06 Januari 2012

Merangsang Anak Menjelajahi Lautan Ilmu




Secara fisik, otak berkembang sangat pesat usia 0‐6 tahun, kemudian berangsur berkurang kecepatannya hingga usia 8 tahun, dan berhenti pada usia 12 tahun. Artinya, sesudah usia 12 tahun yang bisa kita lakukan adalah mengoptimalkan fungsi otak melalui program pembelajaran yang tepat serta pengetahuan tentang bagaimana belajar.
Secara intelektual, perkembangan otak paling pesat berada pada rentang usia dua sampai dengan delapan tahun. Fase berikutnya yang masih sangat pesat perkembangannya, tetapi tidak sepesat fase sebelumnya adalah rentang usia 8 – 12 tahun. Kemudian berhenti pada usia 18 tahun. Jika kita ingin melahirkan manusia didik yang cemerlang dan memiliki kecakapan sangat luas dalam berbagai bidang keahlian, masa yang paling menentukan ada‐lah usia 2–8 tahun dan berlanjut hingga usia 18 tahun. Di rentang usia inilah kita membangun budaya belajar (learning culture) pada diri anak‐anak kita, baik di rumah maupun di sekolah. Jika di usia ini kita benar‐benar memanfaatkannya untuk membangun budaya belajar, maka insya‐Allah pada usia 8 atau selambatnya 9 tahun anak sudah menjadi pembelajar mandiri (self starter).
Bagaimana kita membentuk budaya belajar yang kuat pada anak‐anak kita? Pertama, menjadikan belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan, menggembirakan, dan membuat anak merasa diperhatikan. Di rumah, relatif lebih mudah karena kita mendekati tiap anak secara individual. Tetapi di sekolah, dengan pembelajaran yang bersifat klasikal, kita harus merancang penataan ruang kelas yang optimum agar tiap anak merasa diperhatikan secara individual. Di luar itu, kita bisa merancang kegiatan yang memberi perhatian kepada tiap‐tiap anak secara personal.
Apa bedanya individual dan personal? Jika Anda memberikan sebuah sendok ke‐pada setiap siswa, dengan memanggilnya satu per satu untuk dipakai sendiri‐sendiri, Anda memberikannya secara individual untuk penggunaan yang bersifat individual juga. Tidak kelompok. Tidak massal. Jika Anda mendekati siswa sesuai dengan keunikan pribadinya, maka Anda baru saja melakukan pendekatan secara personal. Kepada anak yang satu Anda menyambut dengan senyum, kepada anak yang lain Anda menyambut dengan jabat tangan erat sembari mengguncang‐guncangkan tangan tanda bersemangat.
Kedua, menciptakan kegiatan yang membuat anak kaya akan pengalaman sukses. Sesungguhnya, pengalaman sukses memberi perasaan positif kepada anak, sehingga mem‐buatnya semakin bersemangat untuk melakukan aktivitas yang sama maupun aktivis terkait di waktu‐waktu berikutnya. Pengalaman sukses merupakan hadiah yang memberi kepuasan dari dalam diri mereka. Dan ini lebih efektif dibanding hadiah yang bersifat benda.
Itu sebabnya proses pendidikan anak di usia dini, yakni usia 0‐8 tahun, harus lebih banyak membangkitkan motivasi, memelihara antusiasme, dan merangsang rasa ingin tahu‐nya secara alamiah. Sayangnya, kita banyak membunuh rasa ingin tahu anak serta dorongan untuk melakukan yang terbaik dengan banyak memberikan iming‐iming hadiah kepada me‐reka. Kita mendorong mereka untuk berbuat karena mengharap dunia, bahkan di saat kita mengajarkan kepada mereka tentang ikhlas. Padahal berdasarkan berbagai riset mutakhir, mi‐salnya bisa kita lihat pada buku Social Psychology yang ditulis oleh Robert S. Feldman, hadiah justru sangat dianjurkan untuk tidak diberikan karena merusak motivasi intrinsik anak. Hadiah juga cenderung mengurangi kecermatan anak melakukan tugas di waktu‐waktu berikutnya.
Tetapi…
Kita perlu memberikan umpan balik kepada mereka berupa perhatian, tanggapan, dan kesediaan untuk berdiskusi. Kita juga perlu spending time –secara sengaja mengambil waktu kita—untuk memberi apresiasi kepada mereka. Bisa juga kita memberi hadiah, tapi tidak bersifat benda.
Ketiga, membangun visi anak, sehingga dengan itu ia tergerakkan untuk belajar, mencari ilmu dan melakukan berbagai hal baru untuk menemukan pengalaman‐pengalaman ilmiah yang menantang. Anak‐anak perlu kita bangun cita‐citanya untuk berbuat mewujud‐kan gagasan besar, bukan belajar yang rajin agar kelak mendapatkan pekerjaan yang layak. Kita ajak anak‐anak berjalan mengelilingi kota, membakar semangatnya agar kelak tangan‐nya mampu menggenggam dunia. Bukan karena cinta dunia, tetapi karena panggilan untuk menolong agama Allah ‘Azza wa Jalla.
Secara sederhana, Philip Kotler merumuskan visi sebagai an ideal standard of excellence (standar ideal keunggulan) yang secara integral merupakan bagian dari gambaran mental kita tentang masa yang akan datang (mental picture of the future). Cita‐cita tanpa standar ideal keunggulan, apalagi tanpa gambaran mental tentang masa depan, bukan visi. Tapi angan‐angan. Kalimat‐kalimat visi jika tidak disertai dengan misi yang jelas untuk mencapainya, bukanlah visi. Tapi fisik, yakni fisik spanduk.
Apa pengaruh visi? Orang‐orang yang memiliki visi besar akan memiliki kepekaan terhadap arah dan tujuan. Kita lebih mudah menangkap apakah sesuatu itu sesuai dengan visi besar yang ingin kita capai atau tidak. Karena itu, kita juga tidak mudah larut oleh gegap gempita yang sedang bergema di luar.
Ribuan manusia mungkin sedang dicekam haru biru Pildacil. Tetapi karena kita tahu bahwa Pildacil dan yang sejenis dengan itu tidak membangun karakter anak secara positif di masa yang akan datang, maka kita tidak turut larut dalam gegap gempita itu meskipun kesem‐patan ada di depan mata.
Keempat, visi besar yang kita bangun pada diri anak harus kita barengi dengan mem‐bangun alasan yang kuat bagi dia untuk berbuat. Raison d’etre. Reason for being. Inilah sesung‐guhnya sumber motivasi yang menggerakkan anak untuk terus‐menerus lebih baik dan bela‐jar lebih gigih. Bukankah motivasi adalah sesuatu yang menggerakkan kita untuk bertindak?
Untuk itu, sekolah perlu merancang jam motivasi setiap hari, disamping ada hari motivasi yang bersifat lebih menggugah.
Kelima, nilai spiritual yang secara integral membentuk integritas anak. Dua hal ini –spiritualitas dan integritas—menciptakan rasa tanggung‐jawab pada diri anak, menumbuh‐kan kesediaan untuk menanggung konsekuensi dari tindakan, mampu memilih apa yang be‐rat bagi dirinya demi menjaga kebenaran dan idealisme, serta mendorong anak untuk memi‐liki daya juang tinggi. Spiritualitas yang kuat menjadikan kegiatan anak menjadi lebih bermakna. Spiritualitas yang bertumpu pada keyakinan terhadap Allah ‘Azza wa Jalla dan Hari Akhir, dapat menumbuhkan kesadaran bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah dan para malaikat‐Nya. Kesadaran bahwa dirinya diawasi inilah bagian dari ihsan, sekaligus bagian integral dari integritas.
Keenam, membangun budaya membaca yang kuat. Secara keseluruhan, pintu pertama untuk membangun budaya belajar yang kuat pada diri anak adalah dengan membangun bu‐daya membaca. Kecakapan belajar paling awal yang membuka pintu‐pintu ilmu adalah mem‐baca. Itu sebabnya, budaya dan kecakapan membaca menjadi perhatian paling serius di ber‐bagai negara maju. Di negeri yang terdekat dengan kita misalnya –Singapore—dikembang‐kan media pembelajaran membaca dan menulis untuk anak usia 1‐5 tahun.
Ketujuh, pada akhirnya pembelajaran di sekolah harus dirancang agar mendukung terciptanya budaya belajar yang kuat. Di jenjang sekolah dasar, hanya ada dua yang perlu kita berikan kepada mereka: the basic of knowing dan the basic of knowledge. Yang pertama ber‐urusan dengan motivasi, sikap dan perilaku. Yang kedua berkait dengan pengetahuan‐penge‐tahuan dasar, yakni digesting (kemampuan mencerna isi bacaan), writing (menulis) dengan titik tekan pada motivasi dan kecakapan mengekspresikan gagasan dan pikiran, serta logic‐mathematics (logika‐matematika), yakni pelajaran matematika yang diarahkan terutama kepa‐da penguasaan prinsip‐prinsip dasarnya. Bukan keterampilan berhitung.
Ini semua sangat penting artinya bagi proses belajar di waktu‐waktu berikutnya. Budaya belajar yang kuat, dari sini memulainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar