1. A. Pengertian Evaluasi Belajar
Kita sering ka1i melihat, ada seorang pembeli yang membanding-bandingkan untuk memilih suatu barang di supermarket, atau di pasar. Kalau akan membeli ikan maka pasti akan dilihat dengan seksama, apakah ikan tersebut masih segar dan layak untuk dikonsumsi. Ikan yang segar adalah jika ditekan akan kembali seperti sedia kala, tapi kalau yang ditekan itu jadi legok atau tidak kembali ke posisi semula maka menunjukkan bahwa ikan tersebut sudah tidak segar lagi. Disini ibu tersebut sedang menilai suatu barang yaitu ikan, dia menilai kelayakan ikan yang masih segar yaitu dengan cara melihat dan menekan ikan tersebut apakah masih kenyal, kalau dipijat akan kembali ke posisi semula. Selain itu juga akan dilihat dari bau ikan tersebut sudah basi ataukan masih segar. Kalau masih kenyal dan bau atau aromanya masih segar maka ikan tersebut masih segar dan layak untuk dikonsumsi. Kegiatan ibu yang berbelanja tersebut adalah kegiatan pelilaian terhadap suatu barang yang dia inginkan. Ibu tersebut sudah mempunyai kriteria-kriteria yang dia tentukan sendiri. Kalau ternyata barang tersebut sesuai dengan apa yang dia inginkan dan cocok dengan kriteria yang dia tentukan maka ibu tersebut akan membelinya, tetapi apabila tidak sesuai dengan kriteria yang dia tentukan maka ibu tersebut tidak jadi membelinya. Hal tersebut adalah contoh tentang penilaian seorang ibu terhadap suatu barang. Dia melakukan dua kali penilaian yaitu menilai terhadap kekenyalan ikan dan yang kedua menilai dari bau atau aroma ikan tersebut. Kalau kedua penilaian tersebut sudah masuk kategori, maka ibu tersebut baru dapat memutuskan untuk membelinya ataukah tidak.
Dilingkungan sekolah, kita melihat pula bahwa pada waktu-waktu tertentu guru selalu mengadakan evaluasi. Kenyataan yang biasa dilakukan di sekolah-sekolah Indonesia sampai dewasa ini ialah bahwa pada akhir semester guru mengadakan ulangan-ulangan, pada akhir tahun mengadakan ujian-ujian kenaikan kelas, dan pada akhir kelas tertinggi pada setiap taraf atau level pendidikan, sekolah mengadakan ujian akhir (Evaluasi Belajar Tahap Akhir). Ulangan, ujian kenaikan kelas, dan evaluasi belajar tahap akhir tadi, merupakan contoh tentang evaluasi yang lazim dilaksanakan di setiap institusi pendidikan.
Kita sebagai guru umumnya memahami bahwa pendidikan adalah merupakan proses melakukan perubahan pada diri siswa. Atau secara definitif dirumuskan, bahwa pendidikan adalah "usaha sadar yang dilakukan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan siswa di dalam dan di luar sekolah, dan berlangsung seumur hidup".
Bertitik tolak dari pandangan tersebut, kita sebagai guru berharap agar setiap program pengajaran, setiap mata pelajaran, dan bahkan setiap unit pelajaran yang kita sajikan dapat membawa perubahan yang berarti bagi diri anak didik. Siswa seharusnya mengalami perubahan perilaku setelah mengikuti pelajaran. Dan seharusnya ada perbedaan perilaku antara mereka yang mengikuti pelajaran suatu unit pelajaran atau suatu program pengajaran dengan yang tidak semestinya. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa suatu program pengajaran akan menghasilkan perubahan yang sama pada setiap siswa yang mengikutinya. Usaha untuk mengetahui ada dan tidaknya perubahan, atau tingkat perubahan yang terjadi pada diri siswa inilah yang termasuk dalam kawasan evaluasi.
Dalam hubungan ini, kita sekarang ingin menyoroti hal-hal yang berkenaan dengan evaluasi, khususnya dalam kontek dengan proses belajar mengajar, yang dilaksanakan di sekolah. Karena evaluasi merupakan salah satu proses dalam pengajaran, yang dalam batas-batas tertentu dapat merupakan indikator yang mempengaruhi perubahan perilaku siswa.
Istilah evaluasi atau penilaian adalah sebagai terjemaban dari istilah asing "evaluation". Dan sebagai panduan, menurat Benyamin S. Bloom (Handbook on Formative and Sumative Evaluation of Student Learning) dikemukakan, bahwa:
"Evaluasi adalah pengumpulan bukti-bukti yang cukup untuk kemudian dijadikan dasar penetapan ada tidaknya perubahan dan derajat perubahan yang terjadi pada diri siswa atau anak didik"
Apabila alur fikiran yang terkandung dalam definisi itu kita ambil sebagai pegangan, maka logis apabila kita bersikap, bahwa dalam melakukan evaluasi kita sebagai guru harus yakin bahwa pendidikan dapat membawa perubahan pada diri siswa. Oleh karena itu dalam kegiatan evaluasi kita harus melakukan setidak-tidaknya dua hal yaitu:
1) Mengumpulkan bukti-bukti yang cukup;
2) Menetapkan ada tidaknya perubahan, dan derajat perubahan yang terjadi pada diri siswa.
Bukti-bukti yang dikumpulkan dapat bersifat kuantitatif (dalam bentuk angka-angka), dan dapat pula bersifat kualitatif, yaitu menunjukkan kualifikasi seperti: baik sekali, baik, sedang atau cukup, rajin, cermat dan lain-lainnya. Bukti-bukti kuantitatif atau kualitatif yang dikumpulkan harus memenuhi persyaratan tertentu agar dapat dijadikan dasar pengambilan keputusah ada tidaknya perubahan perilaku serta derajat perubahan yang ada secara adil dan obyektif.
Disamping itu, masih ada beberapa point yang perlu diketahui, yaitu batasan antara evaluasi dan pengukuran. Pengertian evaluasi dan pengukuran sangat erat hubungannya, sehingga sulit untuk diterangkan perbedaan secara khas. Ada sementara orang memakai kedua istilah itu silih berganti, karena menganggap identik. Ada lagi sementara orang yang memakai kedua istilah itu sebagai yang bersifat kesinambungan. Dalam arti bahwa kegiatan pengukuran pendidikan akan dilanjutkan dengan evaluasi. Atau sebalikhya, untuk dapat melakukan penilaian sesuatu diperlukan data/bahan dari hasil pengukuran.
Oleh karenanya, pengukuran dapat dirumuskan sebagai kegiatan untuk menetapkan dengan pasti tentang luas, dimensi, atau kualitas sesuatu, dengan membandingkan dengan ukuran tertentu. Sedangkan evaluasi sebagai usaha untuk memberikan nilai terhadap hasil pengukuran tersebut.
Jika diterapkan dalam pengukuran hasil belajar, maka mengukur akan diperoleh skore tertentu, dan dengan mengevaluasi akan diintepretasikan apakah seseorang siswa yang memperoleh skore tertentu tersebut tergolong anak yang pandai atau bodoh menurut norma tertentu. Jadi misalnya si Arief memperoleh nilai 9, berarti ia telah wenguasai 90% dari keseluruhan yang dipersyarat untuk mancapai tingkat atau perilaku tertentu.
1. Tujuan Evaluasi Belajar
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tujuan evaluasi secara umum adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya perubahan pada diri anak didik serta tingkat perubahan yang dialaminya setelah ia mengikuti PBM. Tetapi sebenarnya hal tersebut baru merupakan sebagian dari tujuan evaluasi dalam arti yang sebenarnya. Kita harus masih mengenal dimensi tujuan lain. Misalnya sebagaimana dirumuskan di dalam Kurikulum 1975 (Buku III B – tentang Pedoman Penilaian), dapat kita baca bahwa tujuan atau fungsi evaluasi belajar siswa di sekolah pada dasarnya dapat digolongkan kedalam 4 (empat) kategori yaitu:
1. Untuk memberi umpan balik (feedback) kepada guru, sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan revisi program dan remidial program bagi siswa.
2. Untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar masing-masing siswa, yang antara lain diperlukan untuk memberikan laporan kepada para orang tua siswa, penetapan kenaikkan kelas, dan penentuan lulus tidaknya siswa.
3. Untuk menempatkan siswa dalam situasi belajar mengajar yang tepat (misalnya dalam penentuan jurusan) sesuai dengan tingkat kemampuan dan atau karakteristik lain yang dimiliki siswa.
4. Untuk mengenal latar belakang (psikologi, pisik, dan lingkungan) siswa yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar. Yang hasilnya dapat dipakai sebagai dasar untuk memecahkan kesulitan-kesulitan tersebut.
1. Asas-asas Evaluasi Belajar
Agar supaya evaluasi berlajar benar mencapai sasaran, yaitu untuk mengetahui tingkat perubahan tingkah laku atau keberhasilan siswa, maka harus dilaksanakan dengan berdasarkan pada suatu asas atau prinsip mapan.
Adapun asas atau prinsip-prinsip yang dimaksudkan adalah:
1. Evaluasi harus dilaksanakan secara terus menerus
Maksud evaluasi yang dilaksanakan secara terus-menerus atau continue ialah agar kita (guru) memperoleh kepastian atau kemantapan dalam mengevaluasi. Dan dapat mengetahui tahap-tahap perkembangan yang dialami oleh siswa.
1. Evaluasi harus menyeluruh (Conprehensive)
Evaluasi yang menyeluruh ialah yang mampu memproyeksikan seluruh aspek pola tingkah laku yang diharapkan sesuai dengan tujuan pendidikan. Untuk dapat melaksanakan evaluasi yang memenuhi asas ini, maka setiap tujuan instruksional harus telah dijabarkan sejelas-jelasnya, sehingga dapat dijadikan pedoman untuk melakukan pengukuran. Alat atau instrument evaluasi harus mengandung atau mencerminkan itemitem yang representatif, yang dijabarkan dari tujuan-tujuan instruksional yang telah disusun. Untuk keperluan pembuatan soal tes yang demikian guru dapat membuat "Tabel spesifikasi tujuan", sebagai alat bantu guna menjaring item-item yang mewakili perilaku yang diharapkan. Disamping itu tabel speasifikasi tersebut juga dapat membantu guru dalam usaha memenuhi validitas alat pengukur.
1. Evaluasi harus obyektif (Obyective)
Asas ini dimaksudkan, bahwa didalam proses evaluasi hanya menunjukkan aspek yang dievaluasi dengan keadaan yang sebenarnya. Jadi didalam mengevaluasi hasil pendidikan dan pengajaran guru tidak boleh memasukkan faktor-faktor subyektif dalam memberikan nilai kepada siswa.
1. Evaluasi harus dilaksanakan dengan alat pengukur yang baik
Asas ini diperlukan, sebab untuk dapat memberikan penilaian secara obyektif diperlukan informasi atau bukti -bukti yang relevant dan untuk itu dibutuhkan alat yang tepat guna. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk alat pengukur yang baik, yaitu:
1. Validitas
Validitas alat pengukur berhubungan dengan ketepatan dan kesesuaian alat untuk menggambarkan keadaan yang diukur sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Ketepatan berhubungan dengan pemberian informasi persis (akurat) seperti keadaannya. Atau dengan perkataan lain disebut sahih. Sedang kesesuaian berhubungan dengan efektivitas alat untuk memerankan fungsinya sesuai dengan yang dimaksud dari alat pengukur tersebut.
1. Reliabilitas
Realiabilitas alat pengukur berhubungan dengan kestabilan, kekostanan, atau ketepatan test. Suatu test akan dinyatakan reliabel apabila test tersebut dikenakan kepada sekelompok subyek yang sama, tetap memberikan hasil yang sama pula, walaupun saat pemberian testnya berbeda. Tinggi rendahnya reliabilitas alat pengukur alat pengukur dapat diketahui dengan menggunakan teknik statistik. Yaitu dengan mengklasifikasikan antara hasil pengukuran pertama dan hasil pengukuran kedua dari bahan test yang sama, atau test yang lain yang dianggap sama (ekuivalen).
1. Evaluasi harus deskriminatif
Kegiatan evaluasi yang dapat memenuhi asas ini akan mampu membedakan tentang keadaan yang diukur apabila keadaannya memang berbeda. Jadi test hasil belajar dapat dikatakan deskriminatif apabila test tersebut dapat membedakan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang memang mempunyai kemampuan yang tidak sama. Apabila UnyiI keadaanya memang lebih pandai dari si Badu maka test itu harus dapat mengetahui atau mengungkapkan perbedaan yang dimiliki oleh kedua anak tersebut
1. Jenis-jenis Evaluasi Belajar
Sehubungan dengan 4 (empat) tujuan sebagaimana dituangkan di dalam sub bab yang terdahulu, selanjutnya kurikulum 1975 membedakan evaluasi prestasi belajar siswa di sekolah menjadi 4 (empat) jenis yaitu:
1. Evaluasi Formatif
Adalah evaluasi yang ditujukan untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Jenis evaluasi wajib dilaksanakan oleh guru bidang studi setelah selesai mengajarkan satu unit pengajaran tertentu.
1. Evaluasi Sumatif
Adalah evaluasi yang ditujukan untuk keperluan penentuan angka kemajuan atau hasil belajar siswa. Jenis evaluasi ini dilaksanakan setelah guru menyelesaikan pengajaran yang diprogramkan untuk satu semester. Dan kawasan bahasanya sama dengan kawasan bahan yang terkandung di dalam satuan program semester.
1. Evaluasi Penempatan
Adalah evaluasi yang ditujukan untuk menempatkan siswa dalam situasi belajar atau program pendidikan yang sesuai dengan kemampuannya.
1. Evaluasi Diagnostik
Adalah evaluasi yang ditujukan guna membantu memecahkan kesulitan belajar yang dialami oleh siswa tertentu.
Jenis evaluasi formatif dan sumatif terutama menjadi tanggungjawab guru (guru bidang studi), evaluasi penempatan dan diagmostik lebih merupakan tanggungjawab petugas bimbingan penyuluhan. Oleh karena itu wajar apabila dalam tulisan ini hanya mengaksentuasi pada jenis penilaian yang pertama dan jenis yang kedua.
Evaluasi Formatif dan Evaluasi Sumatif
Sebagai salah satu perwujudan dari usaha pembaharuan bidang pendidikan di Indonesia, ialah dibakukannya Kurikulum 1975, yang di dalamnya tersurat juga suatu pedoman guru dalam melaksanakan penilaian atau evaluasi hasil belajar siswa. Karena di atas telah disinggung bahwa evaluasi yang menjadi tanggungjawab guru bidang studi adalah evaluasi formatif dan evaluasi sumatif, maka untuk memberikan gambaran yang jelas dan tegas, berikut akan diuraikan batasan pengertian dan teknik pelaksanaannya.
Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan oleh guru selama dalam perkembangan atau dalam kurun waktu proses pelaksanaan suatu Program Pengajaran Semester. Dengan maksud agar segera dapat mengetahui kemungkinan adanya penyimpang-penyimpangan, ketidak sesuaian pelaksanaan dengan rencana yang telah disusun sebelumnya. Karena dilaksanakan setelah selesai mengajarkan satu unit pengajaran (mungkin sesuatu topik atau pokok bahasan), maka ternyata apabila ada ketidaksesuaian dengan tujuan segera dapat dibetulkan. Oleh karena itu, fungsi dari pada evaluasi ini terutama ditujukan untuk memperbaiki proses bolajar mengajar. Dan karena scope bahannya hanya satu unit pengajaran, dan dalam satu semester terdiri dari beberapa unit, maka pelaksanaan evaluasi ini frekuensinya akan lebih banyak dibanding evaluasi sumatif. Umumnya frekuensi tes formatif ini berkisar antara 2 – 4 kali dalam satu semester.
Sedangkan yang dimaksud dengan evalusi sumatif adalah evaluasi yang dilaksanakan oleh guru pada akhir semester. Jadi guru baru dapat melakukan evaluasi sumatif apabila guru yang bersangkutan selesai mengajarkan seluruh pokok bahasan atau unit pengajaran yang merupakan forsi dari semester yang bersangkutan. Oleh karena itu evaluasi ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai siswa selama satu semester. Jadi fungsinya untuk mengetahui kemajuan anak didik.
Akhirnya, untuk menambah kejelasan didalam pelaksanaannya, berikut penulis rumuskan perbedaan dari kedua jenis evaluasi tersebut.
Evaluasi Formatif Evaluasi Sumatif
Tujuannya untuk memperbaiki PBM.
1. Dilaksanakan setelah selesai mengajarkan suatu unit pengajaran tertentu.
1. Frekuensi 2 – 4 kali dalam satu semester.
2. Lingkup atau scope bahannya sempit.
3. Obyeknya hanya terdapat suatu aspek perilaku.
4. Bobot atau kadar nilainya rendah.
Tujuannya untuk mengetahui hasil atau tingkat kemajuan belajar siswa.
1. Dilaksanakan setelah mengajarkan seluruh unit pengajaran, yang menjadi forsi sesuatu semester.
2. Frekuensinya 1 x dalam satu semester.
3. Lingkup atau scope bahannya luas.
4. Obyeknya meliputi berbagai aspek perilaku.
5. Bobot atau kadar nilainya tinggi.
Mengingat karakteristik dari masing-masing jenis evaluasi itu, maka guna penentuan nilai akhir (misalkan nilai raport), diberikan pedoman sebagai berikut :
Jika seorang siswa misalnya si Arief dalam suatu semester mengikuti evaluasi formatif 4 (empat) kali dan hasilnya: 6, 8, 8, 10. Kemudian sewaktu mengikuti evaluasi sumatif mendapat nilai 9, maka nilai akhir Arief untuk mata pelajaran itu menjadi: dibulatkan menjadi 9,00
Jadi bukannya:
dibulatkan menjadi 8,00
Yang terakhir panduan untuk menentukan nilai akhir itu menurut Kurikulum 1984 disempurnakan menjadi:
Rumus menentukan nilai raport:
Keterangan
N = nilai raport
p = nilai rata-rata evaluasi formatif
q = nilai rata-rata kegiatan kokurikuler
r = nilai evaluasi sumatif
Nilai pada p, q, dan r belum ada pembulatan, pembulatan baru dilakukan pada N (nilai raport).
1. Kriteria Evaluasi
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa evaluasi adalah merupakan kegiatan yang meliputi pengumpulan bukti-bukti yang kemudian dijadikah dasar dalam pengambilan keputusan tentang keberhasilan siswa mengikuti pelajaran. Agar pengambilan keputusan tidak merupakan perbuatan yang subyektif, maka diperlukan patokan tertentu. Kriteria tersebut berfungsi sebagai ukuran, apakah seseorang telah memenuhi persyaratan untuk digolongkan sebagai siswa yang berhasil, pandai, baik, naik kelas, lulus atau tidak. Kriteria penilaian itu disebut dengan istilah "Standar Penilaian". Dan standar penilaian yang dimaksud dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
1. Standar Penilaian Yang mutlak.
2. Standar Perilaian Yang Relatif.
Standar Penilaian Yang Mutlak.
Kriteria ini lebih dikenal dengan istilah "Penilaian Acuan Patokan" atau disingkat PAP. Dan istilah ini merupakan terjemahan dari istilah asing "Criterion Referenced". Standar ini bersifat tetap atau bahkan tidak dapat ditawar. Dalam artian bahwa kriteria keberhasilan siswa itu tidak dipengaruhi oleh prestasi suatu kelompok siswa. Apabila kita menggunakan standar ini, maka keberhasilan atau kegagalan siswa dalam mengikuti pelajaran ditentukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya (sebelum evaluasi dilaksanakan). Pelaksanaan standar PAP ini dapat diberikan contoh sebagai berikut:
Misalnya untuk dapat dinyatakan lulus, siswa harus dapat menjawab dengan betul paling sedikit 70% dari pernyataan yang disediakan. Ini berarti bahwa siswa yang menjawab benar kurang dari 70% dari jumlah soal yang disediakan, dinyatatan tidak berhasil atau tidak lulus.
Langkahnya dapat didiskripsikan sebagai berikut:
1. Menetapkan kualifikasi nilai minimal yang dapat diterima, misalnya: 5,50; 6,0; atau 7,0 dan sebagainya, sebagai batas lulus atau passing grade. Atau batas kesalahan minimal yang masih dapat dimaafkan dalam suatu penilaian. Ketentuan tersebut terserah kepada guru.
2. Membandingkan angka nilai (prestasi) setiap siswa dengan nilai passing grade tersebut. Secara teoritis maka mereka yang angka nilai prestasinya berada di bawah batas lulus, dinyatakan tidak berhasil.
Standar Yang Relatif
Kriteria ini lebih dikenal dengan istilah "Penilaian Acuan Normal"atau disingkat PAN. Dan istilah ini merupakan alih bahasa dari istilah asing "Norm Referenced". Berbeda dengan standar mutlak, pada standar yang relatif ini keberhasilan siswa ditentukan oleh posisinya di antara kelompok siswa yang mengikuti evaluasi. Dengan lain perkataan, bahwa keberhasilan seseorang siswa dipengaruhi oleh tempat relatifnya dibandingkan dengan prestasi rata-rata kelompok. Dengan menggunakan standar relatif, dapat terjadi bahwa siswa yang prosentasi (%) jawaban yang benar hanya 50% dapat dinyatakan lulus atau berhasil, karena kebanyakan teman-teman yang lain mencapai angka prosentasi yang lebih rendah. Sebagai contoh misalnya:
Dalam suatu kelas, ujian tulis IPS yang diikuti oleh 30 orang siswa diberikan 100 buah soal. Ternyata kebanyakan siswa hanya berhasil menjwab 56 soal dengan betul, dan dapat dinyatakan lulus. Pada kelas lain, dari 100 soal yang diujikan rata-rata siswa berhasil menjawab dengar benar 90 soal, sehingga si Badu yang berhasil menjawab dengan benar 65 soal, dinyatakan tidak berhasil atau gagal.
Dengan demikian kriteria keberhasilan masing-masing kelas tidak sama. Sehingga keberhasilan seseorang siswa baru dapat ditentukan setelah prestasi kelompoknya diketahui. Dan jenis standar ini tepat dipakai oleh guru, apabila ia akan mengetahui kedudukan siswa dalam kelompok/ kelasnya. Mengingat karakteristik dari masing-masing standar itu, dan sesuai dengan prinsip ketuntasan belajar, bahwa "pengolahan skor yang diperoleh siswa diperlakukan dengan menggunakan standar mutlak atau Penilaian Acuan Patokan (PAP)".
Misalnya:
Item soal yang harus dikerjakan siswa adalah 40 buah. Setiap butir soal yang dapat dijawab benar oleh siswa diberi skor 1 (satu). Jadi skor maksimal yang mungkin dicapai adalah 40. Ani memperoleh skor 24. Ini berarti Ani menguasai
tujuan/bahan pelajaran, maka nilai untuk Ani adalah 6,00
tujuan/bahan pelajaran, maka Budi akan mendapat nilai 9,00
Disamping itu penulis informasikan pula, bahwa skala nilai yang dipergunakan dalam buku raport dan STTB adalah skala 0 – 10. Sehingga taraf penguasaan 60% sama dengan nilai 6,00 (enam), dan taraf penguasaan 90% sama dengan nilai 9,00 (sembilan), dan seterusnya.
Rangkuman
Atas dasar uraian-uraian sebagaimana dikemukakan di atas, dapatlah dibuatkan suatu ikhtisar yang berkenaan dengan topik BAB I sebagai berikut:
1. Evaluasi Belajar adalah pengumpulan bukti-bukti yang cukup untuk kemudian dijadikan dasar penetapan ada tidaknya perubahan dan derajat perubahan yang terjadi pada diri siswa, setelah mengikuti proses belajar mengajar.
2. Tujuan diadakan evaluasi belajar adalah:
2.1. Untuk memperbaiki proses belajar mengajar (PBM).
2.2. Untuk menemukan angka kemajuan hasil belajar siswa.
2.3. Untuk penjurusan.
2.4. Untuk mengenal latar belakang siswa yang mendapatkan kesulitan belajar.
1. Asas-asas evaluasi belajar adalah meliputi:
3.1. Dilaksanakan secara terus menerus.
3.2. Menyeluruh.
3.3. Obyektif.
3.4. Dilaksanakan dengan alat pengukur yang baik.
3.5. Deskriminatif.
1. Jenis-jenis evaluasi yang dilaksanakan di sekolah adakag:
4.1. Pre Test
4.2. Post Test
4.3. Formatif Test
4.4. Sumiatif Test
4.5. Diagnostik Test
4.6. Placement Test
Jenis test yang menjadi tanggungjawab guru bidang studi/guru fak adalah kecuali 4.5 dan 4.6 di atas.
1. Kriteria evaluasi dapat dibedakan menjadi:
5.1. Penilaian Acuan Patokan (PAP) atau Criterion Referenced.
5.2. Penilaian Acuan Norma (PAN) atau Norm Referenced.
Standar atau kriteria evaluasi yang ideal untuk dipakai di sekolah adalah standar PAP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar