaja gagah dan badannya kuat perkasa, hatinya teguh dengan iman tulus membaja, berpendidikan kuat dan bersikap tegas dalam menghadapi keingkaran kaum mereka"
Begitulah, remaja penerus perjuangan bangsa dan pembangunan nasional yang mempunyai semangat patriotisme, budi pekerti yang tinggi, berilmu dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukan remaja yang hanya mengandalkan dan membanggakan orang tuanya dan jasa-jasa para leluhurnya, tetapi remaja yang selalu siap sedia menderma-baktikan dirinya untuk kepentingan agama, nusa dan bangsanya. Sebagaimana disyairkan oleh Syauqy Beyk :
اِنَّ اْلفَتَى مَنْ يَقُوْلُ هأَ نَاذَا.
وَلَيْسَ اْلفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ أَبِى
"Yang dikatakan pemuda ialah yang berkata : inilah aku, bukanlah seorang pemuda kalau ia berkata :Bapakku si anu".
Remaja yang hanya membangga-banggakan atau menonjol-nonjolkan orang tuanya, apalagi dirinya penuh dengan problema yang tidak bisa diatasinya bahkan menjadi remaja yang nakal, maka remaja yang seperti inilah yang dikhawatirkan untuk masa depannya. Karena dikhawatirkan mereka itu tidak bisa melanjutkan perjuangan dan pembangunan masyarakat dan bangsanya. Dan dikhawatirkan pula mereka menjadi pengacau dan perusak bagi masyarakat, nusa dan bangsanya. Inilah yang menjadi kehawatiran para pemimpin, para tokoh masyarakat, Ulama, Kyai, Ustadz, Guru dan lain-lainnya.
Kekhawatiran ini pernah pula dialami oleh para Nabi. Diantaranya ialah Nabi Zakaria a.s. Firman Allah tentang kekhawatiran Nabi Zakaria terhadap generasi muda:
وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي (مريم:5)
Artinya : "Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku" (Q.S. Maryam/19 : 5)
Yang dimaksud oleh Nabi Zakaria dengan mawali ialah orang yang akan mengendalikan dan melanjutkan urusannya sepeninggalnya. Dan yang dikhawatirkan oleh Nabi Zakaria ialah kalau mereka tidak dapat melaksanakan urusan itu dengan baik, karena tidak seorangpun diantara mereka yang dapat dipercayainya. Oleh sebab itu dia minta agar dianugerahi seorang anak dan keturunan yang baik-baik.
Remaja yang mampu menyelesaikan segala macam problem hidupnya dengan baik, tenang, dan tidak selalu gelisah, selalu berusaha mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya, menjalani hidup penuh dengan makna, tidak hanya mengandalkan orang tuanya saja, inilah yang dinamakan remaja yang berhasil. Bidang apapun yang mereka tekuni akan selalu berusaha dijalaninya dengan sepenuh hati, penuh rasa cinta, selalu optimis dan selalu diselesaikan dengan baik karena ia ingin selalu berusaha memberikan yang terbaik bukan hanya untuk dirinya tapi untuk orang-orang disekitarnya. Hidupnya dirasakan tidak hanya berhasil tapi juga bahagia. Remaja seperti inilah yang diharapkan agama, bangsa dan negara sebagai penerus perjuangan bangsa dan penegak agama.

C. Peranan Spiritual Quotient dalam Keberhasilan Remaja
Sungguh indah jika seorang remaja merasa hidupnya sangat indah, penuh makna dan selalu bernilai ibadah. Dia tidak pernah merasa tertekan dalam hidupnya, semua dia jalani dengan penuh senyuman, tak kecewa meski badai menghadangnya, tidak frutasi ketika rencananya gagal dan tak pernah berhenti berusaha dan berdo'a, selalu berusaha mengikuti petunjuk Tuhan, selalu optimis dan mandiri.
SQ atau kecerdasan spiritual yang berkembang dengan baik dapat menjadikan seseorang memiliki "makna" dalam hidupnya. Dengan "makna" hidup ini seseorang akan memiliki kualitas "menjadi", yaitu suatu modus eksistensi yang dapat membuat seseorang merasa gembira, menggunakan kemampuannya secara produktif dan dapat menyatu dengan dunia.
Zohar dan Marshall memberikan tanda dari SQ yang berkembang dengan baik sebagai berikut:
1. Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif)
2. Tingkat kesadaran diri yang tinggi
3. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
4. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
5. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
6. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
7. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (holistik)
8. Kecenderungan nyata untuk bertanya "mengapa?" atau "bagaimana jika" untuk mencari jawaban-jawaban mendasar
9. Mandiri

Sedangkan Robert A. Emmons, seorang psikolog yang menulis karakteristik orang cerdas secara spiritual dalam buku The Psikology of Ultimate Concern yang dikutip Jalaludin Rahmat, mengatakan 5 karakteristik orang yang cerdas secara spiritual sebagai berikut :
1. Kemampuan untuk mentransendesikan yang fisik dan material;
2. Kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak;
3. Kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari;
4. Kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah;
5. Kemampuan untuk berbuat baik
Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual. Seorang remaja yang merasakan kehadiran Allah atau makhluk ruhaniah di sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan material. Ia memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang menggabungkan dia dengan seluruh alam semesta. Ia merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa yang disaksikan dengan alat-alat indranya.
Mensakralkan pengalaman sehari-hari, ciri yang ketiga, terjadi ketika meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan agung. Konon, pada abad pertengahan seorang musafir bertemu dengan dua orang pekerja yang sedang mengangkut batu-bata. Salah seorang diantara mereka bekerja dengan muka cemberut, masam, dan tampak kelelahan. Kawannya justru bekerja dengan ceria, gembira, penuh semangat. Ia tampak tidak kecapaian. Kepada keduanya ditanyakan pertanyaan yang sama, "Apa yang sedang Anda kerjakan?" yang cemberut menjawab, "Saya sedang menumpuk batu" yang ceria berkata, "Saya sedang membangun katedral". Yang kedua telah mengangkat pekerjaan "menumpuk bata" pada dataran makna yang lebih luhur. Ia telah melakukan sakralisasi.
Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Ia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Ia merujuk pada warisan spiritual—seperti teks-teks Kitab suci atau wejangan orang-orang suci—untuk memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ), yang memandang dan menginterpretasikan sesuatu dalam kategori kuantitatif (data dan fakta) serta gejala (fenomena). Kecerdasan spiritual memandang dan menginterpretasikan sesuatu tak hanya bersifat kuantitatif dan fenomenal, tetapi melangkah lebih jauh dan mendalam, yakni pada dataran epistemik dan ontologis (substansial). Kecerdasan spiritual juga berbeda dengan kecerdasan emosional, dalam melihat dan menyadari diri.pada kecerdasan emosional, manusia dilihat dan dianalisis dalam batas-batas psikologis dan sosial, sementara pada kecerdasan spiritual, manusia didinterpretasi dan dipandang eksistensinya sampai pada dataran noumenal (fitriyah) dan universal.
Seperti dinyatakan oleh Jalaluddin Rumi yang dikutip Suharsono dalam buku Melejitkan IQ, IE, dan IS, bahwa ada semacam pengetahuan yang didasarkan pada inspirasi ilahi. Dan karena itu pula jenis kecerdasan yang bersumber dari pada-Nya. Pengetahuan inspiratif (Ilahi) lebih berharga dari pada pengetahuan mental. Pengetahuan ilahi tidak bergerak melalui perubahan dan tidak bertentangan dengan dirinya sendiri. Ibaratnya, pengetahuan yang dibentuk oleh kemampuan mental mencukupi buat kulitnya, sementara pengetahuan Ilahi juga mencukupi bagian isi atau substansinya. Itulah maka, remaja yang bisa berfikir dan memiliki kecerdasan spiritual dan mengetahui sesuatu secara inspiratif, tidak hanya memahami dan memanfaatkan sebagaimana adanya, tetapi mengembalikannya pada asal ontologisnya, yakni Allah SWT.
Karena itu remaja yang masuk dalam kategori ini, yakni memiliki kecerdasan spiritual, biasanya memiliki dedikasi kerja yang lebih tulus dan jauh dari kepentingan pribadi (egoisme), apalagi bertindak dzalim kepada orang lain. Motivasi-motivasi yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu juga sangat khas, yakni pengetahuan dan kebenaran. Maka dari itulah, sebagaimana dapat disimak dari sejarah hidup para nabi dan biografi orang-orang cerdas dan kreatif, biasanya memiliki kepedulian terhadap sesama, memiliki integritas moral yang tinggi, shaleh dan tentu juga integritas spiritual.
Dari berbagai uraian tentang ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi diatas, baik yang dijelaskan oleh Zohar dan Marshal, Robert A. Emmons, ataupun dari para ahli lainnya misalnya Agustian, Quraish Shihab, Sukidi, dan psikolog muslim lainnya, jelaslah ciri-ciri tersebut dapat menjadikan seorang remaja menuju pada keberhasilan di bidang apapun yang mereka tekuni.
Berikut ini akan penulis uraikan beberapa bukti SQ yang berkembang dengan baik akan menghasilkan sebuah keberhasilan, sedangkan yang tidak menggunakan SQ akan menyebabkan kekalahan dan penyesalan.
Saat perang Uhud, tepatnya pada tahun 3 Hijriah, terjadi peperangan hebat antara kaum muslim dan kaum musyrik. Hampir saja kemenangan diraih kaum muslim, seandainya bagian belakang pasukan tidak terbuka. Ketika pasukan pemanah sibuk mengumpulkan harta rampasan, tiba-tiba pasukan musuh menyergap dan menyerang mereka secara tiba-tiba, sehingga merunbah kemenangan menjadi kekalahan.
Disini sangat jelas terlihat apabila niat seseorang bukan "karena Allah" lagi, atau tidak menggunakan SQ-nya dengan baik, maka sebuah kemengangan pun bisa berubah menjadi kekalahan.
Harry, seorang tokoh yang diceriterakan Agustian dalam buku ESQ-nya. Dia adalah seorang buruh perusahaan otomotif yang pendidikannya hanya setingkat SMP, maka sulit baginya untuk naik pangkat. Pekerjaannya setiap hari hanya memasang dan mengencangkan baut pada jok pengemudi mobil. Namun, niatnya yang tulus tidak membuatnya bosan dengan pekerjaan itu, bahkan dia merasa bahagia karena telah membantu banyak orang dan menyelamatkan ribuan orang-orang yang mengemudikan mobil. Dan yang lebih mengagumkan adalah ketika rekan-rekannya melakukan mogok kerja untuk meminta kenaikan gaji, dia sendiri tidak melakukannya, alasannya karena dia sangat mengerti kondisi ekonomi saat itu yang sanagt sulit sehingga perusahaan kekurangan dana, sehingga jika dia mogok kerja, maka hal itu hanya akan menambah kesulitan dan memperberat masalah. Dia bekerja dengan menggunakan prinsip "memberi" dan hanya untuk ibadah, lillahi ta'ala.
Dan karena prinsipnya yang fitrah serta SQ yang berkembang dengan baik itulah, akhirnya dia menjadi seorang pengusaha otomotif ternama di Jakarta.
Imam al-Suyuthi ketika berumur 21 tahun, mampu menulis kitab tafsir al-Jalalain yang belum dirampungkan oleh Imam al-Mahalli, gurunya karena kedahuluan wafat, hanya dalam tempo 40 hari, yaitu dari awal bulan Ramadhan hingga 10 syawal tahun 870 H. Kehebatan tingkat kecerdasan ini terjadi karena ia menulis sambil menjalani ibadah puasa. Selain Imam al-Suyuthi ternyata banyak ulama, tokoh, intelektual, dan bintang pelajar yang justru mencapai keberhasilan karena terbiasa menjalani ibadah puasa. Karya-karya bermutu para pengarang dan para ulama banyak yang justru lahir pada bulan Ramadhan di saat mereka menjalani puasa. Demikian pula tokoh politik yang berpuasa dalam tahanan, seringkali mereka membuahkan tulisan-tulisan yang berharga seperti Buya Hamka, Sayyid Qutb, dan Ibnu Taimiyah.
Adakah hubungan antara ibadah puasa yang diniatkan karena Allah atau SQ tinggi dengan kecerdasan intelektual? Manusia hidup bergantung dari udara, makan-makanan, tanah, dan jagad rayasekitarnya. Fokus tersebut memberikan pengaruh kuat bagi hidup dan kehidupannya menuju objek materiil. Ini bisa dicapai dengan ilmu pengetahuan, sedang ilmu ini tidak dapat dimiliki manusia tanpa melalui kecerdasan otak dan kecerdasan nalar pikiran yang sering disebut IQ (Intelligence Quotient). Otak adalah titik sentral di dalam rongga tubuh manusia untuk berpikir, belajar, dan bekerja. Ini berarti selama lambung kosong, sewaktu berhenti sejenak dari kerja keras selama setahun, cara berpikir menjadi cemerlang. Dengan mengendalikan makan (dan minum), akan tercipta konsentrasi konsentrasi dan pemusatan pikiran yang berarti meningkatkan IQ. Sewaktu perut kenyang, banyak darah yang tersalur untuk melakukan proses pencernaan. Selama seseorang puasa dan ketika perut kosong, maka volume darah di bagian pencernaan dapat dikurangi dan dipakai untuk keperluan lain terutama melayani otak.
Sebagai contoh remaja, penulis akan menceriterakan beberapa profil nyata seorang remaja yang berhasil dan memiliki kecerdasan spiritual tinggi, sebagai berikut:
1. Seorang Rizki Muhammad Ridwan, peraih Medali Perunggu Olimpiade Fisika Internasional ke-32 di Turki yang juga Juara 1 Olimpiade Fisika tingkat Nasional dan masih banyak lagi prestasi lainnya, ketika ditanya prinsip hidupnya jawabannya adalah mencari ridha Allah SWT, dan yang paling membuat penulis kagum adalah ketika dia diminta keputusan untuk melanjutkan studinya setelah SMA, ucapannya adalah "Setelah shalat istikharah saya memutuskan mengambil kuliah di Nanyang Technological University (NTU)". Ini membuktikan bahwa dia memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi di masa remajanya karena dia mengambil keputusan tidak hanya berdasarkan rasio saja tapi dengan berusaha mencari kerihaan Allah dengan cara istikharah.
2. Saat PPLK di SMA I Serang, seorang juara umum SMA adalah seorang perempuan bernama Stefi Rahmawati. Dia juga peraih Juara 1 Olimpiade Fisika se-kabupaten Serang. Dia ditinggal meninggal dunia ayahnya saat kelas dua Sekolah Dasar. Ibunya hanya seorang penjahit, dan jualan kecil-kecilan dirumahnya. Cita-citanya tinggi dan ingin melanjutkan studinya ke ITB. Dia sangat luwes dan mandiri. Pengajian di RISMA pun sering dia ikuti. Waktu luang selalu dimanfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat, sepulang sekolah dia langsung pulang ke rumah untuk membantu ibunya, jarang sekali waktu luangnya digunakan untuk main, meski pada saat liburan dia juga sering meluangkan waktu untuk bermain bersama teman-temannya atau sekedar bersilaturahmi bersama ibunya ke rumah sanak keluarganya.
Diusianya yang relatif masih remaja, dia jarang merasa gelisah, ini dilihat dari sikapnya yang selalu tenang ketika ada tes. Dan yang paling mengagumkan adalah dia selalu bernadzar puasa setiap selesai mengikuti sebuah kompetisi, dan jika berhasil dia selalu tepat melaksanakan nadzarnya, dia rajin puasa dan shalat dhuha saat jam istirahat. Menurut teman-temannya dia juga tidak mau pacaran, ketika penulis bertanya alasannya padanya, dia dengan ringan menjawab "Hanya buang-buang waktu, dan bikin hati sakit aja".
3. Saat SMU penulis mengenal seorang siswa teladan sepropinsi Banten, namanya Farid. Dia meraih prestasi itu saat duduk di kelas dua SMU INSAN CENDEKIA, Tangerang. Saat seleksi Olimpiade Biologi Internasional (IBO) untuk tingkat propinsi yang diselenggarakan di SMKN I Serang, penulis melihat dia adalah siswa yang pertama datang ke tempat seleksi (saat itu penulis datang kedua). Ketika ditanya, dia menjawab dengan tenang tanpa ada sedikitpun rasa resah dan penyesalan menunggu panitia dan peserta lain yang datang jauh melebihi waktu yang ditentukan. Dan ketika di karantina siswa teladan se-Banten, menurut pengakuan teman penulis yang sekamar dengannya, dialah yang membangunkan teman-teman sekarantinanya untuk melakukan shalat Tahajud.
4. Seorang remaja yang sukses dalam bidang Paskibra, namanya maulida, dia mewakili kabupaten serang untuk Paskibra di Jawa Barat, seorang anak keturunan bali yang islam, sedangkan mayoritas keluarganya hindu. Dia dikenal seorang siswi yang selalu tepat waktu jika latihan, mandiri, bahkan ketika jauh dari orang tuanya dan tinggal bersama keluarganya yang hindu, dia tetap mempertahankan prinsipnya yang dibuktikan dengan tidak mau memakan sembelihan dari keluarganya yang hindu, namun hubungan dengan keluarganya yang non muslim tetap terjalin dengan harmonis.
5. Dalam Majalah Annida, edisi 15 Juli-15 Agustus 2006, ditampilkan profil seorang remaja bernama Danial, seorang muslim muda yang terkenal dengan julukan "Chef Muda yang Berprestasi", belum lulus dari SMK Danial sudah dipercaya menjadi 1st Chef di Dixie Easy Dining, salah satu resto di kawasan elit Jakarta. Sebelum itu, berbagai restoran terkenal juga sudah dijelajahinya. Misalnya, dia sempat praktek di Front Sport grill Restaurant, Itallianis Remigio Restaurant (di bilangan Taman Ria Senayan dan Hotel Mulia), Aryaduta Hotel, Alesandro Nannini Café di Plaza Senayan, juga JW Marriot, dan masih banyak lagi. Uniknya, Danial juga mencoba berbuat sosial dengan kemampuan masaknya, ini dibuktikan dengan di dan kawan-kawannya pernah beberapa kali memberikan makanan untuk berbuka puasa di jalan, serta memasak di Jember untuk para pengungsi yang terkena bencana banjir bandang.
Ada hal lain yang membuat sosok gaulnya terlihat berbeda. Tidak hanya jago masak, tapi dia juga sosok remaja yang alim. Buktinya, meski dia pernah berbulan-bulan tinggal di korea, dia tidak pernah mengentengkan shalat lima waktu, juga shalat jum'at, dia selalu meminta izin pada guru di koreanya untuk melakukan ibadah itu. Dan meski sering di goda oleh bayak perempuan di Seoul, bahkan ada yang sampai ngajak 'chek in', dia tidak pernah tergoda.
Masih banyak contoh nyata dari keberhasilan remaja yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, penulis banyak temukan baik ketika sekolah, PPLK di SMA, di lokasi Kukerta, di majalah-majalah remaja dan artikel-artikel.











BAB IV
PENUTUP


A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil telaah tentang Spiritual Quotient dan Keberhasilan Remaja diatas, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Spiritual Quotient atau kecerdasan spriritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna dan nilai dalam hidup ini, membuat seseorang menjalani hidup ini dengan penuh makna, tidak pernah merasa sia-sia, membangun dirinya secara utuh, selalu mengikuti suara hati nuraninya, dan berprinsip "Hanya karena Allah"
Kedua, Menerapkan Spiritual Quotient dalam kehidupan remaja dengan cara : Menjadi Teladan Spiritual yang Baik, Membantu untuk merumuskan misi hidupnya, Menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan spiritual sehari-hari, Menceriterakan kisah-kisah agung, Mendiskusikan berbagai persoalan dalam perspektif ruhaniah, Memberikan keyakinan bahwa Tuhan selalu memperhatikan dan membawa remaja untuk menikmati keindahan alam dan ke tempat-tempat orang menderita.
Ketiga, Remaja yang berhasil adalah Remaja yang mampu menyelesaikan segala macam problem hidupnya dengan baik, tenang, dan tidak selalu gelisah, selalu berusaha mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya, menjalani hidup penuh dengan makna, tidak hanya mengandalkan orang tuanya saja, mandiri dan selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk dirinya, orang tua, guru, dan masyarakatnya.
Keempat, Spiritual Quotient sangat berperan penting dalam membantu remaja untuk mencapai keberhasilan pada masanya di berbagai bidang apapun yang positif, karena orang yang memiliki kecerdasan spiritual akan berusaha menjalani hidupnya dengan penuh makna, mengefektifkan kerja IQ dengan baik dan mengelola emosinya dengan baik. Alangkah indahnya jika seluruh aktifitas hidup ditujukan semata karena Allah. SQ tidak hanya membuat remaja berhasil tapi juga bahagia.

B. Saran-saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut:
Pertama, Spiritual Quotient sangat penting dalam dunia pendidikan untuk membantu peserta didik mencapai keberhasilan pendidikannya. Untuk itu sebagai pendidik ataupun orang tua, diharapkan untuk mengembangkannya dalam dirinya sendiri, mengasahnya dan menjadikannya bersinar sehingga dapat menjadi teladan spiritual yang baik untuk anak-anaknya.
Kedua, Banyak hal yang terjadi dalam hidup ini yang terkadang dilupakan begitu saja, dihadapi tanpa diambil pelajaran, padahal dalam setiap detik dan setiap pandangan mata selalu ada pelajaran dan tak pernah lepas dari "Tangan Tuhan". Maka cobalah menjalani hidup ini dengan selalu mengaitkan sesuatu dengan perspektif spiritual agar tidak pernah kecewa. Kesulitan dihadapi dengan sabar dan optimis. Kesenangan disyukuri dengan cara yang baik.
Ketiga, Sebaiknya diadakan pelatihan ESQ yang kontinyu untuk para dosen dan setiap mahasiswa baru untuk memberikan pencerahan dan mengaktifkan kecerdasan spiritualnya sebelum melangkah ke universitas agar dapat menjalani kuliah dengan niat yang tulus, ikhlas dan semangat serta integritas yang tinggi.


Emotional Intelligence


Siapapun bisa marah, marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal mudah.
Aristoteles, The Nicomachean Ethics.

Kecerdasan
Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi kemampuan membaca, menulis, berhitung, sebagai jalur sempit ketrampilan kata dan angka yang menjadi fokus di pendidikan formal (sekolah), dan sesungguhnya mengarahkan seseorang untuk mencapai sukses di bidang akademis (menjadi professor). Tetapi definisi keberhasilan hidup tidak melulu ini saja. Pandangan baru yang berkembang : ada kecerdasan lain di luar IQ, seperti bakat, ketajaman pengamatan sosial, hubungan sosial, kematangan emosional, dll. yang harus juga dikembangkan.

Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada anak-anak. Orang-orang yang dikuasai dorongan hati yang kurang memiliki kendali diri, menderita kekurangmampuan pengendalian moral.
Berdasarkan pengalaman, apabila suatu masalah menyangkut pengambilan keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya dan sering kali lebih penting daripada nalar. Emosi itu memperkaya; model pemikiran yang tidak menghiraukan emosi merupakan model yang miskin. Nilai-nilai yang lebih tinggi dalam perasaan manusia, seperti kepercayaan, harapan, pengabdian, cinta, seluruhnya lenyap dalam pandangan kognitif yang dingin, Kita sudah terlalu lama menekankan pentingnya IQ dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun, kecerdasan tidaklah berarti apa-apa bila emosi yang berkuasa. Kecerdasan emosional menambahkan jauh lebih banyak sifat-sifat yang membuat kita menjadi lebih manusiawi.

Antara IQ dan EQ
Kecerdasan akademis sedikit kaitannya dengan kehidupan emosional. Orang dengan IQ tinggi dapat terperosok ke dalam nafsu yang tak terkendali dan impuls yang meledak-ledak; orang dengan IQ tinggi dapat menjadi pilot yang tak cakap dalam kehidupan pribadi mereka. Terdapat pemikiran bahwa IQ menyumbang paling banyak 20 % bagi sukses dalam hidup, sedangkan 80 % ditentukan oleh faktor lain.
Kecerdasan akademis praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak atau kesempatan yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup. IQ yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan, gengsi, atau kebahagiaan hidup.
Banyak bukti memperlihatkan bahwa orang yang secara emosional cakap yang mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri dengan baik, dan yang mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan, entah itu dalam hubungan asmara dan persahabatan, ataupun dalam menangkap aturan-aturan tak tertulis yang menentukan keberhasilan dalam politik organisasi.
Orang dengan ketrampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Orang yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada karir/pekerjaan ataupun untuk memiliki pikiran yang jernih.

Survey membuktikan ….
Survei terhadap orangtua dan guru-guru memperlihatkan adanya kecenderungan yang sama di seluruh dunia, yaitu generasi sekarang, lebih banyak mengalami kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya : lebih kesepian dan pemurung, lebih berangasan dan kurang menghargai sopan santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih impulsif dan agresif.
Kemerosotan emosi tampak dalam semakin parahnya masalah spesifik berikut :
• Menarik diri dari pergaulan atau masalah sosial; lebih suka menyendiri, bersikap sembunyi-sembunyi, banyak bermuram durja, kurang bersemangat, merasa tidak bahagia, terlampau bergantung.
• Cemas dan depresi, menyendiri, sering takut dan cemas, ingin sempurna, merasa tidak dicintai, merasa gugup atau sedih dan depresi.
• Memiliki masalah dalam hal perhatian atau berpikir ; tidak mampu memusatkan perhatian atau duduk tenang, melamun, bertindak tanpa bepikir, bersikap terlalu tegang untuk berkonsentrasi, sering mendapat nilai buruk di sekolah, tidak mampu membuat pikiran jadi tenang.
• Nakal atau agresif; bergaul dengan anak-anak yang bermasalah, bohong dan menipu, sering bertengkar, bersikap kasar terhadap orang lain, menuntut perhatian, merusak milik orang lain, membandel di sekolah dan di rumah, keras kepala dan suasana hatinya sering berubah-ubah, terlalu banyak bicara, sering mengolok-olok , bertemperamen panas.

Penelitian jangka panjang terhadap 95 mahasiswa Harvard dari angkatan tahun 1940 an menunjukkan bahwa dalam usia setengah baya, mereka yang peroleh tesnya paling tinggi di perguruan tinggi tidaklah terlampau sukses dibandingkan rekan-rekannya yang IQ nya lebih rendah bila diukur menurut gaji, produktivitas, atau status di bidang pekerjaan mereka.
Mereka juga bukan yang paling banyak mendapatkan kepuasan hidup, dan juga bukan yang paling bahagia dalam hubungan persahabatan, keluarga, dan asrmara.

Penanganan
Bagaimana kita mempersiapkan anak-anak kita dalam menempuh kehidupan ? Perlu pendidikan kecakapan manusiawi dasariah, seperti kesadaran diri, pengendalian diri, dan empati, seni mendengarkan, menyelesaikan pertentangan dan kerja sama. Kendati terdapat kendali sosial, dari waktu ke waktu nafsu seringkali menguasai nalar. Perlu adanya keseimbangan antara kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional. Keberhasilan hidup ditentukan oleh keduanya.
Ajaran Socrates : Kenalilah dirimu menunjukkan inti kecerdasan emosional : kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul.
Pelatihan untuk menyatakan perasaan negatif (marah, frustrasi, kecewa, depresi, cemas) menjadi amat penting. Pelampiasan yang tidak tepat justru menambah intensitas, bukan mengurangi. Cara berpikir menentukan cara merasa, oleh karenanya berpikir positif sangatlah diperlukan.
Ketekunan, kendali dorongan hati dan emosi, penundaan pemuasan yang dipaksakan kepada diri sendiri demi suatu sasaran, kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain (empati), dan manajemen diri merupakan hal yang dapat dipelajari.
Pengalaman dan pendidikan di masa kanak-kanak akan sangat menentukan dasar pembentukan ketrampilan sosial dan emosional.


Surabaya, 23 Oktober 1999
L. Verina H. Secapramana
http://secapramana.tripod.com/

Sumber : Goleman, Daniel. 1995. Emotional Intelligence. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.



Come and see the Future Website at http://tumasouw.tripod.com/
We Are Ready To Build Business Relationship and To Have Mutual Benefit
# THINK LIKE A MAN OF ACTION, ACT LIKE A MAN OF THOUGHT #
Anda pengunjung ke :

sejak tanggal 5 Desember 1999







CERDASAN EMOSI
Minggu, 25 Januari , 2009 oleh Riny Yunita
Kecerdasan Emosi atau Emotional Quotation (EQ) meliputi kemampuan mengungkapkan perasaan, kesadaran serta pemahaman tentang emosi dan kemampuan untuk mengatur dan mengendalikannya.
Kecerdasan emosi dapat juga diartikan sebagai kemampuan Mental yang membantu kita mengendalikan dan memahami perasaan-perasaan kita dan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur perasaan-perasaan tersebut.
Jadi orang yang cerdas secara emosi bukan hanya memiliki emosi atau perasaan-perasaan, tetapi juga memahami apa artinya. Dapat melihat diri sendiri seperti orang lain melihat kita, mampu memahami orang lain seolah-olah apa yang dirasakan orang itu kita rasakan juga.
Tidak ada standar test EQ yang resmi dan baku. Namun kecerdasan Emosi dapat ditingkatkan, baik terukur maupun tidak. Tetapi dampaknya dapat dirasakan baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Banyak ahli berpendapat kecerdasan emosi yang tinggi akan sangat berpengaruh pada peningkatan kualitas hidup.
Setidaknya ada 5 unsur yang membangun kecerdasan emosi, yaitu:
1. Memahami emosi-emosi sendiri
2. Mampu mengelola emosi-emosi sendiri
3. Memotivasi diri sendiri
4. Memahami emosi-emosi orang lain
5. Mampu membina hubungan sosial
Sejauh mana kecerdasan emosi anda? Untuk mengetahuinya, kelima unsur diatas dapat dijadikan barometer untuk mengukur apakah anda termasuk orang yang cerdas secara emosi. Berikut ini adalah hal-hal spesifik yang perlu dipahami dan dimiliki oleh orang-orang yang cerdas secara emosi:
Mengatasi Stress
Stress merupakan tekanan yang timbul akibat beban hidup. Stress dapat dialami oleh siapa saja. Toleransi terhadap stress merupakan kemampuan untuk bertahan terhadap peristiwa-peristiwa buruk dan situasi penuh tekanan tanpa menjadi hancur. Ini berarti mengelola stress dengan positif dan merubahnya menjadi pengaruh yang baik.
Orang yang cerdas secara emosional mampu menghadapi kesulitan hidup dengan kepala tegak, tegar dan tidak hanyut oleh emosi yang kuat. Cenderung menghadapi semua hal, bukannya lari dan menghindar. Dapat mengelakkan pukulan sehingga tidak hancur dan tetap terkendali. Mungkin sesekali terjatuh namun tidak terpuruk sehingga dapat berdiri tegak kembali.
Mengendalikan Dorongan Hati
Merupakan karakteristik emosi untuk menunda kesenangan sesaat untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Hal ini sering juga disebut “menahan diri”.
Orang yang cerdas secara emosi tidak memakai prinsip “harus memiliki segalanya saat itu juga”. Mengendalikan dorongan hati merupakan salah satu seni bersabar dan menukar rasa sakit atau kesulitan saat ini dengan kesenangan yang jauh lebih besar dimasa yang akan datang. Kecerdasan emosi penuh dengan perhitungan.
Mengelola Suasana Hati
Merupakan kemampuan emosionil yang meliputi kecakapan untuk tetap tenang dalam suasana apapun, menghilangkan gelisahan yang timbul, mengatasi kesedihan atau berdamai dengan sesuatu yang menjengkelkan.
Orang yang cerdas secara emosi tidak berada dibawah kekuasaan emosi. Mereka akan cepat kembali bersemangat apapun situasi yang menghadang dan tahu cara menenangkan diri.
Mengelola suasana hati bukan berarti menekan perasaan. Salah satu ekspresi emosi yang bisa timbul bagi setiap orang adalah marah. Menurut Aristoteles, Marah itu mudah. Tetapi untuk marah kepada orang yang tepat, tingkat yang tepat, waktu, tujuan dan dengan cara yang tepat, hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang cerdas secara emosi.
Ketiga hal tersebut diatas, merupakan kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi-emosi diri sendiri yang harus dimiliki oleh orang-orang yang dikatakan cerdas secara emosi.
Memotivasi Diri
Orang dengan keterampilan ini cenderung sangat produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka hadapi. Ada banyak cara untuk memotivasi diri sendiri antra lain dengan banyak membaca buku atau artikel-artikel positif, “selftalk”, tetap fokus pada impian-impian, evaluasi diri dan sebagainya.
Memahami Orang lain
Menyadari dan menghargai perasaan-perasaan orang lain adalah hal terpenting dalam kecerdasan emosi. Hal ini juga biasa disebut dengan empati.
Empati bisa juga berarti melihat dunia dari mata orang lain. Ini berarti juga dapat membaca dan memahami emosi-emosi orang lain.
Memahami perasaan orang lain tidak harus mendikte tindakan kita. Menjadi pendengar yang baik tidak berarti harus setuju dengan apapun yang kita dengar.
Keuntungan dari memahami orang lain adalah kita lebih banyak pilihan tentang cara bersikap dan memiliki peluang lebih baik untuk berkomunikasi dan menjalin hubungan baik dengan orang lain.
Kemampuan Sosial
Memiliki perhatian mendasar terhadap orang lain. Orang yang mempunyai kemampuan sosial dapat bergaul dengan siapa saja, menyenangkan dan tenggang rasa terhadap orang lain ynag berbeda dengan dirinya.
Tingkah laku seperti itu memerlukan harga diri yang tinggi, yaitu: menerima diri sendiri apa adanya, tidak perlu membuktikan apapun (baik pada diri sendiri maupun orang lain), bahagia dan puas pada diri sendiri apapun keadaannya.
Kemampuan sosial erat hubungannya dengan keterampilan menjalin hubungan dengan orang lain. Orang yang cerdas secara emosi mampu menjalin hubungan sosial dengan siapa saja. Orang-orang senang berada disekitar mereka dan merasa bahwa hubungan ini berharga dan menyenangkan. Ini berarti kedua belah pihak dapat menjadi diri mereka sendiri.
Orang-orang dengan kecerdasan emosi yang tinggi bisa membuat orang lain merasa tentram dan nyaman berada didekatnya. Mereka menebar kehangatan dan keterbukaan atau transparansi dengan cara yang tepat.
Apakah Anda Termasuk Orang yang Cerdas secara Emosi?
Anda dan orang-orang disekitar Anda-lah yang tahu.
Atau Anda ingin menjadi Orang yang Cerdas secara Emosi?
Sepertinya tidak terlalu sulit bukan?
Selamat mencoba, Semoga Berhasil.