05 Desember 2011

NIKAH DAN PERMASALAHANNYA

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam.
Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Islam mengajarkannya.
Nikah merupakan jalan yang paling bermanfa’at dan paling afdhal dalam upaya erealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya.
Nikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia, demi mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari persilangan syar’i tersebut sepasang suami istri dapat menghasilkan keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini menjadi semakin semarak.
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral.
Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam Bani Adam lah yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Ilahi sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?. Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Al-Baqarah : 30).
Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (Mitsaaqon Gholiidhoo), sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (An-Nisaa’ : 21).
Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya suami istri, memelihara dan menjaganya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail.
Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih -pen). Dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat kita.
Namun dalam perjalanannya sering terjadi masalah-masalah yang menimpa dalam perkawinan, diantaranya : jemu, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga yang ujungnya diakhiri dengan perceraian, dll.
B. Perumusan Masalah

1. Apa itu pernikahan dan apa tujuannya ?
2. Bagaimana pandangan pemerintah dan agama apabila terjadi kekerasan dalam rumah tangga?
3. Seperti apakah pernikahan yang baik dalam pandangan Islam ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu pernikahan dan tujuannya
2. untuk mengetahui pandangan pemerintah serta agama tentang KDRT
3. Untuk mengetahui pernikahan yang baik dalam pandangan Islam
D. Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode argumentasi berdasarkan kajian pustaka beberapa sumber yang dipercaya.

BAB II
PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN
Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya.
Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam.
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Ar-Ruum : 30).

A. Islam Menganjurkan Nikah

Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”. (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras”. Dan beliau bersabda :
“Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat”. (Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban).
Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya …. Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda :
“Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku”. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : “Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab”.
Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka embujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.
Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.
Islam menolak sistem ke-rahib-an karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Allah Ta’ala yang telah ditetapkan bagi makhluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allah, misalnya ia berkata : “Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!”.
Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya:
“Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
(An-Nur : 32).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya :
“Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”. (Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu).
Para Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu pernah berkata : “Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Allah sebagai seorang bujangan”. (Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul ‘Arus hal. 20).


B. Tujuan Perkawinan Dalam Islam
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Di tulisan terdahulu (bagian kedua) saya sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim”. (Al-Baqarah : 229).
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
“Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “. (Al-Baqarah : 230).
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal :
a. Harus Kafa’ah
b. Shalihah
a. Kafa’ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.
Menurut Islam, Kafa’ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa’ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, bukan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya (Al-Hujuraat : 13).
“Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujuraat : 13).
Dan mereka tetap sekufu’ dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahankan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”. (Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175).
b. Memilih Yang Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih.
Menurut Al-Qur’an wanita yang shalihah ialah :
“Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)”. (An-Nisaa : 34).
Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :
“Ta’at kepada Allah, Ta’at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta’at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta’at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya”.
Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat.
4. Untuk meningkatkan Ibadah Kepada Allah SWT
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa’i dengan sanad yang Shahih).
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”. (An-Nahl : 72).
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak “Lembaga Pendidikan Islam”, tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.
Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.

BAB III
PANDANGAN PEMERINTAH DAN ISLAM TENTANG KDRT
A. Hukum Pemerintah
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai meru-pakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.
Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya da-pat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidak-adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melak-sanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap marta-bat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, beserta perubahannya. Pasal 28G ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.
Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khusus-nya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekera-san, terutama kekerasan dalam rumah tangga.
Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan.
Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:
• UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya;
• UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
• UU 1/1974 tentang Perkawinan;
• UU 7/1984 tentang 28 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women); dan
• UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik keke-rasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepen-tingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.
Untuk melakukan pencegahan kekerasan da-lam rumah tangga, Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan melaksanakan tindakan pencega-han, antara lain, menyelenggarakan komunika-si, informasi, dan edukasi tentang pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan pemikiran tersebut, sudah saat-nya dibentuk Undang-Undang tentang Peng-hapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidi-kan dan penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.
1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya keseng-saraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Ps 1 angka 1).
2. Lingkup Rumah Tangga
Yang termasuk cakupan rumah tangga menu-rut Pasal 2 UU-PKDRT adalah:
• suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
• orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dise-butkan di atas karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
• orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersang-kutan (Ps 2 (2)).
3. Asas Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Ps 3)
• penghormatan hak asasi manusia;
• keadilan dan kesetaraan gender, yakni suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewu-judkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi keutuhan dan kelangsu-ngan rumah tangga secara proporsional.
• nondiskriminasi; dan
• perlindungan korban.
4. Tujuan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Ps 4)
• mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
• melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
• menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
• memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
5. Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
• KEKERASAN FISIK, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Ps 5 jo 6);
• KEKERASAN PSIKIS, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseo-rang (Ps 5 jo 7);
• KEKERASAN SEKSUAL, yakni setiap per-buatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Ps 5 jo 8), yang meliputi:
o pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
o pemaksaan hubungan seksual ter-hadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
• PENELANTARAN RUMAH TANGGA, yakni perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku bagi yang bersangku-tan atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Ps 5 jo 9).


6.Hak-Hak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Ps 10)
• perlindungan dari pihak keluarga, kepoli-sian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial , atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
• pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
• penanganan secara khusus berkaitan de-ngan kerahasiaan korban;
• pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
• pelayanan bimbingan rohani.
7.Kewajiban Pemerintah
Pemerintah (cq. Menteri Pemberdayaan Pe-rempuan) bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (Ps 11). Oleh karenanya, sebagai pelaksanaan tanggung jawab tersebut, pemerintah (Ps 12):
• merumuskan KEBIJAKAN PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA;
• menyelenggarakan KOMUNIKASI, INFORMASI dan EDUKASI tentang kekerasan dalam rumah tangga;
• menyelenggarakan ADVOKASI dan SOSIALISASI tentang kekerasan dalam rumah tangga;
• menyelenggarakan PENDIDIKAN dan PELATIHAN SENSITIF JENDER dan ISU KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA serta menetapkan STANDAR dan AKREDITASI pelayanan yang sensitif gender.
Selanjutnya menurut Pasal 13, untuk penye-lenggaraan pelayanan terhadap korban keke-rasan dalam rumah tangga, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing dapat melakukan upaya:
• penyediaan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor kepolisian;
• penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
• pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
• memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
Dalam penyelenggaraan upaya-upaya tersebut, pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya (Ps 14).
8.Kewajiban Masyarakat (Ps 15)
Sesuai batas kemampuannya, setiap orang yang MENDENGAR, MELIHAT, atau MENGE-TAHUI terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya untuk:
• mencegah berlangsungnya tindak pidana;
• memberikan perlindungan kepada korban;
• memberikan pertolongan darurat; dan
• membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
9.Pelaporan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Ps 26)
Korban berhak melaporkan secara:
• langsung; atau
• memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain;
kekerasan dalam rumah tangga yang dialami-nya kepada kepolisian, baik:
• di tempat korban berada; maupun
• di tempat kejadian perkara.
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan (Ps 27).
10.Bentuk Perlindungan/Pelayanan Bagi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
KEPOLISIAN:
• Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan keke-rasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban (ps 16 (1)).
• Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara, kepo-lisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan (ps 16 (3)).
• Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan (ps 18).
• Kepolisian wajib segera melakukan pe-nyelidikan setelah mengetahui atau me-nerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (ps 19).
• Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang:
o identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;
o kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan
o kewajiban kepolisian untuk melindungi korban (Ps 20).
TENAGA KESEHATAN (Ps 21 (1)):
• Memeriksa kesehatan korban sesuai de-ngan standar profesi;
• Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
Pelayanan kesehatan dilakukan di sarana ke-sehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat (Ps 21 (2)).
PEKERJA SOSIAL (Ps 22 (1)):
• Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;
• Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
• Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan
• Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
Pelayanan pekerja sosial dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat (Ps 22 (2)).
RELAWAN PENDAMPING (Ps 23):
Relawan Pendamping adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan konse-ling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban kekerasan.
Bentuk pelayanannya adalah:
• Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping;
• Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;
• Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan
• Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.
PEMBIMBING ROHANI (Ps 24):
Memberikan penjelasan mengenai hak, kewa-jiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.
ADVOKAT (Ps 25):
• Memberikan konsultasi hukum yang men-cakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;
• Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
• Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
PENGADILAN:
• Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut (Ps 28).
• Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan un-tuk (Ps 31 (1)):
o menetapkan suatu kondisi khusus, yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, me-ngawasi, atau mengintimidasi korban.
o mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlin-dungan.
Pertimbangan pengadilan dimaksud dapat diajukan bersama-sama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga (Ps 31 (2)).
• Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan (Ps 33 (1)). Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari kor-ban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani (Ps 33 (2)).
• Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menya-takan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, dengan kewajiban mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani (Ps 34).
11.Pelanggaran Perintah Perlindungan
• Kepolisian dapat menangkap untuk selan-jutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas (Ps 35 (1)).
• Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pela-ku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindu-ngan (Ps 36 (1)).
• Penangkapan dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 jam (Ps 36 (2)).
• Korban, kepolisian atau relawan pendam-ping dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelangga-ran terhadap perintah perlindungan (Ps 37 (1)). Bilamana pengadilan mendapatkan laporan tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindu-ngan ini, pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24 jam guna dilakukan pemeriksaan, di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi (Ps 37 (2)(3)).
• Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindu-ngan dan diduga akan melakukan pelang-garan lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat per-nyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan (Ps 38 (1)). Bilamana tetap tidak mengindahkan surat pernyataan ter-tulis tersebut, pengadilan dapat menahan (dengan surat perintah penahanan) pelaku paling lama 30 hari (Ps 38 (2).
12.Pemulihan Korban
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
• Tenaga Kesehatan; Tenaga kesehatan wajib memeriksa kor-ban sesuai dengan standar profesi, dan dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
• Pekerja Sosial;
• Relawan Pendamping; dan/atau
• Pembimbing Rohani.
Pekerja Sosial, Relawan Pendamping, dan/ atau Pembimbing Rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.
13.Ketentuan Pidana
KEKERASAN FISIK
DELIK ANCAMAN SANKSI
Kekerasan fisik
dalam lingkup
rumah tangga ? penjara paling lama 5 (lima) tahun; atau
? denda paling banyak Rp 15 juta
Kekerasan fisik
yang mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau
luka berat ? penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun; atau
? denda paling banyak Rp 30 juta
Kekerasan fisik
yang mengakibatkan matinya korban ? penjara paling lama 15 (lima belas) tahun; atau
? denda paling banyak Rp 45 juta
Kekerasan fisik
yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya yang
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari ? penjara paling lama 4 (empat) bulan; atau
? denda paling banyak Rp 5 juta
KEKERASAN PSIKIS
DELIK ANCAMAN SANKSI
Kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga ? penjara paling lama 3 (lima) tahun; atau
? denda paling banyak Rp 9 juta
Kekerasan psikis yang dilakukan
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari ? penjara paling lama 4 (empat) bulan; atau
? denda paling banyak Rp 3 juta
KEKERASAN SEKSUAL
DELIK ANCAMAN SANKSI
Kekerasan seksual ? penjara paling lama 12 tahun; atau
? denda paling banyak Rp 36 juta
Memaksa orang
yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual ? penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun; atau
? denda paling sedikit Rp 12 juta dan paling banyak Rp 300 juta
Mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau
1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi ? penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun; atau
? denda paling sedikit 25 juta dan paling banyak 500 juta
PENELANTARAN RUMAH TANGGA
DELIK ANCAMAN SANKSI
Menelantarkan
orang lain dalam lingkup rumah tangga; atau
Menelantarkan
orang lain yang berada di bawah kendali ? penjara paling lama 3 (lima) tahun; atau
? denda paling banyak Rp 15 juta
Pidana Tambahan
Selain ancaman pidana penjara dan/atau denda tersebut di atas, hakim dapat men-jatuhkan pidana tambahan berupa:
• PEMBATASAN GERAK pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
• PENETAPAN pelaku mengikuti program KONSELING di bawah pengawasan lembaga tertentu .
14.Delik Aduan
Tindak pidana kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan DELIK ADUAN.
B. Dalam Pandangan Islam
Setiap orang di dunia ini, tidak menginginkan menjadi korban kekerasan dalam bentuk apapun dan karena alasan apapun. Tetapi realitas sosial yang penuh dengan ragam kepentingan terkadang, dengan kesadaran atau tanpa kesadaran, memaksa orang untuk berbuat timpang dan menindas orang lain. Kekerasan-kekerasan pun terjadi dan masih terus akan terjadi selama konflik kepentingan itu masih ada dalam kehidupan ini. Semangat untuk mencari dan mewujudkan keadilan, menjadi penting untuk terus digulirkan dalam rangka menghapuskan ekses ketimpangan kehidupan, menghentikan kekerasan dan memberikan perlindungan kepada korban.

Kasus-kasus kekerasan dan penindasan yang menimpa kemanusiaan telah memotivasi banyak kalangan untuk mendakwahkan cara hidup dan pranata kehidupan yang lebih adil dan penuh kedamaian. Perbudakan manusia, penjajahan bangsa, perampasan sumber daya, kekerasan terhadap buruh dan minoritas, serta segala jenis kekerasan berbasis gender menjadi isu global yang diserukan untuk dihentikan. Sebagian sudah berhasil, seperti perbudakan manusia dan penjajahan dunia—walaupun saat ini wacana tentang perbudakan moderen (modern slavery) masih dirasakan oleh sebagian kalangan manusia seperti fenomena perdagangan manusia terutama pada perempuan dan anak- anak. Sebagian yang lain masih harus terus diperjuangkan untuk mendapatkan perhatian yang lebih layak.

Salah satu fenomena kekerasan terhadap manusia yang masih sering terjadi dan memerlukan perhatian dan penanganan serius adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Relasi suami-isteri yang timpang masih terus menimbulkan banyak korban dari kalangan perempuan dan anak-anak.

Minimnya kesadaran keadilan, cara pandang terhadap perempuan dan kesalahan dalam memahami pesan-pesan dan ajaran agama terkait hubungan suami isteri telah menyebabkan banyak orang, bahkan dari kalangan umat beragama dengan mudah melakukan kekerasan terhadap perempuan. Kehidupan rumah tangga yang diasumsikan dibangun untuk menumbuhkan keamanan dan kedamaian, justru berbalik menjadi tempat yang berpotensi terhadap tindak kekerasan.

1. Faktor Penyebab Terjadinya KDRT

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya KDRT yaitu antara lain:

Pertama dan yang utama adalah adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan; baik di rumah tangga, maupun dalam kehidupan publik. Ketimpangan ini, yang memaksa perempuan dan laki-laki untuk mengambil peran-peran gender tertentu, yang pada akhirnya berujung pada perilaku kekerasan. Di keluarga misalnya, kebanyakan masyarakat percaya bahwa suami adalah pemimpin bahkan penguasa keluarga. Suami juga merasa dituntut untuk mendidik istri dan mengembalikannya pada jalur yang benar, yang pada akhirnya menggunakan tindak kekerasan.

Kedua, ketergantungan istri terhadap suami secara penuh. Terutama untuk masalah ekonomi, yang membuat istri benar-benar berada di bawah kekuasaan suami.
Ketiga, keyakinan-keyakinan yang berkembang di masyarakat termasuk yang yang bersumber dari tafsir agama, bahwa perempuan boleh dipukul kalau membangkang suami, perempuan harus tunduk suami, tidak boleh keluar rumah tanpa izin suami, perempuan harus mengalah, bersabar atas segala persoalan keluarga, tentang konsep istri shalihah dll. Keyakinan tersebut telah berkembang di masyarakat secara salah kaprah dan banyak dijadikan dalih bagi kaum laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap pasangannya.

2. Islam Menentang KDRT

Islam sangat menentang kekerasan dalam bentuk apapun termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Prinsip yang diajarkan Islam dalam membangun rumah tangga adalah mawaddah, rahmah dan adalah (kasih, sayang dan adil). Dalam al-Qur'an disebutkan " Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir" (Ar-rum: 21). Daslam ayat lain disebutkan "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri [mu], walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung [kepada yang kamu cintai], sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri [dari kecurangan], maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (An-Nisa: 129).

Allah s.w.t. juga berfirman: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo`alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Q.S. al-A’rโf, 7:56).
“Wahai hamba-hamba-Ku, Aku haramkan kezaliaman terhadap diri-Ku, dan Aku jadikan kezaliman itu juga haram di antara kamu, maka janganlah kamu saling menzalimi satu sama lain”. (Hadis Qudsi, Riwayat Imam Muslim).

Text-text di atas sangat jelas menggariskan bahwa salah satu tujuan berumah tangga, adalah untuk menciptakan kehidupan yang penuh ketentraman dan bertabur kasih sayang. Keluarga sak๎nah anggota yang ada di dalamnya. Atau keluarga sak๎nah, mawaddah wa rahmah hanya bisa terbentuk apabila setiap anggota keluarga berupaya untuk saling menghormati, menyayangi, dan saling mencintai. Itulah fondasi dasar sebuah keluarga dalam Islam. Maka kekerasan dalam rumah tangga sangat dicela Islam dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai keislaman.

Menjawab masalah KDRT melalui kacamata agama Islam adalah dengan implementasi hukum-hukum Islam ("Fiqih"), khususnya yang terkait dengan aturan dan ketentuan berumah tangga secara proporsional, benar dan kontekstual. Fenomena salah kaprah dalam memahami dan mengimplementasikan hukum-hukum agama yang terjadi di masyarakat perlu diluruskan, diproporsionalkan dan disosialisasikan sehingga KDRT yang dilakukan sebagian orang dengan dalih agama dapat dikurangi. Di samping itu, nilai-nilai mulia keagamaan yang anti kekerasan juga perlu terus didakwahkan. Dengan begitu, masyarakat kita yang cenderung fikih-minded juga mengamalkan fikih anti KDRT ini sebagai bagian dari keberagamaan mereka.

Berikut ini beberapa contoh hukum-hukum Islam yang sering salah dipahami dan digunakan sebagai dalih dalam beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga.

a. Hukum memukul isteri

Dalam surah An-Nisa' ayat:34 dikatakan:"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka [laki-laki] atas sebahagian yang lain [wanita], dan karena mereka [laki-laki] telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara [mereka]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa bagi suami yang menghadapi isteri yang nusyuz (membangkang) diperbolehkan memukulnya, setelah nasehat dan boikot ranjang tidak berhasil. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum ini, ada yang mengatakan boleh asal tidak membekas dan tidak memukul muka. Namun beberapa ulama besar termasuk imam syafii mengatakan bagaimanapun memukul isteri itu hukumnya makruh dan sangat tercela.

Dalam tataran praktik, banyak kalangan masyarakat yang memilih pendapat pertama sehingga banyak sekali kasus-kasus pemukulan isteri yang melampau batas-batas yang telah digariskan. Kasus-kasus ini tidak sedikit yang mengatasnamakan ‘kebolehan’ dari Islam.

Pandangan ini harus dirubah dan diganti dengan pendapat kedua yang mengatakan bahwa pemukulan terhadap istri, apapun bentuknya, adalah pelanggaran terhadap ajaran kasih sayang dan anjuran keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, yang ditegaskan al-Qur’an. Pandangan ini sesuai dengan hadis Nabi SAW. yang diriwayatkan Abdullah bin Zam’ah, bahwa Nabi SAW. bersabda: “Sesungguhnya aku tidak senang (benci) terhadap lelaki yang memukul istrinya ketika dia marah, padahal bisa saja setelah itu menggaulinya pada hari yang sama”. (Ibn ‘Arabi, juz I, hal. 420). Dalam riwayat lain Rasulullah s.a.w. mengatakan “Mereka suami yang suka memukul isteri bukanlah orang-orang yang terbaik”. (Riwayat Abu Dawud). Imam Ali bin Abi Thalib ra juag mengatakan: “Hanya orang-orang mulia yang akan memuliakan perempuan, dan hanya orang-orang hina yang menistakan perempuan”.

b. Hukum Kawin Paksa

Ada silang pendapat dalam kalangan ulama fiqih tentang hukum kawin paksa. Sebagian berpendapat boleh karena kekuasaan menikahkan bagi seorang gadis adalah terletak pada walinya atau oarng tuanya. Celakanya pendapat ini dijadikan landasan bagi kasus-kasus kawin paksa.

Pandangan itu harus kita kikis dan kita ganti dengan pendapat yang benar bahwa ajaran Islam sama sekali menentang tindakan kawin paksa dan wajib hukumnya mempertimbangkan pendapat mempelai dalam pernikahan. Pendapat ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari, Malik, Abu Dawud dan an-Nasa’i, bahwa ketika seorang perempuan yang bernama Khansa binti Khidam ra merasa dipaksa dikawinkan oleh orang tuanya, Nabi mengembalikan keputusan itu kepadanya; mau diteruskan atau dibatalkan, bukan kepada orang tuanya. Bahkan dalam riwayat Abu Salamah, Nabi SAW. menyatakan kepada Khansa r.a.: “Kamu yang berhak untuk menikah dengan seseorang yang kamu kehendaki”. Khansa pun pada akhirnya kawin dengan laki-laki pilihannya Abu Lubabah bin Abd al-Mundzir r.a. Dari perkawinan ini ia dikarunia anak bernama Saib bin Abu Lubabah. (Lihat: Jamaluddin Abdullah bin Yusuf az-Zayla’i, Nashb ar-Rayah Takhr๎j Ahโd๎ts al-Hidโyah, 2002: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut, juz III, hal. 232).

c. Hukum Hubungan Seksual Suami Isteri

Dalam sebuah hadis, dari Sahabat Abu Hurairah ra, dikatakan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Jika suami mengajak isterinya ke tempat tidur, tetapi sang isteri menolak, sehingga suami marah sampai pagi, maka sang isteri akan dilaknat para malaikat sampai pagi”. (HR. Bukhari).

Banyak yang salah memahami hadis tersebut bahwa wajib bagi isteri untuk melayani suami dalam kondisi apapun. Isteri ibarat pelayan seksual suami sehingga ia wajib melayani suami kapanpun dan ia selalu dituntut untuk memberikan kepuasan terhadap suami, kapan dan di manapun. Sementara dirinya tidak diberi kesempatan untuk memperoleh kepuasan. Apabila isteri menolak maka sering terjadi kekerasanlah yang justru menimpa isteri.

Perilaku dan pandangan umum seperti itu perlu diluruskan dan ditegaskan bahwa itu menyalahi ajaran dasar Islam. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa suami adalah baju bagi isteri, dan sebaliknya isteri adalah baju bagi suami (Hunna libโsun lakum wa antum libโsun lahunn, QS. Al-Baqarah, 2: 187). Ayat ini lahir dalam konteks hubungan intim antara suami dan isteri. Sehingga bisa dikatakan bahwa kebutuhan dan kepuasan seksual menurut al-Qur’an, adalah persoalan yang bersifat timbal balik. Jika ingin dipuaskan pasangannya, tentu pada saat yang sama ia harus bisa memuaskan. Suami juga harus mengerti ketika sang isteri menolak hubungan intim karena persoalan kelelahan, kesehatan atau alasan lainnya.

Teks hadis mengenai laknat di atas tidak seharusnya dipahami secara literal. Para ulama fiqh sendiri, telah menyatakan bahwa pelaknatan ini ditujukan kepada perempuan yang menolak dengan tanpa alasan apapun. Bahkan menurut Hamim Ilyas, bahwa teks hadis di atas lahir pada konteks di mana banyak perempuan yang melakukan “pantang bilah” terhadap suaminya. Yaitu tradisi para perempuan untuk tidak melayani suaminya selama menyusui, setelah melahirkan. Tradisi ini yang mendasari lahirnya pernyataan Nabi SAW. tentang laknat tersebut. Tentu saja tradisi ini sangat memberatkan suami untuk tidak berhubungan intim, apalagi kalau masa menyusui sampai mencapai dua tahun. Karena itu, Nabi SAW. menganjurkan para istri untuk tidak menolak ajakan suami pada masa pantang bilah tersebut. (Lusi Margiyani (ed.), 1999: hal. 173).

Masih banyak pandangan, persepsi maupun tradisi keagamaan yang salah di masyarakat kita terkait hubungan rumah tangga, sehingga sering menimbulkan ketimpangan atau bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Adalah tanggung jawab semua kalangan untuk meluruskan pandangan-pandangan dan tradisi-tradisi yang salah tersebut. Para ulama dan guru agama selaku pendakwah ajaran agama perlu melakukan perannya dengan baik. Perangkat hukum yang melindungi kaum ibu dan perempuan juga perlu diciptakan agar kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dapat diatasi melalui jalur pengadilan. Masyarakat juga perlu diberi wawasan akan bahaya kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimana mensikapi dan mencari solusinya.

Dan yang terlebih penting lagi adalah peran kaum perempuan sendiri untuk bergerak memperjuangkan hak-hak mereka dan mengupayakan perlindungan bagi mereka dari sasaran kekerasan dan ketertindasan. Kaum perempuan tidak selayaknya hanya menunggu uluran tangan orang lain dan enggan bergerak. Masih banyak kalangan perempuan yang justru terlena dengan pranata-pranata nilai keagamaan yang sebenarnya mengkerdilkannya dan bahkan masih banyak kaum wanita yang sengaja bersembunyi di balik tirani-tirani hukum dan tradisi yang sebenarnya telah mengekangnya dan merenggut kemerdekaannya.

BAB IV
KELUARGA SAMARA ADALAH KELUARGA IDAMAN
Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang), Allah berfirman :
“Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Ar-Ruum : 21).

A. Pengertian Sakinah, Mawaddah dan Wa Rahmah
Dala Dalam bahasa Arab, kata sakinah di dalamnya terkandung arti tenang, terhormat, aman, merasa dilindungi, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Namun, penggunaan nama sakinah itu diambil dari al Qur’an surat 30:21, litaskunu ilaiha, yang artinya bahwa Allah SWT telah menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang satu merasa tenteram terhadap yang lain.Jadi keluarga sakinah itu adalah keluarga yang semua anggota keluarganya merasakan cinta kasih, keamanan, ketentraman, perlindungan, bahagia, keberkahan, terhormat, dihargai, dipercaya dan dirahmati oleh Allah SWT.
Di dalam keluarga sakinah itu pasti akan muncul mawaddah dan rahmah (Q/30:21). Mawaddah adalah jenis cinta membara, yang menggebu-gebu kasih sayang pada lawan jenisnya (bisa dikatakan mawaddah ini adalah cinta yang didorong oleh kekuatan nafsu seseorang pada lawan jenisnya). Karena itu, Setiap mahluk Allah kiranya diberikan sifat ini, mulai dari hewan sampai manusia. Mawaddah cinta yang lebih condong pada material seperti cinta karena kecantikan, ketampanan, bodi yang menggoda, cinta pada harta benda, dan lain sebagainya. Mawaddah itu sinonimnya adalah mahabbah yang artinya cinta dan kasih sayang.
Wa artinya dan. Sedangkan Rahmah (dari Allah SWT) yang berarti ampunan, anugerah, karunia, rahmat, belas kasih, rejeki. (lihat : Kamus Arab, kitab ta’riifat, Hisnul Muslim (Perisai Muslim) Jadi, Rahmah adalah jenis cinta kasih sayang yang lembut, siap berkorban untuk menafkahi dan melayani dan siap melindungi kepada yang dicintai. Rahmah lebih condong pada sifat qolbiyah atau suasana batin yang terimplementasikan pada wujud kasih sayang, seperti cinta tulus, kasih sayang, rasa memiliki, membantu, menghargai, rasa rela berkorban, yang terpancar dari cahaya iman. Sifat rahmah ini akan muncul manakala niatan pertama saat melangsungkan pernikahan adalah karena mengikuti perintah Allah dan sunnah Rasulullah serta bertujuan hanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
B. Ciri-ciri keluarga skinah mawaddah wa rahmah itu antara lain:
1. Menurut hadis Nabi, pilar keluarga sakinah itu ada empat (idza aradallohu bi ahli baitin khoiran dst); (a) memiliki kecenderungan kepada agama, (b) yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda, (c) sederhana dalam belanja, (d) santun dalam bergaul dan (e) selalu introspeksi. Dalam hadis Nabi juga disebutkan bahwa: “ empat hal akan menjadi faktor yang mendatangkan kebahagiaan keluarga (arba`un min sa`adat al mar’i), yakni (a) suami / isteri yang setia (saleh/salehah), (b) anak-anak yang berbakti, (c) lingkungan sosial yang sehat , dan (d) dekat rizkinya.”
2. Hubungan antara suami isteri harus atas dasar saling membutuhkan, seperti pakaian dan yang memakainya (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna, Q/2:187). Fungsi pakaian ada tiga, yaitu (a) menutup aurat, (b) melindungi diri dari panas dingin, dan (c) perhiasan. Suami terhadap isteri dan sebaliknya harus menfungsikan diri dalam tiga hal tersebut. Jika isteri mempunyai suatu kekurangan, suami tidak menceriterakan kepada orang lain, begitu juga sebaliknya. Jika isteri sakit, suami segera mencari obat atau membawa ke dokter, begitu juga sebaliknya. Isteri harus selalu tampil membanggakan suami, suami juga harus tampil membanggakan isteri, jangan terbalik jika saat keluar rumah istri atau suami tampil menarik agar dilihat orang banyak. Sedangkan giliran ada dirumah suami atau istri berpakaian seadanya, tidak menarik, awut-awutan, sehingga pasangannya tidak menaruh simpati sedikitpun padanya. Suami istri saling menjaga penampilan pada masing-masing pasangannya.
3. Suami isteri dalam bergaul memperhatikan hal-hal yang secara sosial dianggap patut (ma`ruf), tidak asal benar dan hak, Wa`a syiruhunna bil ma`ruf (Q/4:19). Besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya harus memperhatikan nilai-nilai ma`ruf. Hal ini terutama harus diperhatikan oleh suami isteri yang berasal dari kultur yang menyolok perbedaannya.
4. Suami istri secara tulus menjalankan masing-masing kewajibannya dengan didasari keyakinan bahwa menjalankan kewajiban itu merupakan perintah Allah SWT yang dalam menjalankannya harus tulus ikhlas. Suami menjaga hak istri dan istri menjaga hak-hak suami. Dari sini muncul saling menghargai, mempercayai, setia dan keduanya terjalin kerjasama untuk mencapai kebaikan didunia ini sebanyak-banyaknya melalui ikatan rumah tangga. Suami menunaikan kewajiabannya sebagai suami karema mengharap ridha Allah. Dengan menjalankan kewajiban inilah suami berharap agar amalnya menjadi berpahala disisi Allah SWT. Sedangkan istri, menunaikan kewajiban sebagai istri seperti melayani suami, mendidik anak-anak, dan lain sebagainya juga berniat semata-mata karena Allah SWT. Kewajiban yang dilakukannya itu diyakini sebagai perinta Allah, tidak memandang karena cintanya kepada suami semata, tetapi di balik itu dia niat agar mendapatkan pahala di sisi Allah melalui pengorbanan dia dengan menjalankan kewajibannya sebagai istri.
5. Semua anggota keluarganya seperti anak-anaknya, isrti dan suaminya beriman dan bertaqwa kepada Allah dan rasul-Nya (shaleh-shalehah). Artinya hukum-hukum Allah dan agama Allah terimplementasi dalam pergaulan rumah tangganya.
6. Riskinya selalu bersih dari yang diharamkan Allah SWT. Penghasilan suami sebagai tonggak berdirinya keluarga itu selalu menjaga rizki yang halal. Suami menjaga agar anak dan istrinya tidak berpakaian, makan, bertempat tinggal, memakai kendaraan, dan semua pemenuhan kebutuhan dari harta haram. Dia berjuang untuk mendapatkan rizki halal saja.
7. Anggota keluarga selalu ridha terhadap anugrah Allah SWT yang diberikan kepada mereka. Jika diberi lebih mereka bersyukur dan berbagi dengan fakir miskin. Jika kekurangan mereka sabar dan terus berikhtiar. Mereka keluarga yang selalu berusaha untuk memperbaiki semua aspek kehidupan mereka dengan wajib menuntut ilmu-ilmu agama Allah SWT.
Pertanyaan
4. Bagaimana mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah itu?
Jawaban
Untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah perlu melalui proses yang panjang dan pengorbanan yang besar, di antaranya:
1. Pilih pasangan yang shaleh atau shalehah yang taat menjalankan perintah Allah dan sunnah Rasulullah SWT.
2. Pilihlah pasangan dengan mengutamakan keimanan dan ketaqwaannya dari pada kecantikannya, kekayaannya, kedudukannya.
3. Pilihlah pasangan keturunan keluarga yang terjaga kehormatan dan nasabnya.
4. Niatkan saat menikah untuk beribadah kepada Allah SWT dan untuk menghidari hubungan yang dilaran Allah SWT
5. Suami berusaha menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami dengan dorongan iman, cinta, dan ibadah. Seperti memberi nafkah, memberi keamanan, memberikan didikan islami pada anak istrinya, memberikan sandang pangan, papan yang halal, menjadi pemimpin keluarga yang mampu mengajak anggota keluaganya menuju ridha Allah dan surga -Nya serta dapat menyelamatkan anggota keluarganya dario siksa api neraka.
6. Istri berusaha menjalankan kewajibann ya sebagai istri dengan dorongan ibadah dan berharap ridha Allah semata. Seperti melayani suami, mendidik putra-putrinya tentan agama islam dan ilmu pengetahuan, mendidik mereka dengan akhlak yang mulia, menjaga kehormatan keluarga, memelihara harta suaminya, dan membahagiakan suaminya.
7. Suami istri saling mengenali kekurangan dan kelebihan pasangannya, saling menghargai, merasa saling membutuhkan dan melengkapi, menghormati, mencintai, saling mempercai kesetiaan masing-masing, saling keterbukaan dengan merajut komunikasi yang intens.
8. Berkomitmen menempuh perjalanan rumah tangga untuk selalu bersama dalam mengarungi badai dan gelombang kehidupan.
9. Suami mengajak anak dan istrinya untuk shalat berjamaah atau ibadah bersama-sama, seperti suami mengajak anak istrinya bersedekah pada fakir miskin, dengan tujuan suami mendidik anaknya agar gemar bersedekah, mendidik istrinya agar lebih banyak bersukur kepada Allah SWT, berzikir bersama-sama, mengajak anak istri membaca al-qur’an, berziarah qubur, menuntut ilmu bersama, bertamasya untuk melihat keagungan ciptaan Allah SWT. Dan lain-lain.
m rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsinya masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridla’an Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda “kemelut” perselisihan dan percekcokan.
Bila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa : 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.

BAB V
KESIMPULAN
Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam.
Tujuan pernikahann Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi, Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur, Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami, dan Untuk meningkatkan Ibadah Kepada Allah SWT.
Pandangan pemerintah masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya keseng-saraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Apabila hal ini terjadi maka pasangan yang melakukan KDRT terkena Delik Hukum.

Islam sangat menentang kekerasan dalam bentuk apapun termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Prinsip yang diajarkan Islam dalam membangun rumah tangga adalah mawaddah, rahmah dan adalah (kasih, sayang dan adil)
Solusi untuk meraih keluarga idaman dan bahagia adalah keluarga SAMARA (Sakinah Mawaddah wa Rahma) sebagaimana yang telah diterangkan di atas


Wallohu`alam bis showab
*Di susun oleh Aboe Akbar Abi dikutip dari beberapa sumber dan pustaka*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar