oleh Aboe Akbar Abi pada 5 November 2011 jam 18:48
Perbincangan di seputar kesetiakawanan atau yang juga dikenal dalam bahasa Ingrris dengan sebutan solidarity, hingga kini menjadi sebuah diskusi yang masih menarik, dan ditengarai akan selalu menarik perhatian setiap anggota masyarakat, karena artipentingnya pranata social ini sebagai pilar penyangga bangunan harmoni sosial, di mana pun kapan pun dan bagi siapa pun
Memang tidak mudah untuk mendefinisikan makna kesetiakawanan sosial dalam konteks yang beragam. Tetapi, untuk sekadar memetakan pengertian esensialnya, kesetiakawanan adalah sebuah pranata sosial yang di dalamnya terkandung ciri-ciri penting, yaitu: kepedulian, rasa sepenanggungan, kasih sayang, kebersamaan dan ketulusan.[1]
Sejumlah tantangan kompleks yang muncul-termasuk potensi konflik yang ditimbulkan oleh dorongan ego setiap manusia, yang pada saatnya bisa menjebak mereka menjadi manusia-manusia yang tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, karena menganggap yang terpenting adalah dirinya. Sedang orang lain baru dianggap (menjadi) menjadi penting karena berpotensi “menguntungkan” bagi dirinya.[2] Oleh karena itu, untuk membangun kesetiakawanan sosial, setiap orang, sebagai anggota mansyarakat, dituntut untuk memiliki kepedulian dan ketenggangrasaan terhadap orang lain, dan bahkan menganggap orang lain sebagai entitas yang penting, sepenting dirinya.[3]
Dalam merespon wacana kesetikawanan (sosial) tersebut, kita (umat Islam) bisa mengajak dialog dengan al-Quran, sebagaimana nasihat Ali bin Abi Thalib terhadap para sahabatnya: istanthiq al-Quran, yang ternyata menurut M. Quraish Shihab[4] tersirat dalam gagasan “ukhuwwah”.[5]
Kajian mengenai ukhuwah (Ar.: Ukhuwwah), dalam pandangan M. Quraish Shibab, menjadi dianggap memiliki arti penting dewasa ini, karena adanya fenomena yang sangat meresahkan: sinyal-sinyal menuju “disintegrasi sosial”. Banyak orang mempertanyakan: “sejaumana peran Islam di dalamnya?” Di sini, Islam menawarkan gagasan “ukhuwah Islamiyah”. Bukan sekadar penjelasan normatif, tetapi sampai pada solusi atas problem sosial yang sudah pernah, sedang dan akan dialami oleh umat manusia secara kongkret.
Kata Ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan sebagai “persaudaraan”, terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “memperhatikan”. Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara.
Boleh jadi, perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya persamaan di antara pihak-pihak yang bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya ukhuwah diartikan sebagai “setiap persamaan dan keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari segi ibu, bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”. Secara majazi kata ukhuwah (persaudaraan) mencakup persamaan salah satu unsur seperti suku, agama, profesi, dan perasaan. Dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata akh yang membentuk kata ukhuwwah digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”.
Ukhuwah dalam al-Quran
Dalam al-Quran, kata akh (saudara) dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 52 (lima puluh dua) kali. Kata ini dapat berarti:
Saudara kandung atau saudara seketurunan, seperti pada ayat yang berbicara tentang kewarisan, atau keharaman mengawini orang-orang tertentu, misalnya:[6]
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu[7]; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2. Saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga, seperti (redaksi) doa Nabi Musa a.s. yang diabadikan al-Quran:[8]
وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي هَارُونَ أَخِي
3. Saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak seagama seperti dalam firman-Nya,[9]
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Seperti telah diketahui kaum ‘Ad membangkang terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Hud, sehingga Allah memusnahkan mereka (baca antara lain:[10]
وَأَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوا بِرِيحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَة سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَة ٍ
4. Saudara semasyarakat, walaupun berselisih paham.[11]
إِنَّ هَذَا أَخِي لَهُ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً وَلِيَ نَعْجَةٌ وَاحِدَةٌ فَقَالَ أَكْفِلْنِيهَا وَعَزَّنِي فِي الْخِطَابِ
5. Persaudaraan seagama.[12]
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dari pembahasana kebahasaan ini kita temukan lagi dua macam ragama persaudaraan, yang walaupun secara tegas tidak disebut oleh al-Quran sebagai “persaudaraan”, namun substansinya adalah persaudaraan. Kedua hal tersebut adalah:
1. Saudara sesama manusia (ukhuwwah insâniyyah).
Al-Quran menyatakan bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah dari seorang lelaki dan seorang perempuan (Adam dan Hawa)[13]
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
2. Saudara sesama makhluk dan seketundukan kepada Allah.
Di atas telah dijelaskan bahwa dari segi bahasa kata akh (saudara) digunakan pada berbagai bentuk persamaan. Dari sini 1ahir persaudaraan kesemakhlukan. Al-Quran secara tegas menyatakan:[14]
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُون
Ragam Ukhuwah Islamiyah
Ukhuwah Islamiyah, dalam pandangan M. Quraish Shihab, lebih tepat dimaknai sebagai ukhuwah yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam. Telah dikemukakan pula beberapa ayat yang mengisyaratkan bentuk atau jenis “persaudaraan” yang disinggung oleh al-Quran. Semuanya dapat disimpulkan bahwa kitab suci ini memperkenalkan paling tidak empat macam persaudaraan:
Ukhuwwah ‘ubûdiyyah atau saudara kesemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah.
Ukhuwwah insâniyyah (basyariyyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari seorang ayah dan ibu.
Ukhuwwah wathaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan.
Ukhuwwah fi dîn al-Islâm, persaudaraan antarsesama Muslim.
Makna dan macam-macam persaudaraan tersebut di atas adalah berdasarkan pemahaman terhadap teks ayat-ayat al-Quran. Ukhuwah yang secara jelas dinyatakan oleh al-Quran adalah persaudaraan seagama Islam, dan persaudaraan yang jalinannya bukan karena agama. Ini tecermin dengan jelas dari pengamatan terhadap penggunaan bentuk jamak kata tersebut dalam al-Quran, yang menunjukkan dua arti kata akh, yaitu:
Pertama, ikhwan, yang biasanya digunakan untuk persaudaraan tidak sekandung. Kata ini ditemukan sebanyak 22 (dua puluh dua) kali sebagian disertakan dengan kata ad-dîn (agama) seperti dalam firmanNya.[15]
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Apabila mereka bertobat, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, mereka adalah saudara-saudara kamu seagama.
Sedangkan sebagian lain tidak dirangkaikan dengan kata ad-dîn (agama) seperti:[16]
فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلَاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Teks ayat-ayat tersebut secara tegas dan nyata menunjukkan bahwa al-Quran memperkenalkan persaudaraan seagama dan persaudaraan tidak seagama.
Bentuk jamak kedua yang digunakan oleh al-Quran adalah ikhwah, terdapat sebanyak 7 (tujuh) kali dan digunakan untuk makna persaudaraan seketurunan, kecuali satu ayat, yaitu,[17]
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Menarik untuk dipertanyakan, mengapa al-Quran menggunakan kata ikhwah dalam arti persaudaraan seketurunan ketika berbicara tentang persaudaraan sesama Muslim, atau dengan kata lain, mengapa al-Quran tidak menggunakan kata ikhwan, padahal kata ini digunakan untuk makna persaudaraan tidak seketurunan? Bukankah lebih tepat menggunakan kata terakhir, jika melihat kenyataan bahwa saudara-saudara seiman terdiri dari banyak bangsa dan suku, yang tentunya tidak seketurunan?
Menurut M. Quraish Shihab, hal ini bertujuan untuk mempertegas dan mempererat jalinan hubungan antar sesama Muslim, seakan-akan hubungan tersebut bukan saja dijalin oleh keimanan (yang di dalam ayat itu ditunjukkan oleh kata al-mu’minûn), melainkan juga “seakan-akan” dijalin oleh persaudaraan seketurunan (yang ditunjukkan oleh kata ikhwah). Sehingga merupakan kewajiban ganda bagi umat beriman agar selalu menjalin hubungan persaudaraan yang harmonis di antara mereka, dan tidak satu pun yang dapat dijadikan dalih untuk melahirkan keretakan hubungan.
Faktor Penunjang Persaudaraan
Faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas ataupun sempit adalah persamaan. Semakin banyak persamaan akan semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan rasa dan cita merupakan faktor dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan hakiki, dan pada akhirnya menjadikan seseorang merasakan derita saudaranya, mengulurkan tangan sebelum diminta, serta memperlakukan saudaranya bukan atas dasar “take and give,” tetapi justeru “mengutamakan orang lain atas diri mereka”, walau diri mereka sendiri kekurangan. Sebagaimana firman Allah:[18]
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan nyaman pada saat berada di antara sesamanya, dan dorongan kebutuhan ekonomi merupakan faktor-faktor penunjang yang akan melahirkan rasa persaudaraan.
Islam datang menekankan hal-hal tersebut, dan menganjurkan mencari titik-singgung dan titik-temu persaudaraan. Jangankan terhadap sesama Muslim, terhadap non-Muslim pun demikian. Sebagaimana firman Allah berikut:[19]
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
dan[20]
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ – قُلْ لَا تُسْأَلُونَ عَمَّا أَجْرَمْنَا وَلَا نُسْأَلُ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Petunjuk al-Quran Untuk Memantapkan Ukhuwah
Guna memantapkan ukhuwah tersebut, pertama kali al-Quran menggarisbawahi bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan ini. Selain perbedaan tersebut merupakan kehendak Ilahi, juga demi kelestarian hidup, sekaligus demi mencapai tujuan kehidupan makhluk di pentas bumi.[21]
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat, niscaya diciptakan-Nya manusia tanpa akal budi seperti binatang atau benda-benda tak bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilah dan memilih, karena hanya dengan demikian seluruhnya akan menjadi satu pendapat.
Dari sini, seorang Muslim dapat memahami adanya pandangan atau bahkan pendapat yang berbeda dengan pandangan agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada di luar kehendak Ilahi. Kalaupun nalarnya tidak dapat memahami kenapa Tuhan berbuat demikian, kenyataan yang diakui Tuhan itu tidak akan menggelisahkan atau mengantarkannya “mati”, atau memaksa orang lain secara halus maupun kasar agar menganut pandangan agamanya,[22]
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَى ءَاثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Untuk menjamin terciptanya persaudaraan dimaksud, Allah Swt. memberikan beberapa petunjuk sesuai dengan jenis persaudaraan yang diperintahkan. Pada kesempatan ini, akan dikemukakan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan persaudaraan secara umum dan persaudaraan seagama Islam.
1. Untuk memantapkan persaudaraan pada arti yang umum, Islam memperkenalkan konsep khalifah. Manusia diangkat oleh Allah sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut manusia untuk memelihara, membimbing, dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan tujuan penciptaannya. Karena itu, Nabi Muhammad Saw. melarang memetik buah sebelum siap untuk dimanfaatkan, memetik kembang sebelum mekar, atau menyembelih binatang yang terlalu kecil. Nabi Muhammad Saw. juga mengajarkan agar selalu bersikap bersahabat dengan segala sesuatu sekalipun terhadap benda tak bernyawa. Al-Quran tidak mengenalkan istilah “penaklukan alam”, karena secara tegas al-Quran menyatakan bahwa yang menaklukkan alam untuk manusia adalah Allah,[23]
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Secara tegas pula seorang Muslim diajar untuk mengakui bahwa ia tidak mempunyai kekuasaan untuk menundukkan sesuatu kecuali atas penundukan Ilahi. Pada saat berkendaraan seorang Muslim dianjurkan membaca, Mahasuci Allah yang menundukkan ini buat kami, sedang kami sendiri tidak mempunyai kesanggupan menundukkannya,[24]
لِتَسْتَوُوا عَلَى ظُهُورِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ إِذَا اسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ وَتَقُولُوا سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ
2. Untuk mewujudkan persaudaraan antarpemeluk agama, Islam memperkenalkan ajaran,[25]
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
dan:[26]
فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ ءَامَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ
Al-Quran juga menganjurkan agar mencari titik-singgung dan titik-temu antarpemeluk agama. Al-Quran menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain, dan tidak perlu saling menyalahkan.[27]
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Bahkan al-Quran mengajarkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan umatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain, setelah “kalimah sawa’ (titik-temu)” tidak dicapai:[28]
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ(24) قُلْ لَا تُسْأَلُونَ عَمَّا أَجْرَمْنَا وَلَا نُسْأَلُ عَمَّا تَعْمَلُونَ- قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ
Jalinan persaudaraan antara seorang Muslim dan non-Muslim sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama pihak lain menghormati hak-hak umat Islam.
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Ketika sebagian sahabat Nabi memutuskan bantuan keuangan/material kepada sebagian penganut agama lain dengan alasan bahwa mereka bukan Muslim, al-Quran menegur mereka dengan firman-Nya:[29]
لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
3. Untuk memantapkan persaudaraan antarsesama Muslim, al-Quran pertama kali menggarisbawahi perlunya menghindari segala macam sikap lahir dan batin yang dapat mengeruhkan hubungan di antara mereka.
Setelah menyatakan bahwa orang-orang yang beriman bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan ishlâh (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman di antara dua orang (kelompok) kaum Muslim, al-Quran memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap Muslim melakukannya:[30]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Selanjutnya ayat di atas memerintahkan orang yang beriman (mu’min; pl.: mu’minûn) untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan oleh al-Quran seperti memakan daging-saudara sendiri yang telah meninggal dunia.[31]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Menarik untuk diketengahkan, bahwa al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. tidak merumuskan definisi persaudaraan (ukhuwwah), tetapi yang ditempuhnya adalah memberikan contoh-contoh praktis. Pada umumnya contoh-contoh tersebut berkaitan dengan sikap kejiwaan, atau tecermin — misalnya — dalam hadis Nabi Saw. antara lain,[32]
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَنَافَسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
Semua itu wajar, karena sikap batiniahlah yang melahirkan sikap lahiriah. Demikian pula, bahwa sebagian dari redaksi ayat dan hadis yang berbicara tentang hal ini dikemukakan dengan bentuk larangan. Ini pun dimengerti bukan saja karena at-takhliyah (menyingkirkan yang jelek) harus didahulukan daripada at-tahliyah (menghiasi diri dengan kebaikan), melainkan juga karena “melarang sesuatu mengandung arti memerintahkan lawannya, demikian pula sebaliknya.”
Semua petunjuk al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang berbicara tentang interaksi antarmanusia pada akhirnya bertujuan untuk memantapkan ukhuwah. Perhatikan — misalnya — larangan melakukan transaksi yang bersifat batil,[33]
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Larangan riba,[34]
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Anjuran menulis utang-piutang,[35]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Larangan mengurangi atau melebihkan timbangan,[36]
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ(1) الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ(2) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ(3)
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,(1) (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,(2) dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.(3)” (QS al-Muthaffifîn [83]: 1-3), dan lain-lain.
Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, al-Quran secara tegas memerintahkan orang-orang yang beriman untuk merujuk Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnah). Tetapi seandainya terjadi perbedaan pemahaman al-Quran dan Sunnah itu, baik mengakibatkan perbedaan pengamalan maupun tidak, maka petunjuk al-Quran dalam hal ini adalah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Konsep-konsep Dasar Pemantapan Ukhuwah
Setelah mempelajari teks-teks keagamaan, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa para ulama mengenalkan tiga konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
a. Konsep tanawwu’ al-’ibâdah (keragaman cara beribadah).
Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktikkan Nabi Saw. dalam bidang pengamalan agama, yang mengantarkan kepada pengakuan akan kebenaran semua praktik keagamaan, selama semuanya itu merujuk kepada Rasulullah Saw. Anda tidak perlu meragukan pernyataan ini, karena dalam konsep yang diperkenalkan ini, agama tidak menggunakan pertanyaan: “Berapaka hasil 5 + 5?”, melainkan yang ditanyakan adalah, “Jumlah sepuluh itu merupakan hasil penambahan berapa tambah berapa?”
b. Konsep al-mukhti’u fî al-ijtihâd lahû ajr (Yang salah dalam berijtihad pun [menetapkan hukum] mendapat ganjaran).
Ini berarti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah Swt., walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya keliru. Hanya saja di sini perlu dicatat bahwa penentuan yang benar dan salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang Allah Swt. sendiri, yang baru akan diketahui pada hari kemudian. Sebagaimana perlu pula digarisbawahi, bahwa yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah memiliki otoritas keilmuan, yang disampaikannya setelah melakukan ijtihad (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum) setelah mempelajari dengan saksama dalil-dalil keagaman (al-Quran dan Sunnah).
c. Konsep lâ hukma lillâh qabla ijtihâd al-mujtahid (Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan oleh seorang mujtahid).
Ini berarti bahwa hasil ijtihad itulah yang merupakan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihadnya berbeda-beda. Sama halnya dengan gelas-gelas kosong, yang disodorkan oleh tuan rumah dengan berbagai ragam minuman yang tersedia. Tuan rumah mempersilakan masing-masing tamunya memilih minuman yang tersedia di atas meja dan mengisi gelasnya — penuh atau setengah — sesuai dengan selera dan kehendak masing-masing (selama yang dipilih itu berasal dari minuman yang tersedia di atas meja). Apa dan seberapa pun isinya, menjadi pilihan yang benar bagi masing-masing pengisi. Jangan mempersalahkan seseorang yang mengisi gelasnya dengan kopi, dan Anda pun tidak wajar dipersalahkan jika memilih setengah air jeruk yang disediakan oleh tuan rumah.
Memang al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan mutlak. Yang mutlak adalah Tuhan dan firman-firman-Nya, sedangkan interpretasi firman-firman itu, sedikit sekali yang bersifat pasti ataupun mutlak. Cara kita memahami al-Quran dan Sunnah Nabi berkaitan erat dengan banyak faktor, antara lain lingkungan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan tentu saja tingkat kecerdasan dan pemahaman masing-masing mujtahid.
Dari sini terlihat bahwa para ulama sering bersikap rendah hati dengan menyebutkan, “Pendapat kami benar, tetapi boleh jadi keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru, tetapi mungkin saja benar.” Berhadapan dengan teks-teks wahyu, mereka selalu menyadari bahwa sebagai manusia mereka memiliki keterbatasan, dan dengan demikian, tidak mungkin seseorang akan mampu menguasai atau memastikan bahwa interpretasinyalah yang paling benar.
Ukhuwah Dalam Praktik
Jika kita mengangkat salah satu ayat dalam bidang ukhuwah, agaknya salah satu ayat dalam surat al-Hujurât dapat dijadikan landasan pengamalan konsep ukhuwah Islamiyah. Ayat yang dimaksud adalah,[37]
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Kata ishlâh atau shalâh yang banyak sekali berulang dalam al-Quran, pada umumnya tidak dikaitkan dengan sikap kejiwaan, melainkan justeru digunakan dalam kaitannya dengan perbuatan nyata. Kata ishlâh hendaknya tidak hanya dipahami dalam arti mendamaikan antara dua orang (atau lebih) yang berselisih, melainkan harus dipahami sesuai makna semantiknya dengan memperhatikan penggunaan al-Quran terhadapnya.
Puluhan ayat berbicara tentang kewajiban melakukan shalâh dan ishlâh. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata shalâh diartikan sebagai antonim dari kata fasâd (kerusakan), yang juga dapat diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata ishlâh digunakan oleh al-Quran dalam dua bentuk: Pertama, ishlâh yang selalu membutuhkan objek; dan kedua, adalah shalâh yang digunakan sebagai bentuk kata sifat. Sehingga, shalâh dapat diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya hingga tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk menghadirkan nilai tersebut, dan hal yang dilakukannya itu dinamai ishlâh.
Jika kita menunjuk hadis, salah satu hadis yang populer di dalam bidang ukhuwah adalah sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar:[38]
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dari riwayat at-Tirmidzi dari Abu Hurairah, larangan di atas dilengkapi dengan,[39]
لَا يَخُونُهُ وَلَا يَكْذِبُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ
Dia tidak mengkhianatinya, tidak membohonginya, dan tidak pula meninggalkannya tanpa pertolongan.
Demikian terlihat, betapa ukhuwah Islamiyah mengantarkan manusia mencapai hasil-hasil kongkret dalam kehidupannya.
Untuk memantapkan ukhuwah Islamiyah, yang dibutuhkan bukan sekadar penjelasan segi-segi persamaan pandangan agama, atau sekadar toleransi mengenai perbedaan pandangan, melainkan yang lebih penting lagi adalah langkah-langkah bersama yang dilaksanakan oleh umat, sehingga seluruh umat merasakan nikmatnya.
Implementasi konsep ukhuwah (Islamiyah) dalam pandangan al-Quran memerlukan kesadaran setiap orang untuk bersinergi, dan tidak mungkin akan terwujud di ketika setiap orang – dalam bangunan sosial – menerjemahkannya dalam bentuk sikap anergis.
Manifestasi persaudaraan Islam ini telah dicontohkan dengan gemilang oleh Nabi dan para sahabatnya. Dalam bentuk saling menolong oleh siapa pun kepada siapa pun. Sebagai wujud kesaadaran untuk mengamalkan pesan moral al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, al-Maktabah al-Syâmilah, Ishdâr Tsânî, UEA: Shakhr, 2007.
http://www.media.isnet.org
http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=963
http://www.vitanouva.net/index.php?topic=1495.0
http://www.sejutablog.com/egoisme-penyebab-kerusakan-alam-lingkungan/
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan), 1992.
——, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati), 2002.
——,Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan), 2005.
[1] http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=963.
[2] http://www.vitanouva.net/index.php?topic=1495.0
[3] http://www.sejutablog.com/egoisme-penyebab-kerusakan-alam-lingkungan/
[4] Makalah ini sepenuhnya ditulis berdasarkan paparan yang telah dituangkan dalam ketiga judul buku oleh M. Quraish Shihab: Tafsir al-Mishbah, Membumikan al-Quran dan Wawasan al-Quran.
[5] Lebih lanjut lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati), 2002; Membumikan Al-Qur’an(Bandung: Mizan), 1992; Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan), 2005.
[6] QS an-Nisâ’ [4]: 23
[7] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
[8]QS Thâhâ [20]: 29-30
[9] QS al-A’râf [7]: 65
[10] QS al-Hâqqah [69]: 6-7
[11] QS Shâd [38]: 23
[12] QS al-Hujurât [49: 10
[13] QS al-Hujurât [49]: 13
[14] QS al-An’âm [6]: 38
[15] QS at-Taubah [9]: 11
[16] QS al-Baqarah [2]: 220
[17] QS a1-Hujurât [49]: 10
[18] QS al-Hasyr [59]: 9
[19] QS Âli ‘Imrân [3]: 64
[20] QS Saba’ [34): 24-25
[21] QS al-Mâidah [5]: 48
[22] QS al-Kahfi [18]: 6; (QS Yunus [10]: 99
[23] QS al-Jâtsiyah [45]: 13
[24] QS al-Zukhruf [43]: 13
[25] QS al-Kâfirûn [109]: 6
[26] QS Al-Syûrâ [42): 15
[27] QS Âli ‘Imrân [3]: 64
[28] QS Saba’ [34]: 24-26
[29] QS al-Baqarah [2]: 272
[30] QS al-Hujurât [49]: 11
[31] QS al-Hujurât [49]: 12
[32] (جامع الأصول في أحاديث الرسول – (ج 6 / ص 523)
[33] QS al-Baqarah [2]: 275
[34] QS al-Baqarah [2]: 275
[35] QS al-Baqarah [2]: 282
[36] QS al-Nisâ’ [4]: 59
[37] QS al-Hujurât [49]: 10
[38] الجمع بين الصحيحين البخاري ومسلم – ج 2 / ص 120
[39] سنن الترمذي – ج 4 / ص 325
Tidak ada komentar:
Posting Komentar