28 Januari 2012
06 Januari 2012
Merangsang Anak Menjelajahi Lautan Ilmu
Secara fisik, otak berkembang sangat pesat usia 0‐6 tahun, kemudian berangsur berkurang kecepatannya hingga usia 8 tahun, dan berhenti pada usia 12 tahun. Artinya, sesudah usia 12 tahun yang bisa kita lakukan adalah mengoptimalkan fungsi otak melalui program pembelajaran yang tepat serta pengetahuan tentang bagaimana belajar.
Secara intelektual, perkembangan otak paling pesat berada pada rentang usia dua sampai dengan delapan tahun. Fase berikutnya yang masih sangat pesat perkembangannya, tetapi tidak sepesat fase sebelumnya adalah rentang usia 8 – 12 tahun. Kemudian berhenti pada usia 18 tahun. Jika kita ingin melahirkan manusia didik yang cemerlang dan memiliki kecakapan sangat luas dalam berbagai bidang keahlian, masa yang paling menentukan ada‐lah usia 2–8 tahun dan berlanjut hingga usia 18 tahun. Di rentang usia inilah kita membangun budaya belajar (learning culture) pada diri anak‐anak kita, baik di rumah maupun di sekolah. Jika di usia ini kita benar‐benar memanfaatkannya untuk membangun budaya belajar, maka insya‐Allah pada usia 8 atau selambatnya 9 tahun anak sudah menjadi pembelajar mandiri (self starter).
Bagaimana kita membentuk budaya belajar yang kuat pada anak‐anak kita? Pertama, menjadikan belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan, menggembirakan, dan membuat anak merasa diperhatikan. Di rumah, relatif lebih mudah karena kita mendekati tiap anak secara individual. Tetapi di sekolah, dengan pembelajaran yang bersifat klasikal, kita harus merancang penataan ruang kelas yang optimum agar tiap anak merasa diperhatikan secara individual. Di luar itu, kita bisa merancang kegiatan yang memberi perhatian kepada tiap‐tiap anak secara personal.
Apa bedanya individual dan personal? Jika Anda memberikan sebuah sendok ke‐pada setiap siswa, dengan memanggilnya satu per satu untuk dipakai sendiri‐sendiri, Anda memberikannya secara individual untuk penggunaan yang bersifat individual juga. Tidak kelompok. Tidak massal. Jika Anda mendekati siswa sesuai dengan keunikan pribadinya, maka Anda baru saja melakukan pendekatan secara personal. Kepada anak yang satu Anda menyambut dengan senyum, kepada anak yang lain Anda menyambut dengan jabat tangan erat sembari mengguncang‐guncangkan tangan tanda bersemangat.
Kedua, menciptakan kegiatan yang membuat anak kaya akan pengalaman sukses. Sesungguhnya, pengalaman sukses memberi perasaan positif kepada anak, sehingga mem‐buatnya semakin bersemangat untuk melakukan aktivitas yang sama maupun aktivis terkait di waktu‐waktu berikutnya. Pengalaman sukses merupakan hadiah yang memberi kepuasan dari dalam diri mereka. Dan ini lebih efektif dibanding hadiah yang bersifat benda.
Itu sebabnya proses pendidikan anak di usia dini, yakni usia 0‐8 tahun, harus lebih banyak membangkitkan motivasi, memelihara antusiasme, dan merangsang rasa ingin tahu‐nya secara alamiah. Sayangnya, kita banyak membunuh rasa ingin tahu anak serta dorongan untuk melakukan yang terbaik dengan banyak memberikan iming‐iming hadiah kepada me‐reka. Kita mendorong mereka untuk berbuat karena mengharap dunia, bahkan di saat kita mengajarkan kepada mereka tentang ikhlas. Padahal berdasarkan berbagai riset mutakhir, mi‐salnya bisa kita lihat pada buku Social Psychology yang ditulis oleh Robert S. Feldman, hadiah justru sangat dianjurkan untuk tidak diberikan karena merusak motivasi intrinsik anak. Hadiah juga cenderung mengurangi kecermatan anak melakukan tugas di waktu‐waktu berikutnya.
Tetapi…
Kita perlu memberikan umpan balik kepada mereka berupa perhatian, tanggapan, dan kesediaan untuk berdiskusi. Kita juga perlu spending time –secara sengaja mengambil waktu kita—untuk memberi apresiasi kepada mereka. Bisa juga kita memberi hadiah, tapi tidak bersifat benda.
Ketiga, membangun visi anak, sehingga dengan itu ia tergerakkan untuk belajar, mencari ilmu dan melakukan berbagai hal baru untuk menemukan pengalaman‐pengalaman ilmiah yang menantang. Anak‐anak perlu kita bangun cita‐citanya untuk berbuat mewujud‐kan gagasan besar, bukan belajar yang rajin agar kelak mendapatkan pekerjaan yang layak. Kita ajak anak‐anak berjalan mengelilingi kota, membakar semangatnya agar kelak tangan‐nya mampu menggenggam dunia. Bukan karena cinta dunia, tetapi karena panggilan untuk menolong agama Allah ‘Azza wa Jalla.
Secara sederhana, Philip Kotler merumuskan visi sebagai an ideal standard of excellence (standar ideal keunggulan) yang secara integral merupakan bagian dari gambaran mental kita tentang masa yang akan datang (mental picture of the future). Cita‐cita tanpa standar ideal keunggulan, apalagi tanpa gambaran mental tentang masa depan, bukan visi. Tapi angan‐angan. Kalimat‐kalimat visi jika tidak disertai dengan misi yang jelas untuk mencapainya, bukanlah visi. Tapi fisik, yakni fisik spanduk.
Apa pengaruh visi? Orang‐orang yang memiliki visi besar akan memiliki kepekaan terhadap arah dan tujuan. Kita lebih mudah menangkap apakah sesuatu itu sesuai dengan visi besar yang ingin kita capai atau tidak. Karena itu, kita juga tidak mudah larut oleh gegap gempita yang sedang bergema di luar.
Ribuan manusia mungkin sedang dicekam haru biru Pildacil. Tetapi karena kita tahu bahwa Pildacil dan yang sejenis dengan itu tidak membangun karakter anak secara positif di masa yang akan datang, maka kita tidak turut larut dalam gegap gempita itu meskipun kesem‐patan ada di depan mata.
Keempat, visi besar yang kita bangun pada diri anak harus kita barengi dengan mem‐bangun alasan yang kuat bagi dia untuk berbuat. Raison d’etre. Reason for being. Inilah sesung‐guhnya sumber motivasi yang menggerakkan anak untuk terus‐menerus lebih baik dan bela‐jar lebih gigih. Bukankah motivasi adalah sesuatu yang menggerakkan kita untuk bertindak?
Untuk itu, sekolah perlu merancang jam motivasi setiap hari, disamping ada hari motivasi yang bersifat lebih menggugah.
Kelima, nilai spiritual yang secara integral membentuk integritas anak. Dua hal ini –spiritualitas dan integritas—menciptakan rasa tanggung‐jawab pada diri anak, menumbuh‐kan kesediaan untuk menanggung konsekuensi dari tindakan, mampu memilih apa yang be‐rat bagi dirinya demi menjaga kebenaran dan idealisme, serta mendorong anak untuk memi‐liki daya juang tinggi. Spiritualitas yang kuat menjadikan kegiatan anak menjadi lebih bermakna. Spiritualitas yang bertumpu pada keyakinan terhadap Allah ‘Azza wa Jalla dan Hari Akhir, dapat menumbuhkan kesadaran bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah dan para malaikat‐Nya. Kesadaran bahwa dirinya diawasi inilah bagian dari ihsan, sekaligus bagian integral dari integritas.
Keenam, membangun budaya membaca yang kuat. Secara keseluruhan, pintu pertama untuk membangun budaya belajar yang kuat pada diri anak adalah dengan membangun bu‐daya membaca. Kecakapan belajar paling awal yang membuka pintu‐pintu ilmu adalah mem‐baca. Itu sebabnya, budaya dan kecakapan membaca menjadi perhatian paling serius di ber‐bagai negara maju. Di negeri yang terdekat dengan kita misalnya –Singapore—dikembang‐kan media pembelajaran membaca dan menulis untuk anak usia 1‐5 tahun.
Ketujuh, pada akhirnya pembelajaran di sekolah harus dirancang agar mendukung terciptanya budaya belajar yang kuat. Di jenjang sekolah dasar, hanya ada dua yang perlu kita berikan kepada mereka: the basic of knowing dan the basic of knowledge. Yang pertama ber‐urusan dengan motivasi, sikap dan perilaku. Yang kedua berkait dengan pengetahuan‐penge‐tahuan dasar, yakni digesting (kemampuan mencerna isi bacaan), writing (menulis) dengan titik tekan pada motivasi dan kecakapan mengekspresikan gagasan dan pikiran, serta logic‐mathematics (logika‐matematika), yakni pelajaran matematika yang diarahkan terutama kepa‐da penguasaan prinsip‐prinsip dasarnya. Bukan keterampilan berhitung.
Ini semua sangat penting artinya bagi proses belajar di waktu‐waktu berikutnya. Budaya belajar yang kuat, dari sini memulainya.
02 Januari 2012
Perilaku Hormat Terhadap Orang tua
1. Pengertian Hormat terhadap orang tua
Dalam Kamus bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008:556) hormat terbagi menjadi empat definisi, yaitu : Menghargai (takzim, khidmat) misal: sepatut nyalah kita menaruh - kepada orang tua kita; Perbuatan yg menandakan rasa khidmat atau takzim (seperti menyembah, menunduk): hadirin serentak berdiri memberi - kepada tamu yang datang; Menaruh (memberi) penghargaan: setiap murid wajib -kepada guru-guru; Takzim; sopan.
Menurut pengertian di atas hormat adalah cara si anak menghargai, ta’zim dan khidmat kepada orang tuanya. Dalam hal ini perilaku hormat yang ditunjukan oleh seorang anak kepada orang tuanya adalah dengan berbakti. Berbakti merupakan kewajiban kepada orang tua. Seperti telah disebutkan di dalam Aal-Qur’an, As-Sunnah, Ijma; dimana masing-masing telah memberikan garis-garis ketentuannya.
2. Kewajiban Berbakti Kepada orang tua
Dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 36, Allah SWT berfirman : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.”
Kewajiban berbakti kepada orang tua adalah wajib sebagaimana terdapat dalam ayat Al-Qur’an di atas. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Bahwa ada seorang laki-laki yang mengajukan pertanyaan kepada Nabi SAW:
“Wahai Rasulullah, apakah sesuatu yang akan engkau perintahkan kepadaku untuk dilakukan?” Beliau bersabda “Berbaktilah kepada ibumu” Nabi SAW mengulangnya sampai tiga kali kemudian beliau bersabda :” Berbaktilah kepada Bapakmu”.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda : “Bertakwalah kepada Allah, dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, berhajilah ke baitulah dan berumrah, berbaktilah kepada kedua orang tua, muliakanlah tamu, tegakkanlah amal ma`ruf dan cegahlah kemunkaran. Dalam riwayat lain Nabi SAW bersabda : “janganlah engkau menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dan berbaktilah kepada orang tuamu, janganlah kamu bersuara keras dihadapannya”.
Sepengetahuan penulis dalam Ijma para ulama telah disebutkan oleh Ibnu Hazm bahwasanya imam Mujahid bersepakat bahwa berbakti kepada orang tua itu hukumnya wajib, dengan demikian setiap anak sudah seharusnya melaksanakan kewajiban berbakti kepada orang tua tanpa terkecuali.
3. Keutamaan Berprilaku Hormat Kepada Orang Tua
Ada beberapa keutaman yang akan dianugerahkan Allah SWT bagi yang berprilaku hormat (berbakti) kepada orang tuanya, diantaranya : Amal yang paling utama dan sangat di cintai oleh Allah adalah berbakti kepada orang tua, sholat tepat pada waktunya dan berjihad di jalan agama Allah SWT.
Hal tersebut di atas sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, bahwa pada suatu ketika salah seorang sahabat Nabi bernama Abdullah bin Mas’ud mengajukan pertanyaan kepada Nabi Muhammad SAW :
”Wahai Rasulullah, amal perbuatan apakah yang paling utama di cintai Allah ? “Beliau menjawab:”Shalat tepat pada waktunya. Abdillah bertanya lagi”. Kemudian apa lagi, ya Rasulullah ?” Berbakti kepada orang tua”. Abdillah bertanya lagi; “Selanjutnya apa, wahai Rasulullah? ”Beliau menjawab:”Berjihad di jalan Allah”.
Sekurang-sekurangnya ada lima keutamaan berbakti kepada orang tua, diantaranya :
(1) Berbakti dan berlaku hormat kepada orang tua dapat melebur dosa-dosa besar, hal ini sesuai dengan kisah Ibnu Abbas yang diceritakan kepada Atha’ bin Yasar.
(2) Berbakti dan hormat kepada orang tua dapat memberikan keberkahan hidup. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Anas bin Malik RA : ”Barang siapa yang berbakti kepada orang tuanya, maka ia akan memperoleh kebahagian, panjang umur dan senantiasa mendapat berkah dari Allah SWT”.
(3) Berbakti dan hormat kepada orang tua menyebabkan mendapat telaganya Nabi Muhammad SAW di syurga. Hal ini sesuai dengan hadits riwayat Imam Hakim dari Abu Hurairah. “.....berbaktilah kepada orang tuamu, tentu kelak anak-anakmu akan berbakti kepadamu.........apabila kamu melaksanakan hal itu, niscaya ia akan mendatangi telagaku (Nabi) di syurga”.
(4) Berbakti dan hormat kepada orang tua menyebabkan seseorang mendapat kedudukan dan derajat yang tinggi di syurga. Hal ini diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dari Aisyah RA.
(5) Berbakti dan hormat kepada orang tua akan menyebabkan masuk syurga.
Dengan demikian, maka keberkahan hidup, kebahagaian lahir batin bagi seseorang sangatlah tergantung bagaimana ia berprilaku terhadap orang tuanya. Semakin tinggi rasa hormat, bakti dan taat maka keberkahan hidup semakin luas menyertainya.
4. Melayani Orang tua
Allah SWT telah memerintahkan agar mentaati dan melayani orang tua. Apa yang mereka perintahkan harus didahulukan selama perintahnya itu tidak bertentangan dengan yang dilarang Allah, maka segeralah laksanakan, dari pada melakukan perkara-perkara yang sifatnya sunnat.
Kewajiban melayani orang tua, apalagi apabila mereka telah tua renta memerlukan perhatian dan pelayanan kita sebagai anaknya. Sebagaimana orang tua pun telah mengurus kita, membimbing dan mendidik kita, hingga kita dewasa. Sebagaimana dalam al-Qur’an surat Luqman ayat 14
Artinya : “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (Depag RI, 2004:329)
5. Berdoa Untuk Orang Tua
Mendo’akan orang tua adalah kewajiban setiap anak. Berdo’a untuk mereka bukan hanya ketika mereka sudah meninggal saja. Akan tetapi orang tua yang masih hidup juga harus di doakan. Tujuan anak mendoakan orang tua adalah supaya Allah SWT memberikan rahmat kepada kedua orang tua. Dengan memanjatkan doa maka cinta cinta kepada orang tua akan tumbuh di dalam hati seseorang anak. Selama ia masih hidup ia akan memperoleh pahala dari amalnya sendiri dan akan menjadi bekal bagainya setelah mati. Namun ada 3 hal yang amalnya akan menyebabkan terus mengalir bahkan setelah ia mati, adalah :
> Shodaqoh Jariah
> Ilmu yang bermanfaat
> Anak yang soleh yang mendoakannya.
Ciri dari anak yang soleh adalah anak yang selalu mendo’akan orang tuanya baik orang tuanya itu masih hidup atau sudah meninggal dunia. Adapun doa yang dibaca adalah :
َArtinya : “Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan kasihanilah keduanya sebagaimana mereka mengasihaniku dan mendidik aku sejak kecil”.
6. Berkata Halus, Lemah Lembut Dan Mulia Kepada Orang Tua
Menurut Rachmat Djatnika (1996:205). Segala sikap orang tua terutana ibu memberikan refleksi yang kuat terhadap si anak. Dalam hal berkata pun demikian. Agar si anak berlaku lemah lembut dan sopan kepada orang tuanya haruslah dididik dengan contoh yang baik dalam berbuat, bersikap dan berkata. Dalam ajaran Islam anak harus berbicara sopan, lemah lembut dan menggunakan kata-kata yang mulia. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Isra ayat 23-24
Artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Dari ayat-ayat tersebut, si anak berkewajiban berbuat baik kepada ibu dan ayahnya, yaitu dengan menggaulinya dengan sebaik-baiknya, dan berkata kepadanya dengan tidak menyinggung perasaannya, tidak membentak, dan kata-kata yang membuat dia sakit hati. Seperti “ah” euh”. Tetapi hendaklah berkata yang manis, halus dan mulia (Qaulan karimah).
Wallohu`alam bis showwab
*Aboe Akbar Abi*
Langganan:
Postingan (Atom)