oleh Aboe Akbar Abi pada 9 November 2011 jam 18:07
1. Seorang lelaki datang menghadap Rasulullah saw. sambil betkata : “Ya, Rasulullah! Saya datang untuk melakukan bai’at berhijrah, dengan meninggalkan kedua orang tua saya yang menangisi kepergian saya.” Rasulullah saw. pun menjawabnya : “kembalilah kepada kedua orang tuamu itu. Gembirakanlah mereka sebagaimana engkau telah bikin mereka menangis.
Suatu kali, ada yang bertanya : “Ya, Rasulullah! Saya ingin sekali berjihad, tetapi saya tidak mampu.” Rasulullah menjawab : “Apa masih ada salah seorang dari orang tuamu?” “Ya,” sahut orang itu. Maka bersabdalah Rasulullah saw. : “Jumpailah Allah swt dengan berbakti pada orang tuamu. Apabila engkau telah melakukannya, maka samalah dengan engkau telah berhaji, berumrah dan berjihad.”
2. Suatu hari Baginda Nabi sedang duduk-duduk dengan para sahabatnya menunggu saat shalat tiba. Sahabatnya yang baru saja pulang dari pesta makan daging. Maka terciumlah bau yang kurang sedap dalam majelis itu. Rasulullah menyadari bahwa bau-bauan itu disebabkan oleh uap napas seseorang akibat makan daging yg berlebihan. Rasulullah juga menyadari bahwa orang yang bersangkutan ada dalam kedudukan sulit sekali. Mereka tentulah sudah berwudhu semua. Karena sebentar lagi akan shalat berjamaah. Kalau orang yang berbau kurang sedap itu beranjak seorang diri pergi berwudhu’, ketahuanlah dia sumber bau kurang sedap itu. Tentu dia bisa jadi malu dan gelisah. Beliau menginginkan pelaku yang sebenarnya merasakan pahit getir kesalahannya itu, tanpa diketahui oleh banyak orang.
Rasulullah saw. melepaskan pandangannya kepada semua yang hadir, seraya memerintahkan : “Siapa yang makan daging tadi hendaknya berwudhu!” Semuanya telah memakan daging ya, Rasulullah!, jawab para sahabat. Lalu beliau bersabda : “Kalau begitu, berwudhulah kalian semua.”
Mereka bangkit semua pergi berwudhu. Termasuk orang yang merupakan sumber datangnya bau kurang sedap itu. Orang ini telah diselamatkan air mukanya dari rasa malu, berkat kecerdikan dan kelambutan Rasulullah saw.
(Demikianlah keluhuran budi pekerti Nabi Muhammad saw. memperhitungkan tindakan sampai sekecil-kecilnya pun agar tidak melukai perasaan orang dan kehormatan orang lain).
3. Pada suatu waktu Rasulullah saw. sedang tidur-tiduran di rumahnya melepas rasa lelah. Dia berbaring di atas tikar yang terbuat dari daun-daun tamar yang dianyam. Tiba-tiba seorang sahabatnya yang bernama Ibnu Mas’ud datang berkunjung. Oleh karena Rasulullah saw waktu itu tidak memakai baju, maka terlihat jelas oleh Ibnu Mas’ud bekas anyaman tikar melekat pada punggung Rasulullah. Melihat peristiwa itu Ibnu Mas’ud amat sedih, dan bendungan air matanya pun pecah berserakan. Sungguh-sungguh tidaklah pantas rasanya seorang Rasul kekasih Allah swt., seorang kepala negara dan seorang panglima tertinggi berhal seperti demikian. Dengan terharu Ibnu Mas’ud berkata : “Ya, Rasulullah! Bolehkah saya membawakan sebuah kasur kemari untuk tuan?” Mendengar ini Rasulullah saw. bersabda : “Apalah artinya kesenangan hidup di dunia ini bagiku. Perumpamaan hidup di dunia ini bagiku tidak ubahnya seperti seorang musafir dalam perjalanan jauh yang singgah berteduh dibawah pohon kayu yang rindang untuk melepaskan rasa lelah. Kemudian dia harus berangkat meninggalkan tempat itu untuk meneruskan perjalanan yang sangat jauh tidak berujung.”
4. Dua kali dalam tahun yang sama Rasulullah saw. memperoleh hantaman dukacita yang amat besar. Mula-mula Abi Thalib, yaitu pamanya yang melindunginya dari kebengisan kaum Quraisy, meninggal dunia dalam keadaan masih musyrik. Lalu Siti Khadijah, yaitu istrinya yang selalu memberikan dukungan moril dan materil yang amat besar. Tidaklah terperikan rasa dukacita yang menusuk kalbunya! Dalam keadaan demikian itu, perlakuan kaum Quraisy terhadapnya semakin menggila. Pernah suatu waktu mereka menyiramkan tanah keatas kepala Rasulullah saw., namun Rasulullah tetap tabah. Akhirnya karena perlakuan kaum Quraisy semakin brutal, Muhammad saw. pergi ke Ta’if dengan harapan semoga masyarakat disana mau mendukungnya. Namun ternyata orang-orang di Ta’if memperlakukannya seperti kepada bukan manusia saja layaknya. Ia di caci maki, di ludahi, serta dilempari batu dan besi sehingga beberapa bagian tubuhnya tidak hanya menjadi memar, tetapi terluka dan mencucurkan darah.
Secepatnya Nabi pergi dari sana, berlindung di sebuah kebun anggur kepunyaan anak-anak Rabia, yaitu Utba dan Syaiba. Disana Beliau berdo’a dengan khusuk :
Allahumma Ya Allah.
Kepada Engkau juga aku mengadukan kelemahanku,
kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di depan manusia.
Oh, Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Engkaulah yang melindungi si lemah dan
Engkaulah pelindungku.
Kepada siapa hendak Kau serahkan diriku?
Kepada orang yang jauhkah yang berwajah muram kepadaku?
Ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku?
Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidaklah perduli
Sebab sungguh luas kenikmatan yang Kau limpahkan kepadaku.
Aku berlindung kepada Nur wajah Engkau yang menyinari kegelapan
(dan karenanya membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat)
dari kemurkaan Engkau yang akan Kau tumpahkan kepadaku.
Engkaulah yang berhak menegur dengan berkenan kepada Engkau.
Dan tiada kuasa serta kekuatan selain dengan Engkau juga.
(Meskipun dalam kondisi yang amat nelangsa, Baginda Nabi Muhammad saw. dalam do’anya tidak mendendam kepad orang-orang yang menyakitinya!)
21 November 2011
Guru Pahlawan yang Berjasa (sebuah renungan di Hari Pahlawan)
oleh Aboe Akbar Abi pada 10 November 2011 jam 12:59
Saat aku masih usia 8 tahun tak terbayang dalam benakku untuk menjadi seorang pendidik. Karena yang saya tahu waktu itu guru adalah orang yang pintar, cerdas dan tahu segala-galanya. Sampai uang jajan yang hilang saja saya tanyakan kepada guru. Merasa diri sebagai anak yang kurang pintar terlintas dalam pikiranku “aku tidak mau jadi guru” selain itu informasi waktu itu penghasilan guru tidak dapat mensejahterakan keluarga, sehingga ada beberapa guru saya yang pagi hari mengajar di sekolah dan siang hari sampai malam jadi tukang ojeg. Sampai kedua orang tuaku sempat berkata ”Katanya Sarjana kok jadi tukang ojeg ! memangnya gajih guru itu berapa? “ Perkataan orang tuaku itu menambah keyakinan bahwa jadi guru bukanlah pekerjaan yang dapat diandalkan.
Namun setelah menginjak usia dewasa saya mulai berpikir tentang jasa dan pengorbanan dari seorang guru. Begitu luhur dan sangatlah mulia. Guru bukanlah orang yang patut di kasihani bagaimanapun keadaanya. Mengapa demikian? Karena guru kerjanya hanya memberi dan memberi dan tak pernah meminta. Bayangkan betapa kayanya Guru itu. Dalam keadaan apapun dia hanya memberi tak pernah meminta apalagi untuk dikasihani. Apa sebenarnya yang diberikan guru? dan apa manfaat dari yang telah dia berikan?
pada kesempatan hari pahlawan ini mari kita merenung sejenak tentang langkah dan perjalanan kita. Dari mulai kanak-kanak sampai kita dewasa ini. Dahulu ketika aku masih ingusan awal masuk duduk di bangku SD dengan mengenakan seragam putih merah dengan dasi dan topi dikepala, seraya tertunduk malu saat ibu mengantarkan untuk mulai masuk sekolah. Keadaan yang masih lugu itu tidak tahu untuk apa sebenarnya ibu dan ayah membawaku ke sekolah. Dengan berbekal satu buah buku tulis dan pensil akupun mulai diajak untuk belajar menulis. Keadaanku yang masih polos itu merasa kesulitan untuk belajar menulis dan disanalah guru berperan, membimbing, mengarahkan dengan penuh kesabaran. belum lagi ketika belajar membaca dan berhitung, aku terbata-bata dan merasa kesulitan. Saat itu karena baru mengenal huruf dan angka, disana gurulah jua yang berperan hingga akhirnya aku lancar membaca dan menulis. Setelah mampu membaca dan menulis guru mulai memberikan macam-macam pemahaman dari mulai menerapkan keimanan, rasa hormat, disiplin, tulus, tanggung jawab dll. serta mengajarkan ilmu-ilmu yang tidak pernah aku tahu sebelumnya mulai dari mengenalkan benda yang paling dekat, darimana benda itu didapat/dibuat sampai manfaat benda tersebut. Hal tersebut yang menjadi dasar (basic) pemahaman kita akan sesuatu hal. Itulah hal yang diberikan guru, dia dengan tulus tanpa pamrih memberikan segala kemampuannya untuk kita.
Adapun manfaat yang dia berikan sangat jelas dan terasa saat ini ketika aku, dibutuhkan orang untuk membacakan, menerangkan pemahaman oleh orang yang membutuhkan.
Saya jadi teringat ketika Jepang (Hiroshima dan nagasakhi) di bombardier oleh pasukan sekutu yang Kaisar lakukan waktu itu bukanlah menanyakan berapa jenderal atau pasukan yang tersisa, namun yang Kaisar tanyakan berapa guru yang tersisa. Alhasil Jepang kini menjadi Negara maju didunia dan super power di Asia. Semua itu tidak lepas dari jasa para guru dapat meningkatkan harkat martabat suatu negara. Dan kitapun telah merasakan manfaat dari ilmu-ilmu yang diberikan guru. Kita bisa menuntaskan jenjang sekolah lanjutan, sarjana, pasca sarjana, dan mungkin ke jenjang tertinggi yaitu kedoktoran. Semua itu tida terlepas dari jasa Guru. dengan demikian “Guru adalah Pahlawan yang Berjasa” (bersambung)
Wallohu`alam bis showab
Menghidupkan Komunikasi aktif antara Orang tua dan Anak
oleh Aboe Akbar Abi pada 11 November 2011 jam 10:03
Ada seorang mahasiswa kelas karyawan yang kebetulan seorang ibu , dia bertanya : “Kenapa anak apabila ada maunya anak susah ngomong malah ia marah-marah dan menangis, kira-kira mengapa yah ? ”
Ini berawal dari orang tua ketika selalu menginginkan anak-anaknya supaya mendengarkan apa yang mereka ucapkan, tetapi mereka jarang untuk mendengarkan apa yang dikatakan oleh anak-anaknya, malah terkadang orang tua membentak atau senyum sinis ketika anak mengutarakan keinginannya . Tidak adanya komunikasi timbal balik antara orang tua dan anak kerap menimbulkan masalah muali dari konflik antara kedua belah pihak sampai hilangnya citra orang tua dimata anak-anaknya. Hal inilah yang mendorong mereka untuk sulit berbicara kepada orang tua, sebagai ekspresi ketidak puasannya mereka ungkapkan dengan marah atau menangis.
Komunikasi dalam keluarga sangatlah penting karena untuk membagun hubungan yang hangat dan harmonis terutama kepada anak. Komunikasi dengan anak dianggap baik adalah bila orang tua mengusahakan berbicara dengan mereka secara wajar, tidak berbelit-belit, ringkas dengan bahasa yang sederhana sesuai kemampuan nalar si anak.
Dalam hal ini saya berikan beberapa saran yang dapat meningkatkan keakraban antara orang tua dan anaknya agar terjalin suatu komunikasi yang aktif diantara mereka.
1. Dengarkan mereka dengan seluruh kepekaan hati.
Biasanya merasa kecewa dan menaruh dendam apabila orang tua merasa acuh tak acuh, tidak memperhatikan perasaan serta gagasan si anak. Akibatnya anak akan berkesimpulan bahwa gagasannya itu konyol dimata orang tuanya. Hal ini merupakan salah satu factor mengapa anak lebih baik memilih marah-marah atau menangis daripada berbicara.
2. Cegahlah peracunan jiwa anak karena rasa kesal kita pada mereka
Orang tua hendaknya menghindari kata-kata atau komentar yang kurang pantas saat merasa kesal kepada anak. Karena hal ini akan meracuni jiwa anak yang akan berpengaruh pada pribadinya. Misalnya : Dasar anak cengeng, bandel, bodoh, gak tau diuntung,bego, tolol (hal-hal yang sifatnya mencela) atau membandingkannya dengan saudaranya yang lain. Missal : tuh lihat kakakmu, atau adikmu tidak seperti kamu. Hal ini kelihatannya seperti sepele, tetapi sesungguhnya adalah racun-racun yang lambat laun akan merusak dan membentuk kepribadian anak. Diantaranya anak menjadi pemalu, minder, tolol dan tidak menghargai orang tua.3. Ungkapkan perasaan dan gagasan-gagasan tanpa harus menyerang
Saat orang tua merasa kesal dengan tingkah laku si anak, alangkah lebih efektif apabila ungkapan kesal tersebut menggunakan bahasa yang lembut tidak menyerang kepribadian dan harga diri anak. Ketika kita merasa kesal kepada anak ungkapkan dengan bahasa, missal “duh dasar anak cerdas pintar sekali kamu” padahal anak sedang melakukan hal yang bodoh jangan sekali-kali lontarkan kepada anak nada yang kasar dank eras tetapi boleh ditunjukan dengan fisik yang agak greget. Karena bahasa yang keluar secara verbal jauh lebih sakit terasa daripada bahasa yang dikeluarkan oleh tubuh.
Ada sebuah ungkapan Sunda “ Seukeutna letah leuwih seukeut tibatan seukeutna pedang”
Wallohu’alam bis showab
*Aboe Akbar Abi*
20 November 2011
Puisi
PERJALANAN CINTA SANG MATAHARI11/02/2011
Sekejap lagi hari ini kan berlalu
Tapi aku tetap mencintaimu
Seperti matahari yang ingin mencumbu rembulan
Dalam taburan bintang gemintang
Meski bulan hanya meninggalkan senyum
Yang tak pernah dimengerti olehnya
Aku memang terlalu panas untuk kau dekati
Lagi pula seperti apa nantinya
Pastilah Gerhana tak terelakan
Kegelapanpun akan menimpa
Dan langit pasti akan kehilangan muka
Karena pelangi kan terus menangis
Sedangkan rembulan yang dicintai dia kan tertawa geli
Salahkah bila Aku mencintaimu wahai Rembulan ?
Oleh : Aboe Akbar Abi
Hujan !11/02/2011
ketika cahaya telah pudar merona
sang megapun mulai bersembunyi dibawah kelam
hitam pekat berayun didalamnya
bintik-bintik air mulai berjatuhan
lama kelamaan semakin membesar
dan basahlah seluruh tubuh bumi ini
Kau yang ku nantikan akhirnya datang juga
telah lama aku menunggumu dalam kekeringan
lihatlah lumbung-lumbung air telah terkuras habis
aku hampir mati kehausan menunggu damba hatimu
sungguh kau dianugrahkan untuk kehidupan
apa jadinya hidup ini tanpa mu
Aboe Akbar Abi
Teknik Baca Puisi / Deklamasi
1. PENGANTAR
Deklamasi berasal dari bahasa Latin yang maksudnya declamare atau declaim yang membawa makna membaca sesuatu hasil sastera yang berbentuk puisi dengan lagu atau gerak tubuh sebagai alat bantu. Gerak yang dimaksudkan ialah gerak alat bantu yang puitis, yang seirama dengan isi bacaan.
Umumnya memang deklamasi berkait rapat dengan puisi, akan tetapi membaca sebuah cerpen dengan lagu atau gerak tubuh juga bisa dikatakan mendeklamasi. Mendeklamasikan puisi atau cerpen bermakna membaca, tetapi membaca tidak sama dengan maksud mendeklamasi. Maksudnya di sini bahwa apapun pengertian membaca tentunya jauh berbeda dengan maksud deklamasi.
2. MAKNA KATA DEKLAMASI
Sudah jelas deklamasi itu berasal dari bahasa asing, jadi maknanya ia bukan kata asli Indonesia. Memang keadaan semacam ini sering berlaku di Indonesia, misalnya kata neraka, izin, zaman, ajal, karam dan lain-lain berasal dari bahasa Arab, sedang tauco, tauge berasal dari bahasa Tionghua. Manakala dastar, kenduri, kelasi berasal dari bahasa Persi. Lampu, mesin, koki, repot dari bahasa Belanda, manakala pensil, botol berasal dari bahasa Inggris dan demikianlah halnya deklamasi berasal dari bahasa Latin.
Di Indonesia perkataan deklamasi sudah ada sebelum tahun 1950-an. Deklamasi artinya membawa puisi-puisi, sedang orang yang melakukan deklamasi itu disebut “Deklamator” untuk lelaki dan “Deklamatris” untuk perempuan.
Apa bedanya deklamasi dan nyanyi? Menyanyi ialah melagukan suatu nyanyian dengan menggunakan not-not do-re-mi atau not balok, sedang deklamasi ialah membawakan pantun-pantun, syair, puisi atau sajak dengan menggunakan irama dan gaya yang baik. Disamping itu kita mengenal pula: menari, melukis, memahat, sandiwara dan lain-lain. Semuanya itu mempunyai cara-cara dan aturannya sendiri-sendiri.
3. BAHAN YANG DIDEKLAMASIKAN
Tentu saja tidak semua pantun, sajak atau puisi dapat dideklamasikan, malah cerpen dan novel juga boleh dideklamasikan/soalnya kita harus memilih mana sajak, puisi, pantun-pantun yang baik dan menarik untuk dideklamasikan.
4. CARA BERDEKLAMASI
Seperti telah dijelaskan bahawa berdeklamasi itu membawakan pantun, syair dan sajak atau puisi. Kemudian apakah cukup hanya asal membawakan saja? Tentu tidak! Berdeklamasi, selain kita mengucapkan sesuatu, haruslah pula memenuhi syarat-syarat lainnya. Apakah syarat-syarat itu? Sebelum kita berdeklamasi, kita harus memilih dulu pantun, syair, sajak apa, yang rasanya baik untuk dideklamasikan. Terserah kepada keinginan masing-masing.
Yang penting pilihlah sajak atau puisi, pantun atau syair yang memiliki isi yang baik dan bentuk yang indah dideklamasikan. Mengenai hal isi tentunya dapat minta nasihat, petunjuk dan bimbingan dari mereka yang lebih berpengalaman dan berpengetahuan atau ahli dalam bidang deklamasi.
Kalau kita sudah memilih sebuah puisi misalnya, tentu saja boleh lebih dari satu. Hal ini sering terjadi dalam lomba-lomba yang menyiapkan puisi wajib dan puisi pilihan. Nah, sesudah itu, lalu apa lagi yang harus kita perbuat? Maka tidak boleh tidak harus mentafsirnya terlebih dahulu.
5. MENAFSIR PUISI
Apakah puisi yang kita pilih itu berunsur kepahlawanan, keberanian, kesedihan, kemarahan, kesenangan, pujian dan lain-lain? Kalau puisi yang kita pilih itu mengandung kepahlawanan, keberanian dan kegagahan, maka kita pun harus mendeklamasikan puisi tersebut dengan perasaan dan laku perbuatan, yang menunjukkan seorang pahlawan, seorang yang gagah berani. Kita harus dapat melukiskan kepada orang lain, bagaimana kehebatan dan kegagahan kapal udara itu. Bagaimana harus mengucapkan kata-kata yang seram dan menakutkan.
Sebaliknya kalau saja puisi yang kita pilih itu mengadung kesedihan, sewaktu kita berdeklamasi haruslah betul-betul dalam suasana yang sedih dan memilukan, bahkan harus bisa membuat orang menangis bagi orang yang mendengar dan melihat kita sedih, ketika dideklamasikan menjadi sebuah puisi yang gembira, bersukaria atau sebaliknya. Tentu saja hal-hal seperti itu harus dijaga benar-benar. Karena itu, harus berhati-hati, teliti, tenang dan sungguh-sungguh dalam menafsir sebuah puisi.
Bacalah seluruh puisi itu berulang-ulang sampai kita mengerti betul apa-apa yang dikandung dan dimaksud oleh puisi tersebut. Juga kata-kata yang sukar dan tanda-tanda baca yang kurang jelas harus dipahami benar-benar, Jika sudah dimengerti dan diselami isi puisi itu, barulah kita meningkat ke persoalan yang lebih lanjut.
6. MEMPELAJARI ISI UNTUK MENDEKLAMASI PUISI
Cara mengucapkan puisi itu tidak boleh seenaknya saja, tapi harus tunduk kepada aturan-aturannya: di mana harus ditekankan atau dipercepatkan, di mana harus dikeraskan, harus berhenti, di mana harus dilambatkan atau dilunakkan, di mana harus diucapkan biasa, dan sebagainya. Jadi, bila kita mendeklamasikan puisi itu harus supaya menarik, maka harus dipakai tanda-tanda tersendiri:
—— Diucapkan biasa saja
/ Berhenti sebentar untuk bernafas/biasanya pada koma atau di tengah baris
// Berhenti agak lama/biasanya koma di akhir baris yang masih berhubungan artinya dengan baris berikutnya
/// Berhenti lama sekali biasanya pada titik baris terakhir atau pada penghabisan puisi
^ Suara perlahan sekali seperti berbisik
^^ Suara perlahan sahaja
^^^ Suara keras sekali seperti berteriak
V Tekanan kata pendek sekali
VV Tekanan kata agak pendek
VVV Tekan kata agak panjang
VVVV Tekan kata agak panjang sekali
____/ Tekanan suara meninggi
____ Tekanan suara agak merendah \
Cara meletakkan tanda-tanda tersebut pada setiap kata masing-masing orang berbeda tergantung kepada kemahuannya sendiri-sendiri. Dari sinilah kita dapat menilai: siapa orang yang mahir dan pandai berdeklamasi.
Demikianlah, setelah tanda-tanda itu kita letakkan dengan baik dan dalam meletakkannya jangan asal meletakkan saja, tapi harus memakai perasaan dan pertimbangan, seperti halnya kalau kita membaca berita: ada koma, ada titik, tanda-tandanya, titik koma dan lain-lain.
Kalau tanda-tanda itu sudah diletakkan dengan baik, barulah kita baca puisi tersebut berulang-ulang sesuai dengan irama dan aturan tanda itu. Dengan sendirinya kalau kita sudah lancar benar, tekanan-tekanan, irama-irama dan gayanya takkan terlupa lagi selama kita berdeklamasi.
7. PUISI HARUS DIHAFAL
Mendeklamasi itu ialah membawakan puisi yang dihafal. Memang ada juga orang berdeklamasi puisi di atas kertas saja. Cara seperti itu kurang enak kecuali jika untuk siaran pembacaan puisi di radio atau rekaman. Tetapi deklamasi itu selalu saja didengar dan ditonton orang. Mana mungkin para penonton akan senang, melihat kita berdeklamasi kalau muka kita tertunduk melulu terus menerus kala mendeklamasikan puisi itu. Tentu saja membosankan bukan?
Makanya sebaik mungkin deklamator harus menghafal puisi yang mahu dideklamasi itu. Caranya ulangilah puisi itu berkali-kali tanpa mempergunakan teks, sebab jika tidak demikian di saat kita telah naik pentas, kata-kata dalam puisi itu tak teringat atau terputus-putus.
Betapa lucunya seorang deklamator, ketika dengan gaya yang sudah cukup menarik di atas panggung, di muka penonton yang ramai, tiba-tiba ia lupa pada kalimat-kalimat dalam puisi. Ia seperti terhenti, terpukau, mau bersuara tak tentu apa yang harus diucapkan. Mau mengingat-ingat secara khusuk terlalu lama. Menyaksikan keadaan demikian itu sudah tentu para penonton akan kecewa. Bagi sideklamator sendiri akan mendapat malu. Oleh kerana itu dihafalkanlah puisi itu sebaik-baiknya sampai terasa lancar sekali. Setelah dirasakan yakin, bahawa sebuah puisi telah sanggup dibaca di luar kepala, barulah berlatih mempergunakan mimik atau “action”
Cara menghafal tentu saja dengan cara mengingatnya sebaris demi sebaris dan kemudian serangkap demi serangkap disamping berusaha untuk mengerti setiap kata yang dicatatkan karena hal itu menjadi jelasnya maksud dan tujuan isi puisi itu.
8. DEKLAMASI BUKAN UCAPAN SEMATA
Deklamasi bukan ucapan semata. Deklamasi harus disertai gerak-gerak muka, kalau perlu dengan gerak seluruh anggota badan atau seluruh tubuh, tetapi yang paling penting sekali ialah gerak-gerak muka. Dengan ucapan-ucapan yang baik dan teratur, diserta dengan gerak geri muka nescaya akan bertambah menarik, apa lagi kalau ditonton. Dari gerak geri muka itu penonton dapat merasakan dan menyaksikan mengertikan puisi yang dideklamasikan itu. Apakah puisi itu mengandung kesedihan, kemarahan, kegembiraan dan lain-lain.
Hanya saja dalam melakukan gerak geri itu jangan sampai berlebih-lebihan seperti wayang orang yang bergerak ke sana ke mari, sehingga mengelikan sekali. Berdeklamasi secara wajar, tertib dan mengesankan.
9. CARA MENILAI
Untuk mudahnya bagi seorang deklamator/deklamatris melengkapi dirinya dalam mempersiapkan kesempurnaan berdeklamasi, maka seorang calon harus mengetahui pula hal-hal yang menjadi aspek penilaian dalam suatu lomba deklamasi. Yang menjadi penilaian juri terhadap pembawa puisi atau deklamator meliputi bidang-bidang seperti berikut:
A. PENAMPILAN/PERFORMANCE
Sewaktu pembawa puisi itu muncul di atas pentas, haruslah diperhatikan lebih dahulu hal pakaian yang dikenakannya. Kerapian memakai pakaian, keserasian warna dan sebagainya akan menambahkan angka bagi si pembawa puisi. Tentu saja penilaian pakaian ini bukan terletak pada segi mewah tidaknya pakaian itu, tetapi dalam hal kepantasan serta keserasiannya. Kerana itu, perhatikanlah pakaian lebih dahulu sebelum tampil di atas pentas. Hindarikan diri dari kecerobohan serta ketidakrapian berdandan.
B. INTONASI/TEKANAN KATA DEMI KATA
Baris demi baris dalam puisi, sudah tentu tidak sama cara memberikan tekanannya. Ini bergantung kepada kesanggupan si pembaca puisi dan menafsirkan tiap-tiap kata dalam hubungannya dengan kata lainnya. Sehingga ia menimbulkan suatu pengungkapan isi kalimat yang tepat. Kesanggupan si pembaca puisi memberikan tekanan-tekanan yang sesuai pada tiap kata yang menciptakan lagi kalimat pada baris-baris puisi, akan memudahkan mencapai angka tertinggi dalam segi intonasi.
C. EKSPRESI/KESAN WAJAH
Kemampuan si pembaca puisi dalam menemukan arti dan tafsiran yang tepat dari kata demi kata pada tiap baris kemudian pada kelompok bait demi bait puisi akan terlihat pada kesan air muka atau wajahnya sendiri. Ada kalanya seorang pembawa puisi tidak menghayati isi dan jiwa tiap baris puisi dalam sebuah bait, sehingga antara kalimat yang diucapkan dan airmuka yang diperlihatkan tampak saling bertentangan.
Jadi, penghayatan itu sangat penting dan ia harus dipancarkan pada sinar wajah si pembawa puisi. Misalnya sebuah bait dalam puisi yang bernada sedih haruslah digambarkan oleh si pembaca puisi itu melalui air mukanya yang sedih dan bermuram durja.
D. APRESIASI/PENGERTIAN PUISI
Seorang pembaca puisi akan dinilai mempunyai pengertian terhadap sesuatu puisi, manakala ia sanggup mengucapkan kata demi kata pada tiap baris puisi disertai kesan yang terlihat pada air mukanya. Jika tidak berhasil, dikatakannya si pembaca puisi itu belum mempunyai apresiasi atau apresiasinya terhadap puisi itu agak kurang. Dalam istilah umumnya apresiasi diterjemah lebih jauh lagi sebagai penghayatan.
Seorang pendeklamator yang baik/ia harus menghayati makna dan isi puisi yang akan dideklamasikan dan tanpa menghayatinya, maka sudah tentu persembahannya bakal hambar, lesu dan tak bertenaga.
E. MIMIK/ACTION
Mimik atau action dalam sebuah deklamasi puisi sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan suasana pembacaan puisi. Seorang pembawa puisi yang berhasil ia akan mengemukan sesuatu action atau mimik itu sesuai dengan perkembangan kata demi kata dalam tiap baris dan tidak bertentangan dengan jiwa dan isi kata-kata kalimat dalam puisi.
Terjadinya kontradiksi antara apresiasi dan action menimbulkan kesan yang mungkin bisa menjadi bahan tertawaan penonton. Hal ini harus dipelajari sebaik-baiknya oleh si pembawa puisi. Tanpa hal itu, ia tak mungkin bisa mendapatkan angka terbaik dalam pembawaan puisi.
Sebagi contoh: ketika si pembawa sajak menyebut “dilangit tinggi ada bulan” tetapi mimik kedua belah tangan menjurus ke bumi, Hal ini akan menimbulkan bahan tertawaan bagi penonton, mana mungkin ada bulan di bumi, tentu hal itu tidak mungkin sama sekali. Betapapun bulan selalu ada di langit. Inilah yang dimaksud betapa pentingnya pembawa sajak menguasai apresiasi puisi, sehingga dapat menciptakan mimik yang sesuai dengan keadaan isi dan jiwa puisi itu.
F. TATATERTIB
Untuk menambahkan lebih sempurna lagi bagi pengetahuan seorang deklamator atau deklamatris, maka dibawah ini kita kemukakan beberapa tata tertib berdekmalasi:
F.1 Berdirilah baik-baik di atas pentas yang telah tersedia
F.2 Pakaian harus menimbulkan kesan yang menarik dan menyenangkan
F.3 Menghadap kepada penonton, memandang ke sekeliling dengan airmuka yang berseri-seri, lalu memberi salam kepada hadirin dengan hormat, dengan jalan menganggukkan kepala.
F.4 Bacalah judul puisi dan sebut nama penulisnya dengan suara yang jelas/tepat dengan nada suara yang wajar
F.5 Berhenti beberapa detik, menyiapkan nafas, lalu mulailah pembacaan deklamasi itu sebaris demi sebaris, bait demi bait.
F.6 Selama pembacaan puisi, perhatian harus tercurah kepada puisi itu sendiri dan jangan tergoda oleh hiruk pikuk suara atau bunyi lain terutama sekali penonton.
F.7 Ketika pembacaan puisi itu selesai, berhentilah beberapa saat, melepaskan nafas, lalu menghormati penonton dan kepada para hakim.
F.8 Biasakanlah dengan sikap yang tenang dan wajar ketika meninggalkan pentas dan tidak usah tergesa-gesa
Deklamasi berasal dari bahasa Latin yang maksudnya declamare atau declaim yang membawa makna membaca sesuatu hasil sastera yang berbentuk puisi dengan lagu atau gerak tubuh sebagai alat bantu. Gerak yang dimaksudkan ialah gerak alat bantu yang puitis, yang seirama dengan isi bacaan.
Umumnya memang deklamasi berkait rapat dengan puisi, akan tetapi membaca sebuah cerpen dengan lagu atau gerak tubuh juga bisa dikatakan mendeklamasi. Mendeklamasikan puisi atau cerpen bermakna membaca, tetapi membaca tidak sama dengan maksud mendeklamasi. Maksudnya di sini bahwa apapun pengertian membaca tentunya jauh berbeda dengan maksud deklamasi.
2. MAKNA KATA DEKLAMASI
Sudah jelas deklamasi itu berasal dari bahasa asing, jadi maknanya ia bukan kata asli Indonesia. Memang keadaan semacam ini sering berlaku di Indonesia, misalnya kata neraka, izin, zaman, ajal, karam dan lain-lain berasal dari bahasa Arab, sedang tauco, tauge berasal dari bahasa Tionghua. Manakala dastar, kenduri, kelasi berasal dari bahasa Persi. Lampu, mesin, koki, repot dari bahasa Belanda, manakala pensil, botol berasal dari bahasa Inggris dan demikianlah halnya deklamasi berasal dari bahasa Latin.
Di Indonesia perkataan deklamasi sudah ada sebelum tahun 1950-an. Deklamasi artinya membawa puisi-puisi, sedang orang yang melakukan deklamasi itu disebut “Deklamator” untuk lelaki dan “Deklamatris” untuk perempuan.
Apa bedanya deklamasi dan nyanyi? Menyanyi ialah melagukan suatu nyanyian dengan menggunakan not-not do-re-mi atau not balok, sedang deklamasi ialah membawakan pantun-pantun, syair, puisi atau sajak dengan menggunakan irama dan gaya yang baik. Disamping itu kita mengenal pula: menari, melukis, memahat, sandiwara dan lain-lain. Semuanya itu mempunyai cara-cara dan aturannya sendiri-sendiri.
3. BAHAN YANG DIDEKLAMASIKAN
Tentu saja tidak semua pantun, sajak atau puisi dapat dideklamasikan, malah cerpen dan novel juga boleh dideklamasikan/soalnya kita harus memilih mana sajak, puisi, pantun-pantun yang baik dan menarik untuk dideklamasikan.
4. CARA BERDEKLAMASI
Seperti telah dijelaskan bahawa berdeklamasi itu membawakan pantun, syair dan sajak atau puisi. Kemudian apakah cukup hanya asal membawakan saja? Tentu tidak! Berdeklamasi, selain kita mengucapkan sesuatu, haruslah pula memenuhi syarat-syarat lainnya. Apakah syarat-syarat itu? Sebelum kita berdeklamasi, kita harus memilih dulu pantun, syair, sajak apa, yang rasanya baik untuk dideklamasikan. Terserah kepada keinginan masing-masing.
Yang penting pilihlah sajak atau puisi, pantun atau syair yang memiliki isi yang baik dan bentuk yang indah dideklamasikan. Mengenai hal isi tentunya dapat minta nasihat, petunjuk dan bimbingan dari mereka yang lebih berpengalaman dan berpengetahuan atau ahli dalam bidang deklamasi.
Kalau kita sudah memilih sebuah puisi misalnya, tentu saja boleh lebih dari satu. Hal ini sering terjadi dalam lomba-lomba yang menyiapkan puisi wajib dan puisi pilihan. Nah, sesudah itu, lalu apa lagi yang harus kita perbuat? Maka tidak boleh tidak harus mentafsirnya terlebih dahulu.
5. MENAFSIR PUISI
Apakah puisi yang kita pilih itu berunsur kepahlawanan, keberanian, kesedihan, kemarahan, kesenangan, pujian dan lain-lain? Kalau puisi yang kita pilih itu mengandung kepahlawanan, keberanian dan kegagahan, maka kita pun harus mendeklamasikan puisi tersebut dengan perasaan dan laku perbuatan, yang menunjukkan seorang pahlawan, seorang yang gagah berani. Kita harus dapat melukiskan kepada orang lain, bagaimana kehebatan dan kegagahan kapal udara itu. Bagaimana harus mengucapkan kata-kata yang seram dan menakutkan.
Sebaliknya kalau saja puisi yang kita pilih itu mengadung kesedihan, sewaktu kita berdeklamasi haruslah betul-betul dalam suasana yang sedih dan memilukan, bahkan harus bisa membuat orang menangis bagi orang yang mendengar dan melihat kita sedih, ketika dideklamasikan menjadi sebuah puisi yang gembira, bersukaria atau sebaliknya. Tentu saja hal-hal seperti itu harus dijaga benar-benar. Karena itu, harus berhati-hati, teliti, tenang dan sungguh-sungguh dalam menafsir sebuah puisi.
Bacalah seluruh puisi itu berulang-ulang sampai kita mengerti betul apa-apa yang dikandung dan dimaksud oleh puisi tersebut. Juga kata-kata yang sukar dan tanda-tanda baca yang kurang jelas harus dipahami benar-benar, Jika sudah dimengerti dan diselami isi puisi itu, barulah kita meningkat ke persoalan yang lebih lanjut.
6. MEMPELAJARI ISI UNTUK MENDEKLAMASI PUISI
Cara mengucapkan puisi itu tidak boleh seenaknya saja, tapi harus tunduk kepada aturan-aturannya: di mana harus ditekankan atau dipercepatkan, di mana harus dikeraskan, harus berhenti, di mana harus dilambatkan atau dilunakkan, di mana harus diucapkan biasa, dan sebagainya. Jadi, bila kita mendeklamasikan puisi itu harus supaya menarik, maka harus dipakai tanda-tanda tersendiri:
—— Diucapkan biasa saja
/ Berhenti sebentar untuk bernafas/biasanya pada koma atau di tengah baris
// Berhenti agak lama/biasanya koma di akhir baris yang masih berhubungan artinya dengan baris berikutnya
/// Berhenti lama sekali biasanya pada titik baris terakhir atau pada penghabisan puisi
^ Suara perlahan sekali seperti berbisik
^^ Suara perlahan sahaja
^^^ Suara keras sekali seperti berteriak
V Tekanan kata pendek sekali
VV Tekanan kata agak pendek
VVV Tekan kata agak panjang
VVVV Tekan kata agak panjang sekali
____/ Tekanan suara meninggi
____ Tekanan suara agak merendah \
Cara meletakkan tanda-tanda tersebut pada setiap kata masing-masing orang berbeda tergantung kepada kemahuannya sendiri-sendiri. Dari sinilah kita dapat menilai: siapa orang yang mahir dan pandai berdeklamasi.
Demikianlah, setelah tanda-tanda itu kita letakkan dengan baik dan dalam meletakkannya jangan asal meletakkan saja, tapi harus memakai perasaan dan pertimbangan, seperti halnya kalau kita membaca berita: ada koma, ada titik, tanda-tandanya, titik koma dan lain-lain.
Kalau tanda-tanda itu sudah diletakkan dengan baik, barulah kita baca puisi tersebut berulang-ulang sesuai dengan irama dan aturan tanda itu. Dengan sendirinya kalau kita sudah lancar benar, tekanan-tekanan, irama-irama dan gayanya takkan terlupa lagi selama kita berdeklamasi.
7. PUISI HARUS DIHAFAL
Mendeklamasi itu ialah membawakan puisi yang dihafal. Memang ada juga orang berdeklamasi puisi di atas kertas saja. Cara seperti itu kurang enak kecuali jika untuk siaran pembacaan puisi di radio atau rekaman. Tetapi deklamasi itu selalu saja didengar dan ditonton orang. Mana mungkin para penonton akan senang, melihat kita berdeklamasi kalau muka kita tertunduk melulu terus menerus kala mendeklamasikan puisi itu. Tentu saja membosankan bukan?
Makanya sebaik mungkin deklamator harus menghafal puisi yang mahu dideklamasi itu. Caranya ulangilah puisi itu berkali-kali tanpa mempergunakan teks, sebab jika tidak demikian di saat kita telah naik pentas, kata-kata dalam puisi itu tak teringat atau terputus-putus.
Betapa lucunya seorang deklamator, ketika dengan gaya yang sudah cukup menarik di atas panggung, di muka penonton yang ramai, tiba-tiba ia lupa pada kalimat-kalimat dalam puisi. Ia seperti terhenti, terpukau, mau bersuara tak tentu apa yang harus diucapkan. Mau mengingat-ingat secara khusuk terlalu lama. Menyaksikan keadaan demikian itu sudah tentu para penonton akan kecewa. Bagi sideklamator sendiri akan mendapat malu. Oleh kerana itu dihafalkanlah puisi itu sebaik-baiknya sampai terasa lancar sekali. Setelah dirasakan yakin, bahawa sebuah puisi telah sanggup dibaca di luar kepala, barulah berlatih mempergunakan mimik atau “action”
Cara menghafal tentu saja dengan cara mengingatnya sebaris demi sebaris dan kemudian serangkap demi serangkap disamping berusaha untuk mengerti setiap kata yang dicatatkan karena hal itu menjadi jelasnya maksud dan tujuan isi puisi itu.
8. DEKLAMASI BUKAN UCAPAN SEMATA
Deklamasi bukan ucapan semata. Deklamasi harus disertai gerak-gerak muka, kalau perlu dengan gerak seluruh anggota badan atau seluruh tubuh, tetapi yang paling penting sekali ialah gerak-gerak muka. Dengan ucapan-ucapan yang baik dan teratur, diserta dengan gerak geri muka nescaya akan bertambah menarik, apa lagi kalau ditonton. Dari gerak geri muka itu penonton dapat merasakan dan menyaksikan mengertikan puisi yang dideklamasikan itu. Apakah puisi itu mengandung kesedihan, kemarahan, kegembiraan dan lain-lain.
Hanya saja dalam melakukan gerak geri itu jangan sampai berlebih-lebihan seperti wayang orang yang bergerak ke sana ke mari, sehingga mengelikan sekali. Berdeklamasi secara wajar, tertib dan mengesankan.
9. CARA MENILAI
Untuk mudahnya bagi seorang deklamator/deklamatris melengkapi dirinya dalam mempersiapkan kesempurnaan berdeklamasi, maka seorang calon harus mengetahui pula hal-hal yang menjadi aspek penilaian dalam suatu lomba deklamasi. Yang menjadi penilaian juri terhadap pembawa puisi atau deklamator meliputi bidang-bidang seperti berikut:
A. PENAMPILAN/PERFORMANCE
Sewaktu pembawa puisi itu muncul di atas pentas, haruslah diperhatikan lebih dahulu hal pakaian yang dikenakannya. Kerapian memakai pakaian, keserasian warna dan sebagainya akan menambahkan angka bagi si pembawa puisi. Tentu saja penilaian pakaian ini bukan terletak pada segi mewah tidaknya pakaian itu, tetapi dalam hal kepantasan serta keserasiannya. Kerana itu, perhatikanlah pakaian lebih dahulu sebelum tampil di atas pentas. Hindarikan diri dari kecerobohan serta ketidakrapian berdandan.
B. INTONASI/TEKANAN KATA DEMI KATA
Baris demi baris dalam puisi, sudah tentu tidak sama cara memberikan tekanannya. Ini bergantung kepada kesanggupan si pembaca puisi dan menafsirkan tiap-tiap kata dalam hubungannya dengan kata lainnya. Sehingga ia menimbulkan suatu pengungkapan isi kalimat yang tepat. Kesanggupan si pembaca puisi memberikan tekanan-tekanan yang sesuai pada tiap kata yang menciptakan lagi kalimat pada baris-baris puisi, akan memudahkan mencapai angka tertinggi dalam segi intonasi.
C. EKSPRESI/KESAN WAJAH
Kemampuan si pembaca puisi dalam menemukan arti dan tafsiran yang tepat dari kata demi kata pada tiap baris kemudian pada kelompok bait demi bait puisi akan terlihat pada kesan air muka atau wajahnya sendiri. Ada kalanya seorang pembawa puisi tidak menghayati isi dan jiwa tiap baris puisi dalam sebuah bait, sehingga antara kalimat yang diucapkan dan airmuka yang diperlihatkan tampak saling bertentangan.
Jadi, penghayatan itu sangat penting dan ia harus dipancarkan pada sinar wajah si pembawa puisi. Misalnya sebuah bait dalam puisi yang bernada sedih haruslah digambarkan oleh si pembaca puisi itu melalui air mukanya yang sedih dan bermuram durja.
D. APRESIASI/PENGERTIAN PUISI
Seorang pembaca puisi akan dinilai mempunyai pengertian terhadap sesuatu puisi, manakala ia sanggup mengucapkan kata demi kata pada tiap baris puisi disertai kesan yang terlihat pada air mukanya. Jika tidak berhasil, dikatakannya si pembaca puisi itu belum mempunyai apresiasi atau apresiasinya terhadap puisi itu agak kurang. Dalam istilah umumnya apresiasi diterjemah lebih jauh lagi sebagai penghayatan.
Seorang pendeklamator yang baik/ia harus menghayati makna dan isi puisi yang akan dideklamasikan dan tanpa menghayatinya, maka sudah tentu persembahannya bakal hambar, lesu dan tak bertenaga.
E. MIMIK/ACTION
Mimik atau action dalam sebuah deklamasi puisi sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan suasana pembacaan puisi. Seorang pembawa puisi yang berhasil ia akan mengemukan sesuatu action atau mimik itu sesuai dengan perkembangan kata demi kata dalam tiap baris dan tidak bertentangan dengan jiwa dan isi kata-kata kalimat dalam puisi.
Terjadinya kontradiksi antara apresiasi dan action menimbulkan kesan yang mungkin bisa menjadi bahan tertawaan penonton. Hal ini harus dipelajari sebaik-baiknya oleh si pembawa puisi. Tanpa hal itu, ia tak mungkin bisa mendapatkan angka terbaik dalam pembawaan puisi.
Sebagi contoh: ketika si pembawa sajak menyebut “dilangit tinggi ada bulan” tetapi mimik kedua belah tangan menjurus ke bumi, Hal ini akan menimbulkan bahan tertawaan bagi penonton, mana mungkin ada bulan di bumi, tentu hal itu tidak mungkin sama sekali. Betapapun bulan selalu ada di langit. Inilah yang dimaksud betapa pentingnya pembawa sajak menguasai apresiasi puisi, sehingga dapat menciptakan mimik yang sesuai dengan keadaan isi dan jiwa puisi itu.
F. TATATERTIB
Untuk menambahkan lebih sempurna lagi bagi pengetahuan seorang deklamator atau deklamatris, maka dibawah ini kita kemukakan beberapa tata tertib berdekmalasi:
F.1 Berdirilah baik-baik di atas pentas yang telah tersedia
F.2 Pakaian harus menimbulkan kesan yang menarik dan menyenangkan
F.3 Menghadap kepada penonton, memandang ke sekeliling dengan airmuka yang berseri-seri, lalu memberi salam kepada hadirin dengan hormat, dengan jalan menganggukkan kepala.
F.4 Bacalah judul puisi dan sebut nama penulisnya dengan suara yang jelas/tepat dengan nada suara yang wajar
F.5 Berhenti beberapa detik, menyiapkan nafas, lalu mulailah pembacaan deklamasi itu sebaris demi sebaris, bait demi bait.
F.6 Selama pembacaan puisi, perhatian harus tercurah kepada puisi itu sendiri dan jangan tergoda oleh hiruk pikuk suara atau bunyi lain terutama sekali penonton.
F.7 Ketika pembacaan puisi itu selesai, berhentilah beberapa saat, melepaskan nafas, lalu menghormati penonton dan kepada para hakim.
F.8 Biasakanlah dengan sikap yang tenang dan wajar ketika meninggalkan pentas dan tidak usah tergesa-gesa
PUISI-PUISI KU
PERJALANAN CINTA SANG MATAHARI11/02/2011
Sekejap lagi hari ini kan berlalu
Tapi aku tetap mencintaimu
Seperti matahari yang ingin mencumbu rembulan
Dalam taburan bintang gemintang
Meski bulan hanya meninggalkan senyum
Yang tak pernah dimengerti olehnya
Aku memang terlalu panas untuk kau dekati
Lagi pula seperti apa nantinya
Pastilah Gerhana tak terelakan
Kegelapanpun akan menimpa
Dan langit pasti akan kehilangan muka
Karena pelangi kan terus menangis
Sedangkan rembulan yang dicintai dia kan tertawa geli
Salahkah bila Aku mencintaimu wahai Rembulan ?
Oleh : Aboe Akbar Abi
Hujan !11/02/2011
ketika cahaya telah pudar merona
sang megapun mulai bersembunyi dibawah kelam
hitam pekat berayun didalamnya
bintik-bintik air mulai berjatuhan
lama kelamaan semakin membesar
dan basahlah seluruh tubuh bumi ini
Kau yang ku nantikan akhirnya datang juga
telah lama aku menunggumu dalam kekeringan
lihatlah lumbung-lumbung air telah terkuras habis
aku hampir mati kehausan menunggu damba hatimu
sungguh kau dianugrahkan untuk kehidupan
apa jadinya hidup ini tanpa mu
Aboe Akbar Abi
sepak bola junior M Izmi
MOH. IZMI FADILAH AKBAR
SSB GARUT MUDA PANGATIKAN GARUT
Langganan:
Postingan (Atom)