22 November 2011

Tafakur (Merenung) Sebagai Jalan Masuknya Hikmah



oleh Aboe Akbar Abi pada 4 November 2011 jam 14:21
Adalah akan jauh lebih baik, bila saudara-saudaraku menemukan kebenaran dari hasil perenungan sendiri daripada menerima suatu kebenaran dari orang lain (pepatah Barat mengatakan : “I hear I forget, I see I Know, I do I Understand” yang artinya kurang lebih “Aku Dengar Aku Lupakan, Aku Lihat Aku Mengetahui, Aku Melakukan Aku Pahami”.
Menerima kebenaran dan menemukan kebenaran adalah sesuatu yang berbeda. Menerima kebenaran cukuplah dengan bertaqliq atau ‘mengikut’, sedangkan menemukan kebenaran hanya akan diperoleh melalui perenungan demi perenungan yang mendalam.

Sudah menjadi sunatullah bahwa kebenaran yang ditemukan sendiri, ibarat mata air yang tak pernah kering; sedangkan kebenaran yang kita terima dari manusia, ibarat hujan di musim kemarau. Tentu saja yang dimaksud dengan kebenaran disini bukanlah kebenaran dalam konteks seperti dua tambah dua sama dengan empat, tetapi maksudnya adalah kebenaran yang sifatnya memberikan “pencerahan” bagi jiwa; misalnya saja. “perbuatan maksiat itu artinya sama dengan menanda tangani kontrak untuk tinggal di neraka”.

Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a. berkata :
“Janganlah kamu mengenal dan mengikuti kebenaran karena tokohnya; tetapi kenalilah kebenaran itu sendiri, niscaya kamu mengetahui siapa tokohnya”

“Allah menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahkan al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal” Qs. Al-Baqoroh :269

Nasihat Luqman Al Hakim kepada anaknya : “Wahai anakku, sesungguhnya hikmah itu mendudukkan orang-orang miskin di tempat para raja”
Raja sebagai gambaran orang yang tidak pernah susah. Orang miskin pun dapat merasakan bahagia bila memiliki banyak hikmah. Hikmah menggambarkan “pencerahan” jiwa, yaitu yang akan berfungsi mengendalikan ketentraman. Sebagai contoh orang yang jiwanya telah tercerahkan bahwa segala yang menimpanya pasti berasal dari keputusan Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang dan Maha Adil, maka niscaya ia tidak akan mudah goyah bila ditimpa musibah. Ia akan pasrah, ketentramannya pun tidak terusik.

Seperti halnya rezeki, maka hikmah inipun hanya diberikan Allah kepada orang-orang yang berusaha untuk mendapatkannya; yaitu yang mau menggunakan kemampuan AKAL dan RASA yang dimilikinya untuk bertafakur. Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a. berkata : “Tiada ilmu yang lebih baik daripada hasil tafakur”. Dan di dalam Al-Qur’an pun, ditemukan tidak kurang dari 130 kali perintah Allah untuk berfikir (antara lain pada surat Shaad:29, Adz-Dzariyaat:20-21, Yunus:24); serta kehinaan akan menimpa orang yang tidak mau berfikir (Al-Furqan:44, Al-A’raaf:179, Al-Mulk:10).

Tafakur sudah terbukti merupakan pelita hati, karena itu apabila ia tidak dihidupkan, maka hati akan gelap gulita. Orang yang serius merenungi tentang apa-apa yang telah Allah ciptakan ; atau apa pun tentang sakratulmaut, siksa kubur, maupun kesulitan-kesulitan yang akan dijumpai di hari kiamat kelak, niscaya akan mendapatkan pencerahan jiwa. Demikian besar keutamaan bertafakur, sehingga Rasulullah pun pernah bersabda: “Bertafakur sejenak lebih baik daripada ibadah satu tahun”. Mengapa Rasulullah berwasiat demikian?, sebagaimana peringatan tegas Allah dalam Al-Qur’an : “Dan sesungguhnya kami ciptakan untuk (isi neraka jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tapi tidak dipergunakan untuk memahami, mempunyai mata tidak dipergunakan untuk melihat, mempunyai telinga tidak dipergunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.[Al-A’raaf(7):179]

Seorang ulama besar bernama Hasan Al-Basryi pernah berkata : “Tafakur itu seperti cermin yang dapat menunjukkan kebaikanmu dan kejelekanmu. Dengan cermin itu pula manusia dapat melihat kagungan dan kebesaran Allah Yang Maha Tinggi. Disamping itu, dengan cermin itu pula manusia dapat melihat tanda-tanda yang diberikan Allah, baik yang jelas maupun yang samar, sehingga akhirnya ia dapat berlaku lurus di dalam pengabdian kepadaNya.”

Apa yang harus ditafakuri ?
Sesungguhnya buah dari tafakur adalah keyakinan-keyakinan Illahiyah yang akan memudahkan kita dalam pengendalian diri agar dapat selalu taat pada keinginan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu banyak obyek yang dapat ditafakuri, antara lain :
a. Bertafakur mengenai tanda-tanda yang menunjukkan kekuasaan Allah; akan lahir darinya rasa tawadhu (rendah hati) dan rasa takzim akan keagungan Allah.
b. Bertafakur mengenai kenikmatan-kenikmatan yang telah Allah berikan; akan lahir darinya rasa cinta dan syukur kepada Allah,
c. Bertafakur tentang janji-janji Allah; akan lahir darinya rasa cinta kepada akhirat,
d. Bertafakur tentang ancaman Allah; akan lahir darinya rasa takut kepada Allah,
e. Bertafakur tentang sejauh mana ketaatan kita kepada Allah sementara Ia selalu mencurahkan karunianya kepada kita; akan lahir darinya kegairahan dalam beribadah.

Salah satu contoh tafakur :
Bila direnungkan, sedetik dari hidup ini pun sudah mukjizat. Bagaimana kita bisa bernafas, punya jantung yang berdetak, mata berkedip, telinga yang dapat mendengar, lidah yang dapat merasakan kenikmatan makanan, dan seterusnya. Semuanya sungguh menakjubkan !
Ketika gigi kita tanggal satu, kita menjadi susah makan. Ya Allah, gigi satu hilang begitu susahnya. Sekian tahun Engkau berikan gigi itu, baru sekarang disadari artinya ketika dia copot. Satu gigi menjadi begitu bernilainya, lalu bagaimana dengan tangan, hidung, mata, telinga dan otak ?
Dengan bertafakur seperti ini, akan timbul rasa malu. Betapa Allah telah memberikan karunia yang sangat banyak, tetapi kita tidak mengabdi kepada-Nya dengan bersungguh-sungguh.

Namun, mengerti atau mengenal “kebenaran” saja tidaklah cukup. Karena Al-Qur’an mengatakan, bahwa orang yang terhindar dari “kerugian” adalah mereka yang memenuhi 4 kriteria :

Pertama, yang mengenal kebenaran
Kedua, yang mengamalkan kebenaran
Ketiga, yang saling nasehat menasehati mengenai kebenaran, dan
Keempat, yang sabar dan tabah dalam mengamalkan serta mengajarkan kebenaran.

Wallohu`alam bis showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar